Mengungkap Kesepakatan dengan WWF
21 Juli 2011Film yang dibuat oleh wartawan senior Wilfried Huismann itu berjudul Pakt mit dem Panda atau “Kesepakatan dengan Panda“. Judul ini mengacu pada logo organisasi WWF yang menggunakan gambar panda. Film ini berisi kritik terhadap WWF, karena dituding melakukan sejumlah kesepakatan dengan berbagai perusahaan yang menurut berbagai kalangan melakukan perusakan lingkungan. Akhirnya film dokumenter ini menimbulkan perdebatan.
Salah satu negara yang disorot dalam film ini adalah Indonesia. Dikisahkan terdapat berbagai kesepakatan yang dilakukan oleh WWF dengan perusahaan di Kalimantan dan Papua. Diantaranya dengan perusahaan Wilmar, yang menjadi produsen minyak sawit dan bahan bakar hayati atau “biofuel“ terbesar di dunia.
Menunjukkan Fakta
Film berjudul Pakt mit dem Panda atau “Kesepakatan dengan Panda“ dibuat oleh produsen, wartawan investigasi dan penulis Jerman, Wilfried Huisman. Selama karirnya, Huismann sudah mendapat tiga kali Hadiah Adolf Grimme, yang diberikan bagi film untuk siaran televisi. Di samping itu ia juga mendapat sejumlah penghargaan lainnya.
Film “Kesepakatan dengan Panda“ menyingkap sisi gelap pekerjaan organisasi perlindungan lingkungan WWF yang tidak banyak diketahui orang. Menurut film itu, WWF merugikan satwa yang sebenarnya dilindungi, yaitu harimau di India dan orang utan di Indonesia. Tindak-tanduk WWF juga digambarkan merugikan masyarakat di sekitar kawasan konservasi alam.
Di samping itu, Pakt mit dem Panda juga menyoroti pekerjaan WWF berkaitan dengan perkebunan minyak kelapa sawit dan produksi bibit lewat rekayasa genetika. Film ini juga meninjau kembali situasi ketika organisasi WWF baru didirikan tahun 1961.
Kumpulkan Ratusan Juta Dolar
Dari kampanye yang dilancarkan WWF, misalnya bagi harimau atau orang utan, organisasi itu mendapat dana sejumlah ratusan juta Dolar AS setiap tahunnya. Dalam film yang dibuat Huismann, dipaparkan bahwa WWF memang mengusahakan pendirian kawasan perlindungan alam. Tetapi di luar daerah-daerah itu, hutan tropis habis ditebang dan digunakan untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Penanggungjawab utama perusakan hutan di Kalimantan Tengah adalah perusahaan internasional Wilmar, yang berkantor pusat di Singapura. Dengan perusahaan ini WWF memiliki kontrak. Perkebunan kelapa sawit bisa didirikan tetapi harus dengan cara yang tidak merusak lingkungan.
Dalam filmnya Wilfired Huismann juga mengungkapkan kehidupan di kawasan Sembuluh, Kalimantan Tengah. Dulu penduduk Sembuluh hidup dari hasil hutan. Tetapi pemerintah memberikan hak guna bagi Wilmar untuk kawasan hutan di daerah sekitarnya. Hanya sebagian penduduk desa mendapat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit. Yang lainnya menjadi nelayan. Tetapi itu hanya dapat berjalan selama air danau tidak terkena polusi, karena produksi minyak di dekat lokasi itu mencemari air.
Film itu juga menceritakan bahwa sebagian penduduk punya sertifikat bagi tanah mereka. Tetapi pemerintah tetap memberikan ijin penggunaan tanah mereka kepada Wilmar. Dalam film itu digambarkan, aktivis lingkungan, Noordin memberikan penyuluhan kepada warga Sembuluh dan mendirikan organisasi Safe our Borneo. Konsekuensinya, Nordin kerap mendapat ancaman. Sejumlah penduduk yang melawan langkah penyitaan tanahnya dipenjara. Itu juga ditampilkan Huismann dalam filmnya. Ia juga menghubungi dan meminta tanggapan WWF Indonesia. Namun dalam film itu, pekerja WWF tidak memberikan jawaban jelas.
Penipuan dengan Sertifikat
Perkebunan kelapa sawit di Kalimatan Tengah dinyatakan sebagai perkebunan yang memperhatikan kelestarian alam, walaupun limbah dari perkebunan mencermari air di daerah sekitarnya. Dengan "Sertifikat Lestari" di Eropa perusahaan dapat memperoleh subsidi karena dianggap mendukung penggunaan energi terbarukan. Sementara organisasi perlindungan alam, Greenpeace menyebut sistem sertifikasi yang dibuat perusahaan-perusahaan dan WWF sebagai penipuan.
Dalam filmnya Huismann juga menunjukkan perkebunan lain di Kalimantan Barat, di mana WWF mengusahakan, agar 80 hektar hutan tidak ditebang. Hanya 80 dari 14.500 hektar hutan. Lebih dari 14.000 hektar menjadi perkebunan kelapa sawit. Dulunya, seluruh kawasan itu menjadi tempat tinggal orang utan. Menurut Nordin, hanya dua ekor orang utan dapat ditemukan. Di kawasan itu orang utan tidak dapat menemukan makanan. Oleh sebab itu mereka memasuki perkebunan kelapa sawit, dan ditembak mati.
Wilfried Huismann mempertanyakan, mengapa WWF bekerjasama dengan perusahaan yang merusak alam. Huismann memperoleh jawabannya di Jenewa, pusat perdagangan hasil pertanian dunia, di mana ia mengadakan wawancara dengan Dörte Bieler, yang berwenang mengurus masalah bio massa pada WWF. ”Upaya WWF setidaknya sudah menjadi awal bagus. Jika WWF tidak menyelamatkan 80 hektar itu, pasti seluruh kawasan sudah dijadikan kebun kelapa sawit oleh perusahaan. Orang utan pasti binasa seluruhnya jika 80 hektar hutan itu tidak ada,“ demikian dikatakan Bieler.
Ketika Huismann bertanya, apakah WWF tidak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan besar, Bieler menjawab, “WWF menjunjung tinggi kode etika, dan ini mencegah hal-hal seperti itu. Dalam kerjasama dengan perusahaan, dalam kontraknya tercantum, bahwa jika ada uang mengalir, itu tidak mewajibkan kedua belah pihak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan. Kedua belah pihak menandatangani secara sukarela, dan bebas untuk berhenti kapan saja jika tidak suka lagi.“
Tindakan di Bagian Selatan Bumi
Dalam wawancara dengan televisi Radio Bremen, Huismann mengatakan, ia dulunya juga percaya dan menghargai upaya WWF untuk melindungi lingkungan. Jadi ia sangat terkejut ketika mengetahui sisi gelap WWF. Huismann mengatakan lebih lanjut, “Saya rasa, bagi WWF masalahnya tidak pernah hanya perlindungan saja. Selalu ada juga masalah kekuasaan. Kelompok pendiri WWF, yang disebut “Klub 1001“ mencakup antara lain banyak pengusaha besar dan bangkir. Jika orang menilik daftar nama itu, maka orang akan mengerti bahwa terutama perusahaan di bidang energi dan pertanian, misalnya Monsanto, menggunakan WWF untuk menutup-nutupi kejahatan mereka terhadap alam.”
Lebih jauh Huismann menjelaskan bahwa tidak semua proyek WWF merugikan lingkungan, misalnya proyek lokal di Jerman. “Proyek-proyek itu memang baik. Di Jerman, Eropa atau AS. Orang-orang di basis juga bekerja dengan baik. Jika itu tidak berjalan, maka bagian WWF yang buruk tidak akan berfungsi. Kalau tidak ada proyek yang berjalan baik, merek panda tidak akan dapat dijual. Tetapi orang biasanya hanya melihat sisi baik ini. Sementara keburukan yang dilakukan di bagian selatan bumi, yang terjadi agar kita di Eropa dapat menikmati energi bio yang bersih, tidak dilihat. Itulah yang saya ungkap lewat film ini,“ ungkap Huismann dengan kritis.
Walaupun filmnya mengungkap berbagai sisi buruk WWF, ia menduga, orang akan tetap percaya pada logo Panda, lambang WWF, yang menjadi merek keempat yang paling dipercaya orang di dunia. Tetapi setidaknya, lewat film itu orang memperoleh gambaran lebih luas atas organisasi perlindungan lingkungan itu.
Tidak Ada Hasil Nyata
Salah seorang narasumber dalam film itu adalah Nordin, dari organisasi Save Our Borneo. Dalam wawancara dengan DW, Noordin menceritakan, di Kalimantan Tengah, proyek perlindungan alam yang dilakukan oleh WWF yang bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit tidak membuahkan hasil nyata. Kerjasama dilakukan berdasarkan kesepakatan Forum RSPO Roundtable on Sustainable Palm Oil/ atau Perundingan Meja Bundar Minyak Sawit Berkelanjutan. Dalam perundingan itu, terdapat standar-standar yang perlu dipenuhi perusahaan kelapa sawit bila ingin mendapatkan "Sertifikat Lestari”, sebuah brand image yang membuat produknya bisa diterima konsumen di pasar internasional.
Namun Noordin menjelaskan di dalam pelaksanaannya, tak kelihatan kemajuan ynag berarti dalam perlindungan lingkungan di Kalimantan Tengah, “Wilmar dan WWF adalah sama-sama anggota RSPO. Beberapa tahun lalu WWF melakukan pemeriksaan HCV (Nilai Konservasi Tinggi) di perusahaan Wilmar, sebagai bentuk kerjasama. Dari hail pemeriksaan itu, yang mana Wilmar mengaku sudah dibantu oleh WWF, tapi fakta di lapangan menunjukan tidak ada orang utan selamat, limbah tetap bergulir dan hutan tetap dibakari. Terakhir Wilmar juga bekerjasama dengan BOS untuk urusan penyelamatan orang utan yang ada di sana.”
Noordin dari Save our Borneo menyesalkan, dari sekian ratus ribu hektar hutan yang dipakai perusahaan untuk produksi, hanya segelintir diantaranya yang diklaim ke publik untuk dikonservasi, yakni 5000 hektar. Ia mengatakan lebih lanjut, “Luas konsesi mereka itu 256 ribu hektar. Kalau dikumpul dengan yang belum dioperasionalkan itu 365 ribu hektar. Jadi 5000 hektar itu kecil. Bisa jadi itu hanya sungai yang tak bisa dibuka atau tanah-tanah orang.“
Bantahan WWF Indonesia
Membantah tudingan itu, WWF Indonesia berkilah, mereka hanya dapat melakukan pengawasan pada saat awal sertifikasi RSPO. Untuk selanjutnya, mereka mengakui tidak lagi terlibat. Nazir Foead dari WWF Indonesia menceritakan ihwal kerjasama tersebut. "Pada tahun 2006-2007, sertifikasi RSPO baru dimulai dan sistem sertifikasi RSPO masih dalam tahap perkembangan. Beberapa perusahaan yang progresif sudah ingin melakukan uji coba sistem sertifikasi. Bagi WWF yang terpenting adalah menjaga kawasan dimana fungsi ekologis dan social budaya kultural tak terganggu."
Ia menjelaskan lebih lanjut, "WWF membantu beberapa perusahaan menyatakan kawasan-kawasan penting dalam sudut pandang keanekaragaman hayati. Kami membantu perusahaan memetakan kawasan-kawasan penting itu, bersama para akademisi dan peneliti. Dana ditanggung masing-masing. Hasilnya diajukan ke perusahaan dan perusahaan diminta untuk tidak menebang kawasan itu. Itu tak dilakukan lagi sejak tiga tahun lagi. Tak lagi kita lakukan karena system sertifikasi RSPO nya sudah mandiri. Mereka bisa melakukan dengan konsultan yang terakreditasi oleh RSPO. “
Nazir Foead dari WWF Indonesia membantah bahwa terjadi pembayaran kepada WWF ketika melakukan pemetaaan kawasan yang ingin dikonservasi. “Kami hanya observer independent. Sertifkasi kan diaudit setiap tahun, kadang setengah tahun sekali. Kami tak bisa jadi auditor, LSM tak boleh jadi auditor. Karena auditor hanya yang ditunjuk. Kami tak bisa dibayar. Sistem ini menjamin indepedensi. Di Indonesia ada ratusan perusahaan kelapa sawit. Kita mengawali yang ikut menjadi leader, sampai mereka ikut program sertifikasi.”
Sementara, terhadap tudingan bahwa tetap banyak orang utan yang tewas akibat pembukaan hutan, Nazir Foead dari WWF menuturkan dari begitu luasnya hutan di Kalimantan Tengah, WWF hanya mampu menjangkau kawasan tertentu.
“Kami mengerjakan di Sebagau. Ada 8-9 ribu ekor. Dengan 20 staf lebih, bersama pemerintah dan masyarakat mengkonservasikan orang utan. Kami fokusnya di taman nasional. Kita mendorong perusahaan-perusahaan itu untuk ikut program RSPO,“ demikian Foead.
Ayu Purwaningsih / Marjory Linardy