Menjaga Kicauan Burung Liar di Hutan Harapan Jambi
8 Juni 2021Setelah perjalanan darat yang memakan waktu kurang lebih dua jam dari pusat kota Jambi, lewat hamparan perkebunan sawit dan jalan berdebu, DW Indonesia akhirnya tiba di tepi Hutan Harapan di Provinsi Jambi. Hutan seluas ini lebih dari 98 ribu hektare ini adalah salah satu hutan terakhir yang menjadi rumah bagi 20% spesies endemik di Sumatera.
Ketika DW Indonesia tiba di sana pada awal Juni, cuaca cukup panas dan lembab. Bunyi cericit burung terdengar memenuhi udara, bahkan sesekali ada juga suara hewan sejenis monyet yang oleh warga lokal disebut ungko (Hylobates agilis).
Tole, pemuda berusia sekitar 20 tahun yang ikut menemani DW Indonesia menjelajahi hutan ini mengungkapkan bahwa dulu ia sering diminta orang untuk mencari dan menangkap berbagai jenis burung di daerah ini. Paling utama yang dicari adalah burung yang bisa bernyanyi.
Para pemesan yang datang ke Tole saat itu umumnya mencari burung berkicau jenis kacer (Copsychus saularis) dan murai (Copsychus malabaricus). Untuk satu ekor burung tangkapan, Tole dibayar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, tergantung jenis burungnya. "Para pemesan umumnya orang dari luar kawasan," kata Tole kepada DW Indonesia.
Namun sekarang, pemuda dari masyarakat adat Batin Sembilan ini mengaku insyaf dan tidak mau lagi berburu burung liar. Kini ia paham fungsi burung-burung itu bagi keberlanjutan ekosistem hutan tempat tinggal masyarakat Batin Sembilan dan warga di sekitarnya.
Namun, ini bukan berarti perburuan burung liar sudah berhenti sama sekali.
Kawat, setrum, hingga aplikasi suara burung di ponsel untuk menjerat
Tole adalah satu dari beberapa petugas penjaga Hutan Harapan yang mengantarkan DW Indonesia berkeliling menuju pedalaman hutan ini. Melihat pohon endemik yang kembali bertumbuh menjulang, setelah lebih dari 15 tahun direstorasi.
Hutan Harapan seluas 98.555 hektare yang terbentang di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi ini memang sedang dalam perbaikan untuk kembali menjadi hutan tropis yang sehat. Awal tahun 2000-an silam, konsorsium BirdLife International dan Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) menginisiasi kawasan ini untuk direstorasi sebagai hutan dataran rendah.
Kini sekitar 60% dari area hutan telah kembali pulih. Namun, perburuan liar terus terjadi. Data dari Divisi Perlindungan Hutan (Linhut) PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), yang merupakan pihak pengelola Hutan Harapan, mengatakan bahwa hutan dataran rendah di Sumatera ini menjadi sasaran empuk para pemburu dan pencuri satwa langka.
Pada tahun 2020 saja, Linhut PT. REKI menemukan sekitar 17 alat yang dipakai untuk menjerat burung-burung liar, mulai dari jerat perekat untuk burung, kecepek atau senjata api rakitan, kawat setrum, hingga tali seling. Belakangan, para pencuri juga menggunakan aplikasi suara burung yang ada di ponsel mereka untuk menjebak burung-burung malang ini.
"Terdapat empat titik rawan perburuan, yakni wilayah Kandang, Masai Rusa, Meranti, dan Bungin," kata Manager Divisi Linhut PT REKI, TP Damanik kepada DW Indonesia.
Damanik mengatakan, kawasan yang rawan itu adalah areal yang terbuka, dan acap kali dilewati oleh banyak orang. Sebab, tidak bisa untuk dipungkiri, kawasan ini sebelumnya adalah area pembalakan liar atau bebalok dalam bahasa lokal.
Dengan pola pesanan dari penampung, para pemburu mampu menyediakan 10 hingga 100 ekor burung per satu kali pesan. Diketahui terdapat dua orang penampung besar satwa jenis burung yang diburu dari Hutan Harapan. Keduanya lalu menjual burung-burung ini secara ilegal di kota-kota di Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Melihat temuan barang bukti yang dipakai untuk menjerat para hewan ini, tidak tertutup kemungkinan jika pemburu juga mencari hewan-hewan besar, seperti trenggiling, kijang, dan rusa.
Cucak rawa dan rangkong sering dicari
Organisasi nirlaba Burung Indonesia menyatakan, terdapat 179 jenis burung di Indonesia yang masuk ke dalam daftar jenis burung terancam punah secara global. Sebanyak 31 jenis burung masuk dalam kategori kritis, 52 jenis dinyatakan genting (endangered), dan 96 jenis rentan punah (vulnerable).
Pihak berwenang juga merangkul warga untuk memerangi perburuan liar ini. Selain itu, mereka juga memperingatkan lewat pamflet dan papan pengumuman bahwa perburuan burung secara ilegal dapat diancam hukuman penjara. Namun beberapa pamflet dan papan tersebut malah ada yang dirusak.
Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia, mengatakan bahwa deforestasi, perburuan dan penangkapan burung dari alam menjadi faktor utama penyebab penurunan populasi burung. Sehingga perlu upaya yang lebih serius untuk melakukan konservasi terhadap satwa burung dari alam.
Salah satu jenis burung yang paling sering diburu yakni cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus),diburu untuk dijual sebagai hewan peliharaan, meski jumlahnya terbatas di alam. Daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada Agustus 2018 memperkirakan jumlah cucak rawa di alam liar hanya mencapai 600 hingga 1.700. Beberapa ahli percaya spesies ini sudah punah sekarang.
Begitu pula dengan rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang sering diburu karena cangkangnya yang padat berwarna merah dan kuning cerah. Spesies ini termasuk dalam kategori sangat terancam punah.
"Indonesia merupakan rumah bagi setidaknya 17 persen jumlah jenis burung yang ada di dunia dan berada di posisi ke-4 dalam kekayaan jenis burung," kata Achmad Ridha Junaid kepada DW Indonesia.
Namun berdasarkan endemisitasnya, Indonesia berada di posisi pertama yang memiliki jenis burung endemis terbanyak di dunia. Hingga 2021, jumlah jenis burung endemis di Indonesia tercatat sebanyak 532 jenis.
Burung liar dan manfaatnya bagi kehidupan manusia
Adam Aziz, Manager Operasional PT. REKI, mengatakan burung adalah agen pembantu restorasi hutan alami. Dengan demikian, keberadaan burung menjadi sangat penting bagi Hutan Harapan yang merupakan daerah resapan air bagi Provinsi Jambi dan Sumsel. Di sana, terdapat beberapa sungai besar, yakni sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti di Provinsi Sumsel, serta Sungai Lalan dan Sungai Kandang di Provinsi Jambi.
Jadi, "bicara soal perburuan burung, adalah juga bicara soal menjaga habitat mereka. Termasuk juga menjaga (aliran air) keempat Sungai besar itu," kata Adam Aziz.
Sementara Direktur FLIGHT: Protecting Indonesian's Birds, Marison Guciano, mengatakan bahwa burung, apa pun jenisnya, adalah agen alami penyebar benih tumbuhan. Dengan berkurangnya jenis burung di alam, secara alami tumbuhan baru pun berkurang.
"Semakin berkurangnya burung (berarti) berbanding lurus dengan tingkat kerusakan alam,” Guciano memperingatkan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi, Rahmad Saleh, mengatakan menangkap jenis burung yang hidup di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 meter ini dapat memutus rantai makanan di alam.
"Jika jenis pemakan ulat ini tidak ada lagi di alam, maka akan tercipta ketidakstabilan," ujar Rahmad Saleh.
Selain semua fungsi penting itu, bagi Tole, pemuda dari masyarakat adat Batin Sembilan, cericit burung ternyata juga punya fungsi lain. Tole mengatakan bahwa masyarakat Batin Sembilan percaya, jika kawasan hutan tiba-tiba hening, tanpa suara burung sedikit pun, itu artinya sang raja hutan harimau sumatera atau yang oleh penduduk disebut Datuk Belang tengah melintas.
Mendengar cerita Tole, segenap kru yang menemani DW Indonesia menjelajah hutan pun mendadak waspada dan cemas. Tapi untungnya, hari itu, burung-burung masih tetap ramai bernyanyi di Hutan Harapan.
ae