Mitos Menstruasi Cegah Penggunaan Tampon oleh Perempuan Asia
16 Oktober 2019Udara yang panas dan lembab di Manila, Filipina, menggoda sebagian penduduk buat membanjiri kolam-kolam renang, termasuk pemudi lokal bernama Yen yang berusia 24 tahun. Namun ketika teman laki-lakinya bebas bermain air, dia dan perempuan lain tidak bisa menikmati kesenangan itu setidaknya selama enam hari setiap bulan.
Yen yang seorang mahasiswi menjelaskan minimnya ketersediaan tampon di Filipina membuat perempuan yang sedang mengalami menstruasi tidak dapat pergi berenang atau melakukan aktivitas olahraga lain. "Kami tidak bisa menikmati kesenangan itu karena sedang menstruasi. Sangat frustasi rasanya karena tampon tidak selalu ada."
Menstruasi hingga kini masih menjadi isu tabu di sebagian wilayah Asia. Situasi tersebut menambah lebar jurang pengetahuan perihal kesehatan organ reproduksi perempuan. "Banyak perempuan tumbuh di masyarakat yang tidak memfasilitasi dialog mengenai seks, organ reproduktif, vagina atau isu higiene," kata Varistha Nakornthap, pendiri yayasan Cuppers Community Thailand.
Mitos Menstruasi
Di berbagai tempat, minimnya pendidikan seks dan terbatasnya ruang dialog semakin mengompor tumbuhnya mitos dan kesalahpahaman terkait tubuh perempuan.
Salah satu mitos yang melekat pada fenomena menstruasi adalah nasib buruk atau kontaminasi bagi orang yang bersentuhan dengan perempuan saat datang bulan. Di Nepal, sebanyak 19% perempuan berusia antara 15-49 tahun mengikuti praktik tradisional bernama "Chhaupadi" yang memaksa perempuan menghabiskan hari-hari menstruasi di sebuah bilik di luar rumah. Di India, perempuan yang sedang datang bulan tidak diizinkan memasuki rumah ibadah.
Di berbagai negara Asia, penggunaan tampon dikaitkan dengan seksualitas perempuan. Terutama gadis lajang bisa mengalami stigma negatif jika kedapatan menggunakan tampon. Kepada DW, sejumlah perempuan dari berbagai negara Asia Timur mengaku masyarakat di lingkungan tinggal mereka menganggap tinggi nilai keperawanan dan tampon bisa merusak selaput dara. Beberapa bahkan menganggap tampon menyimpan ancaman kesehatan, termasuk sindrom TS atau infeksi saluran kencing.
Sejauh ini tidak ada studi yang menemukan tampon merusak selaput dara dan "merenggut" keperawanan wanita. Meski begitu mitos tersebut sulit dilunturkan. Yen misalnya mengatakan warga Filipina menilai jika seorang perempuan menggunakan tampon, "maka itu artinya Anda sudah tidak lagi perawan."
Keperawanan di Atas Segalanya
"Lebih baik menyembunyikan fakta bahwa Anda melakukan hubungan seksual tanpa pelindung daripada orang-orang tahu bahwa Anda aktif secara seksual," kata dia. Yen meyakini konsep tersebut berasal dari periode kolonialisme Spanyol, ketika perempuan mengalami represi sosial.
Di Vietnam, dokter Quan yang berusia 27 tahun dan bekerja di rumah sakit tumor Can Tho, mengaku belum pernah melihat tampon seumur hidupnya. Ia menjelaskan warga Vietnam yang "tradisional" akan "mengasumsikan" perempuan yang menggunakan tampon tidak lagi perawan. Sementara Thi, istri Quan, hanya mengenal perempuan yang sudah menikah yang menggunakan tampon.
Hal serupa terjadi di Kamboja atau Korea Selatan. Juen, pengusaha perempuan muda di Seoul menyalahkan budaya partriarki Korea Selatan sebagai penyebab kenapa tampon tidak populer di negaranya. Menurut dia tekanan sosial seputar "keperawanan" membuat perempuan takut menggunakan tampon.
"Laki-laki masih ingin melihat perempuan sebagai figur lemah yang harus dilindungi," ujarnya. "Kaum pria harus menjadi pertama yang menginginkan seks dan perempuan harus menerima itu secara pasif."
Adapun Rena Park, perempuan Korsel lain, meyakini industri kesehatan ikut merawat mitos tentang menstruasi dan ancaman terhadap keperawanan oleh tampon untuk mempertahankan posisi mereka di pasar. Menurutnya ada kemungkinan produsen pembalut perempuan melobi negara agar melarang penjualan tampon di negaranya.