Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum, Apa Kata Pakar Jerman?
15 Januari 2019Profesor Dr. Jörg Szarzynski adalah pengajar di United Nation University, Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan pakar mitigasi bencana yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia terutama melalui riset dan kerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Beliau pernah menjadi bagian tim pakar dari Jerman untuk pengembangan sistem peringatan dini tsunami (German-Indonesian Tsunami Early Warning System) dan bekerja sama dengan LIPI memberi pelatihan untuk siswa sekolah di Jakarta dan Bogor. Ketertarikan risetnya berada di bidang Manajemen Bencana, Sistem Peringatan Dini, Pembangunan Kapasitas dan Pendidikan, serta Perubahan Lingkungan dan Pengembangan Berkelanjutan. DW memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengannya terkait tema pendidikan mitigasi bencana untuk masyarakat.
DW: Presiden Indonesia, Joko Widodo telah menginstruksikan kementerian terkait untuk memasukkan mitigasi bencana ke dalam kurikulum sekolah. Apa pendapat Anda tentang ini?
Saya sangat menyambut inisiatif seperti ini dari Presiden karena saya percaya, jika kita ingin meningkatkan kesiapsiagaan bencana di tingkat nasional, kita harus memulai sedini mungkin, jadi sejak bangku sekolah dasar atau bahkan TK. Karena dengan melakukan itu, selain kita dapat mendidik dan menyiapkan anak-anak, kita juga dapat menggunakan mereka sebagai pembawa atau penyebar pesan, karena ketika anak-anak pulang sekolah, mereka membawa informasi ini ke rumah dan menyampaikannya kepada orang tua mereka. Jadi dengan dimulai dari anak-anak, kita dapat menyebarkan tingkat kesadaran akan kesiapsiagaan bencana ini ke seluruh masyarakat.
Menurut Anda bagaimana kurikulum sekolah terkait mitigasi bencana sebaiknya dikembangkan?
Pertama-tama saya pikir perlu ada konsep didaktis, apa isi kurikulum itu, bagaimana cara memberi tahu anak-anak tentang potensi bahaya dari alam dan bahaya buatan manusia. Jika kita melihat negara seperti Indonesia, yang rentan terhadap berbagai bahaya alam seperti tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan sebagainya, tentu berbagai bentuk bahaya dari alam ini semua perlu dimasukkan. Dan tentu saja kurikulum perlu disesuaikan dengan usia anak sehingga transmisi dan distribusi pengetahuan yang efisien dapat terjamin.
Apakah Anda tahu ada negara berkembang lain yang juga melakukan langkah ini?
Ada pendekatan yang berbeda-beda di berbagai negara, tetapi sepengetahuan saya, Indonesia adalah salah satu negara pertama di mana Presiden sendiri menyatakan bahwa mitigasi bencana harus menjadi bagian dari kurikulum nasional di sekolah. Dan saya katakan sekali lagi ini adalah inisiatif yang sangat bagus, yang tentu disambut dengan baik oleh ilmuwan di seluruh dunia.
Apa yang sebenarnya kurang dilakukan dengan baik dalam penanggulangan bencana di Indonesia, mengingat kita selalu melihat ada banyak korban ketika bencana alam terjadi?
Saya pikir ini mengarah pada penerapan sistem peringatan dini yang efisien, tidak peduli bahaya alam macam apa yang dihadapi suatu negara. Tetapi kita juga harus ingat bahwa sistem peringatan dini tidak hanya terdiri dari perangkat teknis, seperti sensor, tetapi harus juga dikembangkan sistem peringatan dini yang berpusat pada orang (a people-centered early warning system). Dan itu juga termasuk kesadaran penduduk dan masyarakat. Setelah itu baru Anda perlu memiliki sistem teknis yang berfungsi. Setelah pesan peringatan awal dihasilkan, juga harus dipastikan, ada jalur distribusi pesan yang baik misalnya melalui saluran radio, televisi, email, SMS dan sebagainya. Dengan cara ini Anda benar-benar bisa memiliki jangkauan yang baik ke daerah yang berbeda-beda. Terutama di Indonesia, yang memiliki lebih dari 16.000 pulau, jalur distribusi informasi yang baik menjadi hal yang sangat penting.
Selain itu, kapasitas orang yang menerima pesan peringatan dini itu juga penting. Orang-orang perlu dilatih supaya siap dan tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat. Dan di sini menjadi penting ketika Anda memulai pendidikan tanggap bencana cukup awal, terutama sejak di sekolah atau entitas lain, untuk melatih dan mempersiapkan anak-anak. Jadi mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan jika pesan peringatan dini semacam itu datang dan bahaya mendekat.
Untuk anak-anak dan orang-orang yang tidak bersekolah dan tidak menerima pelatihan apa pun, apa yang dapat mereka lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam?
Pertama-tama, saya perlu koreksi. Dari sudut pandang kami di UNU tidak ada yang namanya bencana alam. Kami menyebutnya bahaya alam. Ketika populasi manusia terpengaruh maka bahaya alam berubah menjadi bencana. Semakin siap masyarakat, semakin sedikit efek buruk yang ditimbulkan. Kembali ke pertanyaan Anda, saya pikir penting bahwa tidak hanya sekolah yang dilibatkan untuk merancang kurikulum mitigasi bencana, karena ini juga harus menjangkau anak-anak yang mungkin tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke sekolah resmi. Maka selain sekolah, mungkin bisa juga dilibatkan, di sini saya ambil contoh, radio komunitas. Karena bahkan di desa paling terpencil orang memiliki radio. Jika Anda memiliki konsep didaktis yang dirancang dengan baik untuk mentransmisikan konsep paling penting, saya pikir Anda akan dapat menjangkau bahkan sejumlah komunitas terpencil serta anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke sekolah secara teratur.
Anda juga terlibat dalam tim Sistem Peringatan Dini Tsunami Jerman-Indonesia. Apa yang Anda pikirkan ketika tahun lalu mendengar lagi tsunami terjadi di Indonesia yang menyebabkan banyak korban?
Saya terlibat beberapa tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 2006-2007 saya terlibat aktif dalam Sistem Peringatan Dini Tsunami Jerman-Indonesia (German-Indonesian Tsunami Early Warning System), yang disebut GITEWS, di bawah partisipasi sejumlah besar aktor, terutama di Indonesia. Itu adalah sistem yang sangat efektif. Mengenai pertanyaan Anda, kita sudah melihat perlunya diterapkan bukan hanya satu sistem teknis saja. Sistem teknis perlu selalu Anda kembangkan dan perbarui. Dan seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mitigasi bencana bukan hanya tentang sistem teknis. Anda perlu melanjutkan upaya untuk melatih masyarakat dan memastikan bahwa terdapat sistem distribusi informasi yang efektif untuk menjangkau populasi berbeda yang terancam bahaya.
Anda juga mendukung kegiatan pelatihan di Bogor, Indonesia. Pelatihan apa itu? Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut tentang ini?
Itu adalah bagian dari kegiatan UNU-EHS di sini, di Bonn. Karena selama beberapa tahun kami memiliki kolaborasi yang sangat kuat dengan LIPI di Jakarta. Dalam kerangka ini kami memulai ide untuk melakukan serangkaian langkah pelatihan bersama dengan mitra dari Indonesia, baik di Jakarta atau di Bogor. Saya pikir acara di Bogor adalah yang pertama dari jenis ini, di mana kami bekerja bersama dengan rekan-rekan dari meteorologi, geologi dan pihak-pihak lain, untuk menawarkan pelatihan kepada siswa dari Indonesia terkait dengan sistem peringatan dini, kerentanan dan penelitian risiko, seperti yang kami lakukan di sini di lembaga kami. Dan juga untuk memberikan informasi apa peran sistem PBB dalam kasus bencana internasional yang melebihi kemampuan satu negara untuk menanggulanginya, misalnya. Jadi, setiap kali suatu negara meminta dukungan internasional, PBB memiliki peran dan ini adalah informasi yang kami berikan juga kepada para siswa.
Dalam kasus Indonesia, apa yang sebenarnya lebih mendesak untuk diperhatikan dalam mengembangkan manajemen bencana terbaik, bagian teknis atau kesadaran manusia?
Itu pertanyaan yang rumit dan juga tricky. Tapi saya pikir ada banyak upaya dalam meningkatkan sistem teknis. Tapi seperti yang kita semua tahu, setiap sistem teknis memiliki kemungkinan untuk gagal, karena alasan apa pun. Memperbaiki sistem teknis jelas merupakan suatu keharusan. Tetapi pada saat yang sama, saya selalu berpendapat bahwa masyarakat perlu dilatih dan pemerintah perlu memastikan ada jangkauan informasi yang efektif untuk semua orang, sehingga seluruh populasi bisa dijangkau dengan informasi peringatan dini, mengingat betapa kompleks dan luasnya pulau-pulau di Indonesia.
Selain itu, kearifan lokal juga sangat penting. Di masa lalu ada sejumlah contoh sukses dari kearifan lokal dalam menghadapi bahaya alam, misalnya yang disebut "Smong", dari Pulau Simeuleu. Setelah tsunami besar pada awal abad ke-19, orang di sana telah mengembangkan sistem yang melestarikan kearifan lokal itu dan mentransmisikan pengetahuan itu ke generasi selanjutnya. Hanya dengan menyanyikan sebuah lagu, dengan melihat lingkungan, dengan melihat sinyal pertama dari tsunami yang mendekat, mereka mempraktikkan sistem itu dan selamat dari bahaya.
Dalam kasus tsunami di Samudra Hindia pada tahun 2004, kita semua tahu betapa banyaknya jumlah korban di Banda Aceh, tetapi pada saat yang sama, kurang dari 10 orang meninggal di pulau itu karena mereka sudah tahu gejala tsunami yang mendekat, mereka memberitahu orang-orang dan masyarakat tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi ini sehingga mereka semua menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi . Dan saya pikir ini contoh kearifan lokal yang sangat sempurna dalam mitigasi bencana. Dan jika ada cara untuk membawa sistem ini ke daerah Indonesia lainnya, maka cara ini juga bisa sangat menjanjikan.
Jadi, apa yang saya katakan adalah, mitigasi bencana bukan hanya tentang teknologi modern, tetapi juga mencoba untuk mengintegrasikan kearifan lokal.
Apa pesan Anda untuk masyarakat Indonesia?
Saya hanya bisa mendorong Presiden untuk melanjutkan rencana yang merupakan ide bagus ini. Dan juga dari pihak kami, jika ada kesempatan, kami siap untuk mendukung Indonesia dalam meningkatkan kesiapsiagaan penduduk terhadap bahaya alam di masa depan.
Pandangan dan pendapat pribadi dalam wawancara ini adalah milik pakar dan tidak merepresentasi UNU.
Ed.: na/ts