Menggali Ilmu Film di Jerman
15 Februari 2015Bukan hal yang mudah untuk bisa mengikuti workshop Berlinale Talents 2015 . Ketua Berlinale Talents Christiane Tröstrum mengatakan kepada Berliner Zeitung, ada 2559 pelamar dari 117 negara dan hanya 300 orang yang dipilih. Sejak dua hingga tiga tahun terakhir, negara-negara dengan pelamar terbanyak antara lain adalah Peru, Brasil, Meksiko, Indonesia, Filipina dan Thailand.
Tahun ini Indonesia diwakili oleh Arifin Putra dan Tara Basro (aktor), Ahmad Aditya (sutradara), M. Rasidy Ariefiansyah atau Tuanmuda Chacha (produser) dan Gregorius Arya (editor). DW bertemu dengan Adit, Tuanmuda Chacha dan Greg di Berlin.
DW: Apa yang ingin diraih dengan mengikuti Berlinale Talents?
Tuanmuda Chacha: Workshop ini bagi saya adalah berkah karena saya juga filmmaker. Saya tadinya bergulat di bidang tata suara dan sekarang di bidang film producing. Semua ilmu yang sudah saya miliki akan bertambah lagi di Berlinale. Saya pasti akan mendapat pengetahuan, pengalaman dan sharing. Karena belajar itu tidak akan pernah berakhir dan saya bisa belajar dari siapa saja.
Gregorius Arya: Bedanya dengan editor-editor dari negara lain di Berlinale Talents, ada yang sangat mementingkan masalah teknis. Seperti ada teman dari Spanyol, menurut dia editor itu harus tahu segala hal yang berhubungan dengan teknis. Tapi dari yang saya pelajari dari editor-editor senior di Jakarta, cara menjadikan gambar menjadi cerita lebih penting dibanding hal-hal teknis. Saya tidak berharap banyak dari ilmu yang bisa saya peroleh dari workshop Berlinale. Saya berharap bisa mendapat pandangan lain tentang bagimana cara berpikir editing untuk membentuk cerita yang baik.
DW: Mengapa berkecimpung di dunia film?
Gregorius: Saya bukan editor dari Jakarta, yang mungkin hubungannya lebih dekat dengan industri. Saya dari Jogja, yang lebih dekat dengan teman-teman yang mau bikin film tanpa harus memikirkan apakah akan menghasilkan uang atau tidak. Ada teman saya dari Jakarta yang bilang: Gila ya anak Jogja masih punya energi seperti itu.
DW: Definisi film yang ideal?
Tuanmuda Chacha: Keberhasilan sebuah film tidak bisa dikaitkan dengan besar kecilnya bujet pembuatannya. Film pendek saya yang terakhir, sutradaranya Sidik Saleh, dibuatnya berdasarkan passion. Ternyata bisa berbuat banyak dan menang di Venesia. Film yang sukses itu bagi saya yang bisa diapresiasi orang banyak dan membawa perubahan yang baik bagi filmmaker dan penontonnya.
DW: Apa yang ingin diubah dari dunia perfilman Indonesia?
Aditya: Kalau bisa mengubah sesuatu di dunia perfilman Indonesia, saya ingin bisa mengubah masyarakatnya dulu. Bagaimana kita bisa mengapresiasi film Indonesia. Mungkin masyarakat lebih percaya film-film dari luar. Padahal kita juga berkompeten bikin film. Beberapa filmmaker belum sadar akan cara membuat film Indonesia yang menarik. Kita terlalu jauh mengambil referensi dari budaya lain. Padahal banyak sekali yang bisa diangkat dari Indonesia.
Film pendek Ahmad Aditya "Sepatu Baru" diputar pada Berlinale 2014 dan memenangkan “Special Mention” dari juri anak-anak untuk Film Pendek Terbaik kategori Generation KPlus. Tuanmuda Chacha mengawali karirnya di bidang tata suara sebelum berpindah ke dunia produser. Dua film terakhirya diputar di festival film internasional di Clermont-Ferrand dan Venesia. Sementara Gregorius Arya, selain menjadi editor film-film panjang seperti "Ambilkan Bulan" dan "Rumah dan Musim Hujan", ia juga mengajardi Jogja Film Academy.