Meracik Perdamaian Suriah Tanpa Assad dan Oposisi
12 Februari 2016
Konferensi keamanan di München yang dihadiri 17 negara mendiskusikan dan merumuskan rencana ambisius untuk akhiri perang saudara di Suriah. Perdebatan di München Kamis kemarin terutama bertujuan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian yang macet. Ironisnya dua pihak yang berkonflik, rezim Bashar al Assad dan oposisi, tidak hadir dalam perundingan.
Negara-negara itu setuju untuk menghentikan kekerasan di seluruh Suriah, dan itu akan dimulai dalam sepekan mendatang. Demikian dinyatakan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry dalam konferesi pers, setelah berunding lama dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov.
Kelompok yang menamakan diri International Syria Support Group juga setuju untuk memperlancar dan memperluas pemasokan bantuan kemanusiaan, dan itu akan dimulai secepat mungkin. Kerry menyatakan, perudingan antara pemberontak dan rezim akan segera dimulai, tetapi ia memperingatkan, "yang kita peroleh sekarang hanya kata-kata yang tertulis di kertas. Sedang yang kita perlukan adalah langkah nyata di lapangan."
Ragukan terobosan?
Mengingat hal itu, Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier yang bertindak sebagai tuan rumah menyatakan, apakah perundingan bisa disebut terobosan, hanya bisa dilihat beberapa hari mendatang.
Perundingan perdamaian di Jenewa terhenti awal bulan ini, segera setelah dimulai, setelah pasukan yang loyal kepada Presiden Bashar al Assad, dengan didukung pesawat pembom Rusia dan tentara dari Iran melacarkan seragan ke kota Aleppo yang jadi markas oposisi.
Serangan yang dilancarkan sejak 1 Februari itu menyulut gelombang pengungsi baru. Diperkirakan sekitar 50.000 orang melarikan diri, sekitar 500 tewas, semetara oposisi berada di posisi terkepung. Perang saudara Suriah yang sudah berlangsung sejak tahun 2011 ditaksir telah menewaskan lebih 260.000 orang.
Rusia dan Ukraina
Di samping membicarakan masalah Suriah, KTT Keamanan di München juga merundingkan ancaman lain terhadap stabilitas dunia, yaitu peran Rusia di Ukraina. Hal ini disebut sebagai "krisis dalam hubungan Barat-Rusia". Namun Presiden Rusia Vladimir Putin tidak hadir dalam perundingan sehingga hasil maksimal tidak bisa tercapai.
Sebelum pertemuan, Wolfgang Ischinger yang mengepalai konferesi menekankan, konflik Ukraina masih terus berjalan. Sejumlah insiden militer dan bentrokan antara Rusia dan Barat menjadi risiko eskalasi yang tidak bisa diabaikan.
Dua hari menjelang konferesi, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan, aliansi militer Barat itu akan meningkatkan aktivitasnya di Laut Hitam, yag mengelilingi kawasan Krimea yang dianeksasi Rusia dari Ukraina.
ml/as (twitter, dpa, afp)