Mengenang Sitor, Menerjemahkan Sang Penyair
1 Maret 2017Koruptor mati meninggalkan noda; sastrawan mati meninggalkan karya. Salah satu penyair besar kita yang tersisa dari masa silam, Sitor Situmorang, wafat 20 Desember 2014 silam di Apeldoorn, Belanda, pada usia 90 tahun, mewariskan ratusan puisi dan nama besar. Tak berapa lama kabar kematiannya menyebar, Presiden Jokowi, melalui akun Twitter resminya segera menyatakan dukacita, "Saya turut bela sungkawa atas wafatnya sastrawan besar nasional, Bapak Sitor Situmorang …”
Sitor memang dihormati kawan dan lawan. Oleh Ajip Rosidi, sastrawan berbeda kubu politik di masa lalu, Sitor yang juga menulis cerpen, esai, dan lakon, dikagumi tak hanya karena produktivitas kepenulisannya pada awal 1950-an, tapi juga karena gayanya "yang khas dan memberikan udara segar pada penulisan puisi waktu itu dan karena filsafat ‘iseng' yang dibawakannya”.
Sitor dilahirkan di Harianboho, Pulau Samosir, Sumatra Utara, 2 Oktober 1924. Sebagai penyair, dia dianggap bagian dari Angkatan 1945 bersama Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Pada masa revolusi kemerdekaan itu dia bekerja sebagai wartawan. Pada 1950-1953, Sitor berkelana di Eropa. Di sana ditulisnya puisi-puisi dan cerpen-cerpen "eksistensialis” yang kerap sinis memandang kehidupan. Dia bahkan sinis terhadap dirinya sendiri. Sitor pernah menulis begini tentang dirinya dalam satu cerpen berlatar Paris: "Rambut lebat, dipotong pendek, janggut muda, kemeja berkotak-kotak, tak mudah kotor dan tebal; asal dan pekerjaan tidak terang, tapi sepanjang hari ngobrol minum kopi.”
Sepulang ke Indonesia dia menerbitkan kumpulan puisi Surat Kertas Hidjau (1953) yang liris dan indah. Saya beruntung mendapatkan buku tua terbitan Pustaka Rakjat, Jakarta, itu di sebuah pameran buku di Bandung. Di situ terbaca sebait sajak sendu: "Mari, dik, tak lama hidup ini/Semusim dan semusim lagi/Burungpun berpulangan.” Berpuluh tahun kelak, puisi itu mengilhami seorang pengarang lain menulis sebuah novel.
Pada tahun 1959, Sitor mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional dan kemudian gerak-geriknya makin condong ke politik yang kekiri-kirian. Dia menjadi tokoh di panggung kebudayaan nasional, kerap mewakili negara bermuhibah ke negeri-negeri blok Timur serupa Tiongkok dan Rusia. Pada 1963, terbitlah sebuah kumpulan esainya yang menandaskan sikap kesenian dan politiknya, Sastra Revolusioner.
Namun, tibalah petaka nasional setelah peristiwa G30S 1965. Sitor yang termasuk kaum nasionalis kiri pendukung Bung Karno layaknya pengarang besar Pramoedya Ananta Toer—meski mereka berdua berbeda haluan politik—ikut terlibas gelombang sejarah. Dia dipenjarakan oleh kaum militer pendukung rezim Orde Baru Soeharto dan baru bisa menghirup udara bebas pada 1975.
Situasi politik yang serba represif pada masa berkuasa rezim Soeharto mendorong Sitor hengkang ke Belanda pada 1980. Dia menetap di sana hingga akhir hayat bersama istri terakhirnya, Barbara Brouwer, walau sesekali pulang ke tanah air.
Kabar Gembira
Penyair boleh mati, tapi tidak karyanya. Akhir tahun 2016 lalu berembus kabar gembira dari Jerman. Kumpulan puisi terpilih Sitor selesai diterjemahkan oleh Martina Heinschke yang juga telah menerjemahkan novel Eka Kurniawan, Lelaki Harimau, ke bahasa Jerman. Jika tak ada aral melintang, naskah berisi 80-an puisi yang diterjemahkan lewat program bantuan dana penerjemahan dari Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia itu akan diterbitkan tahun ini oleh penerbit Ostasien yang bertempat di Hamburg.
Upaya penerjemahan dan penerbitan puisi-puisi Sitor ini tentu satu langkah maju dalam upaya memperkenalkan dan mempromosikan karya-karya terbaik dalam khazanah sastra Indonesia di pentas dunia.
Luka Sejarah
Wafatnya Sitor di negeri yang jauh mengingatkan kita pada luka sejarah yang belum kunjung sembuh. Banyak sastrawan kita terpaksa mengungsi ke luar negeri karena persoalan politik di masa lalu. Sebagian dari mereka tak kunjung bisa kembali dan terpaksa mati sebagai manusia eksil.
Itu misalnya terjadi pada dramawan terkemuka Utuy Tatang Sontani yang pada 1965 kebetulan sedang berada di Tiongkok untuk satu muhibah dan tak bisa pulang. Dia terpaksa mengembara hingga wafat dan dikuburkan di Moskow, Rusia, pada 1980. Atas derita mereka yang tak bisa pulang dengan tenang ke tanah air itulah sastrawan Martin Aleida tengah menyiapkan satu buku berlatar Eropa yang berkisah tentang mereka yang oleh Gus Dur disebut "orang-orang kalayaban” itu.
Sudah saatnya Tap MPRS No. XXIV/1966 yang melarang Marxisme di Indonesia dicabut. Pandangan politik dan ideologi adalah hak asasi manusia. Tak perlu terulang tragedi "anak-anak hilang” yang tak bisa pulang ke kampung halaman hanya karena gejolak politik. Jangan pula aturan lama itu menjadi dasar penindasan kebebasan berekspresi seperti yang terjadi dalam kasus pemberangusan buku kiri yang kembali marak setahun lalu.
Anton Kurnia, penulis buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.