Mensyukuri Hidup Dari Berkebun Empat Musim
5 Juli 2019Sewaktu di Indonesia, saya terbiasa melihat orang-orang di sekitar saya menanam berbagai pohon kapan pun mereka mau. Mangga, srikaya, jambu. Asal bibitnya ada, tanahnya siap, ada waktu dan tenaga, maka ditanamlah pohon-pohon itu. Tidak masalah tanamnya pada bulan apa.
Namun di Jerman, atau negara mana pun yang mengalami empat musim, waktu penanaman mesti sangat diperhatikan. Ada beberapa tanaman yang bagus ditanam pada musim gugur, tapi ada juga yang sebaiknya ditanam di awal musim semi. Tumbuh dan besar di negara tropis, hal sederhana macam ini adalah sedikit dari banyak yang saya tidak tahu tentang tanaman di negara dengan empat musim.
Saya memang sama sekali bukan ahli botani. Terakhir belajar biologi secara formal pun pada masa SMA. Jadi, tulisan ini saya rangkai berdasarkan pengalaman dan sudut pandang pribadi dalam usaha menjaga tetumbuhan yang saya pelihara tetap hidup. Banyak yang gagal, ada juga yang berhasil tentunya.
Pilih mana, annual atau perennial?
Ketika pertama ke Jerman saya lihat halaman rumah dan balkon orang-orang yang penuh dengan bebungaan berwarna-warni. Saya juga mau punya halaman berwarna warni seperti itu. Maka berangkatlah saya ke toko tanaman di dekat tempat tinggal dan membeli beberapa tanaman bebungaan cantik.
Perjalanan ke toko saya lakukan berulang kali hingga halaman saya perlahan mulai berwarna-warni. Namun ini tidak berlangsung lama. Beberapa minggu kemudian bunga-bunga cantik itu pun kering, rontok dan tanamannya meranggas.
Segala upaya mulai dari menyiram, memupuk, menaruh di tempat teduh, menaruh di bawah sinar mentari langsung, semua saya coba. Mereka tetap mati. Halaman saya pun penuh dengan pot berbagai ukuran berisi tanaman mati. Lumayan mengenaskan. Sempat pula berpikir saya tidak berbakat menanam. Tidak bertangan hijau. Apa pun yang saya tanam mesti mati. Nyaris menyerah, tetapi saya ngeyel, apa iya sesulit itu, pikir saya.
Setelah membaca beberapa artikel dan buku tentang tanaman yang tumbuh di daratan Eropa, tahu lah saya bahwa ada tanaman yang tergolong perennial dan ada yang tergolong annual. Tanaman perennial akan ‘tertidur' ketika musim dingin, namun ini bukan berarti dia mati. Musim semi tahun depan, kalau akarnya sehat dia akan kembali lagi berbunga. Diantara tanaman ini yaitu peoni, mawar dan dahlia.
Sedangkan tanaman annual biasanya banyak dijual di toko pada musim semi dan musim panas. Pilihan warna bunganya lebih semarak contohnya seperti petunia, begonia dan geranium. Harganya juga lebih murah namun umurnya pendek dan karena itu mesti diganti setiap tahun. Tanaman inilah yang rupanya secara tidak sengaja saya beli dan menjadi koleksi singkat saya. Pantas saja mereka mati.
Berbekal pengetahuan ini saya mulai mencari tanaman perennial yang saya sukai. Harganya memang lebih mahal, tapi dengan perawatan tepat tanaman ini bisa bertahan selama beberapa tahun. Setelah itu saya mulai membaca sebanyak mungkin literatur terkait tanaman yang saya miliki. Tentang perawatannya, kapan waktu pemberian pupuk, haruskah dipangkas sewaktu musim semi, sampai tempat yang mereka sukai.
Sebagai contoh, lavender ternyata tidak begitu suka air. Lavender justru lebih cepat mati karena kebanyakan air daripada kekurangan. Karena itulah tanaman ini jangan sering disiram. Lain lagi dengan basil, tanaman ini suka kalau akarnya agak basah. Jadi menyiramnya pun butuh teknik berbeda. Demikian lah, intinya jangan menyerah dan terus cari tahu apa yang tanaman suka. Dengan perawatan benar mereka akan tumbuh subur dan membuat kita bahagia hanya dengan memandangnya.
Musim semi, optimis tapi jangan terlalu
Di akhir Maret, jika musim sedang bagus, cuaca kadang hangat dan bersahabat. Bunga-bunga liar bertebaran biru, kuning dan putih. Saat itu saya senang sekali karena pohon apel yang tumbuh di belakang rumah berbunga sangat lebat. Saya pun membayangkan akan panen banyak sekali apel dalam beberapa bulan lagi.
Namun, orang Jerman punya pepatah "April, April, der weisst nicht, was er will,” yang artinya kurang lebih "Bulan April tidak tahu apa yang ia mau.” Ini bukannya ada tanpa alasan. Di bulan April dalam satu hari cuaca kerap berganti secara ekstrem. Semacam ada empat musim yang terjadi dalam satu hari. Cerah terik, bersalju, berangin kencang lantas hujan yang membuat bunga-bunga berguguran.
Bunga yang saya harapkan bisa tumbuh menjadi apel lezat itu pun rontok diterpa angin dan salju. Malah saya ingat pada musim gugur tahun yang sama, sangat sedikit apel yang akhirnya bisa dipanen. Cuaca yang menghangat di musim semi memang memberi harapan dan rasa optimis kepada siapa pun terutama para pekebun. Tapi dari pengalaman tadi saya pun belajar untuk tidak optimis berlebihan apalagi berpanjang angan.
Tanaman bumbu khas Indonesia
Selain menanam tanaman lokal, saya juga menanam beberapa tanaman bumbu yang sulit didapat di Jerman atau kalau pun ada, harganya lumayan mahal. Tanaman seperti misalnya kunyit, biasanya yang saya ambil adalah daunnya untuk membuat masakan semacam sate padang atau rendang.
Ada juga jeruk purut yang daun segarnya enak dibuat rempeyek atau campuran nasi goreng, serta jeruk kalamansi yang bunganya wangi dan kadang jeruknya saya buat campuran sambal. Selain itu kencur dan daun pandan juga tumbuh subur di musim panas.
Nah, karena ini adalah tanaman tropis, repotlah saya tiap menjelang pertengahan musim gugur. Ketika temperatur sudah mulai mendekati titik nol, semua tanaman tropis itu harus saya bawa masuk ke dalam rumah. Untungnya mereka semua tumbuh di pot dengan ukuran kecil hingga sedang, jadi tidak terlalu berat waktu menggotong. Semua tanaman itu akan tetap berada di dalam rumah mulai dari pertengahan Oktober tergantung cuaca dan temperatur, hingga tahun depan ketika musim semi tiba dan udara tidak lagi berada di sekitar titik beku.
Agak repot memang karena saya harus mengatur tempat untuk mereka di dalam rumah. Namun buat saya, kenikmatan bisa memperoleh bumbu segar dengan harga terjangkau bisa membayar segala kerepotan itu.
Beri makan buat makhluk lain
Ketika berkebun, kita juga tidak boleh melupakan kesejahteraan mahkluk lain seperti serangga dan burung. Di Jerman, ribuan lebah mati setiap tahunnya baik karena sistem pertanian monokultur yang membuat mereka kekurangan makanan, penggunaan pestisida, maupun pemanasan global. Sejak beberapa tahun belakangan banyak organisasi nonpemerintah didirikan untuk menyelamatkan lebah dan ekosistemnya. Saya tahu yang bisa saya lakukan saat ini masih sedikit sekali. Namun sejak membaca artikel bahwa para lebah itu kekurangan makanan, saya perbanyak menanam lavender, mawar dan jeruk yang sari bunganya sangat mereka gemari.
Hewan lain misalnya tupai dan burung juga jadi perhatian para pegiat lingkungan di Jerman. Ada aturan tidak boleh menebang pohon pada bulan-bulan tertentu karena khawatir akan mengusik sarang burung.
Selain itu, di sini banyak dijual bebijian untuk pakan burung dalam aneka bentuk dan ukuran. Biasanya orang akan menggantungkan pakan ini di pohon agar burung-burung liar bisa mendapat makanan, terutama ketika musim dingin. Sewaktu musim panas, jangan lupa letakkan juga semangkuk air, supaya para burung bisa sekadar minum. Tupai yang sering saya lihat di sini warnanya merah. Mereka suka sekali berlarian sambil membawa biji pinus atau biji bunga matahari.
Ada alasan untuk bersyukur
Ada banyak pelajaran yang saya petik dari berinteraksi dengan tanaman, antara lain adalah ketika saya harus ‘tega' memotong sebuah cabang yang sepintas tampak sehat, tapi saya tahu cabang itu sakit dan bisa menjalar dengan cepat.
Pohon apel yang sebelumnya saya sebut juga memberi banyak pelajaran untuk selalu mencari sisi indah dalam siklus kehidupan. Jika musim semi, nikmati indahnya bunga apel yang putih dengan semburat merah jambu. Musim panas datang, ketika bunga-bunga itu gugur dan pohon apel tidak lagi semarak karena kini tampak seperti ‘pohon biasa,' kami bersyukur karena daun-daunnya membentuk semacam payung. Jadi kami bisa duduk-duduk dengan teduh di bawah pohon itu, kadang sambil menikmati makanan dengan teman dan kerabat.
Lalu pada musim gugur, daunnya kuning dan rontok. Saya pun harus menyapu halaman lebih sering daripada musim lain supaya tidak menjadi sarang hama. Agak repot memang, tetapi pada musim ini kami bisa sesekali menikmati apel yang manis dan segar langsung dari pohonnya. Tentu saja tanpa pestisida.
Dan akhirnya di musim dingin ketika udara beku dan sudah tidak bisa lagi berkebun, kebanyakan waktu dihabiskan di dalam rumah. Saat ini lah saya bisa memandangi ranting apel yang polos tanpa daun. Burung sesekali hinggap di sana, meloncat-loncat, mematuki sisa-sisa apel yang masih bergantung di pohon. Lucu juga.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.