Gugatan Ditolak MK, Pengamat: Ini Bukan Akhir Dunia
28 Juni 2019Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia akan segera menetapkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih peridoe 2019-2024. Hal ini menyusul penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) akan gugatan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno terkait sengketa hasil pemilihan presiden.
MK menilai semua dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum dan tidak didukung dengan alat bukti yang kuat. Bagaimana pengamat menanggapi keputusan tersebut? Wawancara Deutsche Welle (DW) Indonesia dengan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti seputar hasil sidang putusan MK!
Deutsche Welle: Apakah sejak awal Anda sudah memprediksi keputusan MK yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Sandi?
Bivitri Susanti: Saya sudah lama mengamati bagaimana MK bekerja dari sidang-sidang terdahulu dari perkara yang serupa. Memang dari awal akan sangat sulit bagi pemohon untuk menang, karena permohonannya memang agak banyak yang kualitatif. Memang akhirnya dikaitkan dengan sengketa hasil tapi secara konstitusional MK memang merujuk ke hasil. Kedua, kalau kita lihat permohonan dari daftar alat bukti surat, opini pakar, dan lain sebagainya, kita sudah paham dari dulu kalau di MK mereka tidak akan dengan mudah terpengaruh opini pakar karena mereka memang betul-betul cari fakta. Alat bukti banyak yang video. Video tersebut banyak sekali yang tidak relevan isinya, hanya narasi, tidak jelas ceritanya. Nilainya di mata hakim tidak meyakinkan. Kemudian melihat saksi juga yang sudah tampil, banyak sekali yang diproeksaminasi, ceritanya sungguh berbeda dan tidak relevan. Ketika saksi sudah dihadirkan semua, sudah bisa diperkirakan secara hukum itu sangat jauh dari sah dan meyakinkan.
Tim hukum BPN sepertinya sudah berupaya keras membuktikan adanya kecurangan dalam proses pemilihan presiden lalu. Dalam sidang pembuktian mereka menghadirkan saksi dan alat bukti yang cukup banyak, durasi sidang pun memakan waktu yang panjang. Tanggapan Anda terkait upaya mereka?
Di pengadilan kita tidak bicara kuantitas, tapi kualitas. Begitu juga alat bukti. Mau sampai 500 alat bukti surat pun (lihat) kualitasnya kredibel atau tidak, relevan atau tidak, itu yang lebih penting. Saya pikir memang perlu diluruskan, tim kuasa hukum 02 selalu mewacanakan ini: ‘karena kami tidak bisa, waktunya sedikit.’ Sebetulnya tidak seperti itu cara melihatnya. Waktu yang sedikit ini dari dulu sudah begini karena kita menunggu kepastian hukum tidak bisa tunggu sampai dua tahun lagi untuk tahu siapa presidennya. Dengan memahami itu, maka pembuat Undang Undang nomor 7 tahun 2017 menstrukturkannya sedemikian rupa. Kalau ada kecurangan ya dilaporkan dari awal di Bawaslu. Kalau ada surat pengunduran diri BUMN, kalau memang itu masalah silahkan disengketakan di Bawaslu dari awal, jadi tidak semuanya 14 hari di MK. Tapi mereka tidak melakukan pekerjaan rumahnya, terus tiba-tiba masuk di MK, kemudian menyalahkan kecepatan sidang. Tapi desain pemilu kita memang seperti itu.
Sebenarnya apa perspektif dasar MK dalam mengambil putusan suatu perkara sengketa hasil pemilu?
Secara konstitusional MK itu memutus hasil sengketa pemilu. Bahwa mereka memeriksa, juga bisa. Sejak 2008 mereka sudah bilang bahwa tentu saja hasil bisa sekali dipengaruhi oleh proses. Cuma kalau curang sedikit-sedikit, sulit untuk dikaitkan dengan hasil. Makanya sejak 2008 mereka meminjam konsep hak asasi manusia. Ada kecurangan, ada hal-hal yang dilakukan oleh negara, maka silahkan pakai parameter terstruktur, sistematis, massif. Semua harus dikaitkan dengan kecurangan, mempengaruhi hasil atau tidak. Harus dibuktikan faktanya bagaimana.
Selama dua minggu waktu persidangan, apakah MK, pemohon, termohon, serta pihak terkait sudah menjalankan peran sesuai porsinya dengan maksimal?
Termohon, pihak terkait, TKN dan Bawaslu, MK semua sudah maksimal. Yang tidak maksimal itu pemohon. Pemohon banyak tidak menghadirkan saksi yang berkualitas. Kemudian dokumen, kalau dalam hukum yakni alat bukti surat, banyak yang gagal diterapkan. Misalnya form C1, C1 plano, pada hari selasa (18/06) mereka kasih langsung ditumpuk saja di halaman MK, coba bayangkan. Pengacara yang biasa praktik tahu itu akan diterima, tapi tidak boleh begitu. Sebagai pengacara, adalah tanggung jawab profesinya untuk menyiapkan sesuai prosedur hukum acara. Tapi MK kemarin bijaksana dan harus diapresiasi juga mereka tidak langsung tolak, biasanya langsung ditolak loh, cuma karena ini highly political mereka bilang ‘oke kami beri waktu sampai jam 12 silahkan diperbaiki dulu,’ tapi ternyata tidak sanggup diperbaiki, ditarik alat buktinya. Kemudian ada bukti nomor P155 soal DPT, mereka juga tulis dalam daftar tapi mereka tidak sanggup kasih. Terus dari putusan, dari bukti-bukti surat lainnya yang juga dalam permohonan dijanjikan untuk bersambung dengan dalilnya juga tidak diserahkan. Saya juga sudah mengkritik langsung kepada mereka, jangan menyalahkan MK kalau mereka kalah, jangan menyalahkan sistem. Menurut saya tim kuasa hukumnya yang tidak maksimal. Tim kuasa hukum yang baik tahu bagaimana cara menyerahkan alat bukti surat, menyerahkan dasar saksi, siapa yang harus dihadirkan, siapa yang kualitasnya paling baik. Saya lihat dalam putusan, hakim terlihat tidak nyaman ketika harus memeriksa banyak hal yang tidak relevan. Ternyata videonya hanya berisi orang-orang yang sedang mengobrol. Itu sangat tidak profesional buat advokat.
Ada yang bilang pihak termohon dalam hal ini KPU terlalu percaya diri dalam menanggapi gugatan pemohon, Anda juga berpendapat demikian?
Memang mereka percaya diri sekali. Hari Selasa (25/06) itu sebenarnya banyak pengamat yang kaget, kok saksinya seperti itu. Kalau dalam sidang itu suatu pihak bisa saja merasa dalilnya sudah terpenuhi dengan menggunakan kesempatan mereka untuk bertanya kepada saksi lainnya. Hari Selasa itu saksi-saksi diberi kesempatan ditanyai berbagai pihak oleh hakim, pemohon menghadirkan saksinya untuk cerita kemudian hakim mempersilahkan termohon, pihak terkait untuk bertanya. Pada kesempatan itu banyak langsung patah semua argumen. Ada yang klaim kecurangan oleh saksi, ternyata sudah ada pemungutan suara ulang, klaimnya jadi gugur. Kemudian mengaku melihat kecurangan dari video, dari youtube pula. Itu buat hakim jelas dalilnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Dari Selasa sudah jelas, wajar saja kalau KPU dan pihak terkait tidak menghadirkan saksi secara maksimal.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari persidangan kali ini, jika di kemudian hari didapati perkara perselisihan serupa?
Ada dua hal. Satu, semua pihak harus mengantisipasi kecurangan sejak awal. Sekali lagi konstruksi hukum pemilu di Indonesia memang seperti itu, sudah menyiapkan Bawaslu, menyiapkan pidana pemilu ke pengadilan. Jadi kalau dari awal tidak setuju DPT, tidak setuju ada surat pengunduran diri yang belum dikasih harusnya dari awal diperkarakan. Konstruksi hukumnya diperhatikan betul. Jangan ibaratkan MK sebagai tempat pembuangan akhir, semua kasih ke MK. Kedua, pelajaran buat publik bahwa jangan mengira kalau cara berpikir pengadilan itu sama dengan kita. Kita mungkin lihat meme atau provokasi di media sosial langusng percaya. Kalau di MK semua dalil satu demi satu. Kesembilan hakim itu membandingkan dalilnya apa, saksinya bilang apa, buktinya ada atau tidak, kemudian mereka akan bilang ini meyakinkan atau tidak. Ternyata terbukti klaim-klaim yang selama ini dinarasikan tidak terbukti secara hukum. Silahkan percaya betul MK, bagus sekali konstruksi putusannya, ada fairness dan kerangka hukum yang dipakai.
Adakah himbauan bagi para pendukung 01 dan 02 dalam menanggapi putusan MK ini?
Yang menang tidak pada tempatnya lagi untuk berpesta dan menepuk dada karena itu hanya akan menambah lebar jurang antara dua kubu ini. Untuk yang kalah saya juga harap lihat secara objektif. Karena dalam hukum tidak ada asumsi, semuanya harus fakta. Dan terbukti faktanya tidak seperti itu dan mereka (MK) bekerja secara akuntabel. Baca saja putusannya kalau tidak percaya, lebih dari 1.000 halaman. Percaya ini bukan the end of the world. Ini hanya kompetisi pemilu biasa, lima tahun lagi kita bisa berkompetisi lagi. Time goes by so fast, energinya lebih baik dipakai untuk mengkritik pemerintah, kalau masih benci ya dikritik saja kebijakannya.
Wawancara dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.
Bivitri Susanti adalah pakar hukum tata Negara. 1998, ia mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Selain itu Bivitri merupakan pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.