Kita semua kenal atau paling tidak pernah mendengar nama Awkarin. Perempuan muda, yang sejak beberapa tahun terakhir belakangan namanya begitu melambung sebagai salah seorang influencer (pemengaruh) media sosial ternama di Youtube dan Instagram tersebut, sejak pertengahan 2019 lalu merambah jagat Twitter. Jika di Youtube dan Instagram dirinya cenderung menampilkan persona sebagai influencer berorientasi bisnis, maka di Twitter ia hadir dengan lakon dermawan dan membumi. Banyak orang mengira, kehadirannya di Twitter merupakan bentuk pendewasaan diri.
Serangkaian acara bagi-bagi hadiah dilakukannya, para pengikutnya pun ramai-ramai mengiba kepada yang bersangkutan mengenai kebutuhan masing-masing. Sebagian disanggupinya untuk dibantu, bahkan seorang pengemudi ojek online dibelikannya motor baru. Perempuan bernama asli Karin Novilda itu juga tampil aktif dalam kegiatan-kegiatan kerelawanan sosial di tempat-tempat yang isu politiknya kental, seperti lokasi bencana kebakaran hutan Kalimantan dan aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak serangkaian undang-undang bermasalah di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada September-Oktober 2019 silam.
Sepak terjangnya yang tidak banyak orang kira tersebut disambut positif. Sebagian menggodanya untuk langsung terjun saja ke dunia politik. Awkarin menolak karena meskipun ia senang membantu orang, ia tidak tertarik dengan politik. Bagaimanapun, sontak saja ia menjadi bahan pembicaraan di kalangan pengguna Twitter secara luas, terutama mereka yang kerap mengikuti tren isu-isu politik, bahkan beberapa politisi sendiri ikut menanggapi dirinya.
Namun satu hal yang menarik dari fenomena Awkarin adalah bahwa agaknya di tahun-tahun politik, para influencer ikut tertarik untuk melibatkan diri dalam isu-isu politik yang mungkin sekali berbeda dengan keahlian yang mereka miliki. Opini mereka pun patut diperhitungkan karena di belakang mereka sudah ada audiens yang loyal.
Pemengaruh dan Politik
Influencer adalah seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan mempengaruhi pikiran orang-orang, atau bahkan menghasilkan sebuah kebaruan yang kemudian diikuti banyak orang. Kata ini mulanya berkonotasi dengan sosok orang-orang di sekeliling seorang pemegang kuasa, atau dalam konteks politik, bisa berupa politisi, konglomerat atau bahkan sekumpulan massa terorganisir semisal serikat buruh, lembaga non-profit, dan lain-lain. Mudahnya, mereka mampu membisiki otoritas agar kepentingan dan aspirasi mereka dapat diwadahi dan diwujudkan.
Munculnya internet sebagai medium opini publik menjadikan kata influencer mengalami pergeseran makna populer yang cukup signifikan. Influencer kini lebih sering diartikan sebagai seseorang yang mendapatkan kemasyhurannya murni dari internet, khususnya media sosial, memiliki fans, dan mampu memanfaatkan dirinya sebagai saluran promosi sebuah gagasan, baik itu sebuah produk dagang maupun sikap dan sudut pandang tertentu (keduanya biasanya merupakan pesanan dari otoritas-otoritas tertentu).
Di Indonesia tren ini sudah cukup meledak beberapa tahun belakangan. Kata-kata seperti youtuber,selebgram, dan selebtwit menjadi kian awam dan semakin banyak para influencer baru bermunculan dengan macam-macam gagasan yang mereka bawa. Banyak dari mereka adalah orang-orang muda dan bersemangat besar untuk aktif mengeksplorasi keahlian mereka demi memberikan impresi kepada audiens mereka masing-masing.
Saya membandingkan influencer ini bagaikan para aktor dan aktris di masa silam yang terkenal akibat munculnya teknologi film. Kehadiran bioskop dan televisi menghadirkan sebuah kultur selebriti yang digandrungi banyak orang dan serta merta menjadikan selebriti-selebriti tersebut sebagai corong opini publik bahkan untuk masalah-masalah yang tidak melulu terkait kesenian. Sebagian bahkan mendapatkan jabatan mentereng. Di Amerika Serikat ada Ronald Reagan dan Arnold Schwarzeneggers yang dahulu terpilih sebagai presiden dan gubernur karena faktor familiarnya publik berkat status selebriti mereka.
Hal ini membuat saya berpikir; akankah pola serupa terulang dengan kelompok influencer ini, khususnya di Indonesia? Dunia sudah mengakui internet sebagai wadah sosial yang begitu melekat dengan anak-anak muda di generasi sekarang. Sudah banyak festival-festival, acara-acara penghargaan, bahkan pengakuan dari otoritas-otoritas politik mengenai pengaruh para influencer dalam menyetir tren sosial dan opini publik. Namun rasanya, masih sangat sedikit dari mereka yang ingin memanfaatkan modal ketenarannya untuk serius masuk ke dunia politik dan menjadi seorang "influencer-politician".
Mengapa politik? Karena ranah ini merupakan otoritas tertinggi dan seorang influencer akan dengan lebih mudah menebarkan dan mempraktikkan gagasannya jika memiliki kekuasaan. Masalahnya, sejauh ini para influencer terlihat enggan untuk benar-benar terjun ke dalam dunia politik. Sebagian dari mereka memilih berperan sebagai buzzer (pendengung) tokoh-tokoh politik dan membentuk opini kepada audiens mereka untuk mendukung tokoh-tokoh tersebut. Sebagian lagi menanggapi isu-isu politik sebagai alat untuk meningkatkan sensasi mereka di kalangan audiensnya masing-masing.
Mungkin masalahnya ada di faktor usia. Sebagian besar influencer yang kita kenal berasal dari generasi milenial yang, setidaknya di Indonesia, masih dianggap terlampau muda untuk menjadi pesohor politik. Partai-partai politik juga belum merasa tertarik untuk "merekrut” mereka kecuali untuk keperluan jangka pendek, padahal potensinya cukup besar di masa mendatang dengan kampanye digital yang diperkirakan juga akan kian massif. Sedangkan para influencer tampaknya masih enggan terang-terangan masuk ke dunia politik karena takut nama dan bisnisnya yang bergantung pada ketenaran tercoreng.
Padahal, para influencer dengan segala keahlian dan audiensnya yang spesifik memiliki modal yang besar untuk menjadi sosok politik. Seorang influencer otomotif sudah tentu memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai transportasi dan regulasinya daripada orang kebanyakan, begitu juga influencer teknologi, feminisme, dan lain-lain. Posisi mereka yang biasanya berada di luar jangkauan pengaruh otoritas membuat mereka sudah memiliki independensi tersendiri, paling tidak untuk mempertahankan karakternya (karena itulah yang membuat audiens mereka bertahan).
Dari Sensasi ke Esensi
Mungkin kita baru bisa melihat sepak terjang para influencer ini di panggung politik dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan ketika mereka mulai merasakan kejenuhan dalam berkarya yang tujuannya menambang hal-hal sensasional, dan mulai melihat realita bahwa privilese dan keahlian yang mereka miliki dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih esensial. Perdebatan mengenai sensasi dan esensi ini juga sempat heboh karena melibatkan Awkarin dan politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko. Namun pesannya cukup jelas; influencer memiliki potensi besar untuk berbagi lebih kepada sesamanya.
Kehadiran influencer juga seharusnya dapat menjadi angin segar dalam kultur politik kita yang kian oligarkis dan elitis. Kelompok influencer pada dasarnya adalah sebuah fenomena kelas profesi baru yang bertumpu pada teknologi dan kreativitas, sehingga cara mereka melihat masalah dan menemukan solusinya seharusnya akan lebih baik daripada politisi-politisi kawakan yang cenderung kaku. Idealnya, para influencer ini membentuk sebuah kutub politik baru daripada masuk ke partai-partai politik yang terlalu oportunis dan masih melihat kemudaan sebagai energi suplementer alih-alih utama.
Ketika seseorang sudah dielu-elukan banyak orang, maka ia memiliki kekuasaan yang patut dikelolanya dengan baik. Patut ditunggu untuk melihat masa depan politik Indonesia dan persinggungannya dengan meroketnya tren influencer dari berbagai bidang keahlian dan kreativitas dewasa ini.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis