Mereka adalah Mayjen Ali Hamdan Bogra (Akmil 1987, sebagai Wadan Sesko TNI), Mayjen Herman Asaribab (Akmil 1988B, sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih). dan Mayjen Joppye Onesimus Wayangkau (Akmil 1986, Pangdam XVIII/Kasuari). Satu nama lagi yang bisa disebut adalah Irjen (Pol) Paulus Waterpauw, yang baru saja ditetapkan sebagai Kapolda Papua.
Khusus mutasi bagi perwira yang berasal TNI, diatur berdasarkan dua Skep (surat keputusan).Dalam Skep pertama tertanggal 14 Agustus 2019, sebenarnya yang muncul baru dua nama, yakni Brigjen Ali Hamdan Bogra dan Mayjen Joppye.
Nama yang terakhir ini sedianya akan digeser, dari Pangdam XVIII/Kasuari menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih. Namun sebelum sempat dilaksanakan sertijab, Skep tersebut dianulir, berdasarkan Skep (kedua) yang diterbitkan awal September.
Skep (kedua) yang terbit pada awal September, berisi tentang pembatalan Yoppye sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih. Dengan kata lain, Mayjen Yoppye tetap dalam posisi yang lama (Pangdam XVIII/Kasuari), sementara untuk posisi Pangdam XVII/Cenderawasih dipercayakan kepada Mayjen Herman Asaribab.
Hanya Ali Hamdan Bogra yang tetap dilantik sebagai Wadan Sesko TNI, sesuai bunyi Skep pertama, dan pada jabatan yang baru Ali Hamdan Bogra akan berpangkat mayjen.
Munculnya dua Skep tersebut tentu saja fenomena menarik, karena TNI biasanya sangat perfect dalam menyusun sebuah Skep, terlebih bila skep terkait mutasi, karena hal itu menyangkut nasib seorang perwira, jadi perlu cermat dan kehati-hatian dalam menyusunnya.
Bila sebuah Skep sampai dibatalkan atau dianulir, tentu ada sesuatu yang luar biasa. Benar, penyebabnya adalah perkembangan situasi di Papua yang sudah pada tahap genting. Sehingga diambil kebijakan, agar putera daerah yang menjadi Pangdam, berdasar asumsi mereka lebih paham kultur masyarakat, jadi diharapkan mereka bisa segera memulihkan keadaan.
Begitu juga alasan pengangkatan (kembali) Irjen Paulus Waterpauw sebagai Kapolda Papua, untuk kedua kalinya.
Seorang jenderal mengulang kembali pada jabatannya yang lama, termasuk peristiwa langka, tentu saja berdasarkan alasan yang sama, yakni mendorong putera daerah pada posisi pimpinan. Sekadar mengingatkan, Irjen Paulus Waterpauw, sebelumnya pernah menjadi Kapolda Papua (2015-2017) dan juga Kapolda (pertama) Papua Barat.
Promosi berdasar afirmasi
Dengan memanasnya situasi politik di Papua, seolah menjadi afirmasi pada karier perwira asli Papua. Promosi adalah misteri, sehingga soal nasib (baik) turut berpengaruh.
Di kalangan perwira sendiri ada istilah "garis tangan”, sebagai ungkapan bahwa naik jabatan atau naik pangkat, bukan berdasar prestasi semata, namun juga nasib (baik). Khusus untuk Papua, ada perkembangan situasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya, sebuah turbulensi yang diikuti mempercepat karier mereka.
Sekali lagi harus ditegaskan, promosi kali ini adalah bersifat sementara, tidak bisa dijadikan ukuran secara permanen. Memang turbulensi politik diPapua, telah memunculkan dilema bagi TNI. Sebab bila prinsip "NKRI Harga Mati” secara konsisten dijalankan, faktor primordial seharusnya tidak masuk dalam pertimbangan promosi, bahwa setiap perwira (tinggi) memiliki kompetensi untuk ditempatkan di mana saja, di seluruh penjuru tanah air, tanpa melihat latar belakang etnis perwira yang bersangkutan.
Namun khusus untuk Papua, tampaknya perlu ada sedikit toleransi, mengingat situasinya benar-benar darurat. Dalam derajat tertentu, pertimbangan primordial dalam promosi merupakan preseden buruk bagi pembinaan karier personel.
Kita masih bisa berharap pada institusi TNI, yang bisa memelihara nilai pluralisme, bahwa dalam memilih pimpinan berdasarkan prestasi yang bersangkutan, bukan berdasarkan ikatan primordial. Kita bisa melihat dalam setiap era, TNI selalu menjadi rujukan dalam praktik keberagaman. Sedikit menengok catatan masa lalu, para jenderal yang pernah sukses saat menjabat Pangdam XVII/Cenderawasih, adalah perwira non-Papua, dan itu tidak jadi masalah, seperti Mayjen Albert Inkiriwang (lulusan terbaik Akmil 1972, almarhum) dan Mayjen Hinsa Siburian (lulusan terbaik Akmil 1986, kini Kepala BSSB, letjen purn).
Menjadi pertanyaan publik, setelah sekitar sebulan pasca-pelantikan dua Pangdam, situasi di Papua belum ada tanda-tanda membaik, eskalasi konflik justru menunjukkan tren meningkat, khususnya di Wamena. Di Wamena terjadi semacam "arus balik”, ketika warga pendatang eksodus untuk segera pergi dari tanah Papua. Muncul kegentingan berikutnya, bahwa konflik di Papua berpotensi menjadi konflik horizontal (etnik).
Situasinya memang demikian kompleks, sehingga kebijakan instan dengan menempatkan perwira asli Papua sebagai panglima, tidak banyak membantu. Dengan kata lain, asumsi putera daerah lebih menguasai lapangan dan kultur masyarakat tidak banyak membantu juga. Oleh karenanya kebijakan penempatan putera daerah perlu ditinjau kembali, bahwa sebenarnya yang perlu dikedepankan adalah penguatan operasi teritorial, yang selalu menjadi brand TNI (khususnya matra darat) dalam operasi di wilayah mana pun, termasuk di negeri seberang.
Kita tidak bisa menafikan fakta, bahwa proses sejarah yang berlangsung di Papua berbeda dengan wilayah lain di Tanah Air. Sejak rezim-rezim sebelumnya, elite politik di Jakarta senantiasa gagal menangkap aspirasi rakyat Papua. Elite Jakarta biasa menggunakan kekerasan dalam meredam aspirasi rakyat Papua, seperti tindak kekerasan terhadap aksi mahasiswa Papua, yang dipicu oleh aksi rasisme di Surabaya dan Malang pertengahan Agustus lalu.
Jejak operasi teritorial
Publik sangat memahami, aksi kerusuhan yang berlarut-larut di Papua sekarang ini, merupakan respons atas tindakan elite Jakarta sebelumnya. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, sementara aspirasi rakyat Papua sendiri tidak diproses. Kompleksitas semakin bertambah, ketika pembantu dekat Presiden Jokowi, seperti Menkopolhukam Wiranto dan KSP Moeldoko, seolah tidak satu suara dalam kebijakan soal Papua.
Pada situasi runyam seperti itu, TNI tetap bisa berkontribusi dalam membangun kembali kohesi sosial, dengan cara mengedepankan kembali operasi teritorial. Demikian parahnya situasi di Papua hari-hari ini seolah menghapus jejak kegemilangan TNI di masa lalu dalam aspek operasi teritorial (opster). Prinsip operasi territorial adalah bagaimana memenangkan hati dan pikiran rakyat, dalam hal ini rakyat Papua. Apa yang kita lihat hari ini, seolah menafikan prestasi opster TNI era sebelumnya.
Dalam hal opster di Papua, kita bisa belajar dari artefak di Merauke. Salah satu landmark Kota Merauke adalah Monumen Benny Moerdani. Monumen tersebut berdiri sejak 1989, sebagai peringatan atas operasi penerjunan di belantara Merauke ( Operasi Naga, 1962), di bawah pimpinan (pangkat saat itu) Kapten Inf. Benny Moerdani.
Begitu bermaknanya operasi tersebut, di Merauke terdapat juga seruas jalan yang diberi nama Para Komando, karena pasukan yang diterjunkan saat itu berasal dari kesatuan RPKAD (kini Kopassus). Sepertinya baru di Merauke inilah ada jalan dengan mengabadikan nama Korps Baret Merah. Monumen Benny mendapat tempat khusus di kalangan warga Merauke, karena kebetulan Benny sendiri menganut Nasrani, yang juga dianut sebagian besar warga Merauke. Dalam hal keberagaman, telah terjadi titik temu antara Korps Baret Merah dengan Merauke, atau Papua pada umumnya.
Sehingga sulit dimengerti, mengapa aksi kekerasan aparat terus saja berlangsung. Seperti peristiwa yang terjadi sekitar setahun lalu, ketika aparat menggerebek Sekretariat KNPB (Komite Nasional Papua Barat), yang letaknya tak jauh dari pusat kota Jayapura. Dalam tindakan itu, selain melukai beberapa orang yang tengah berada dalam ruang sekretariat, aparat juga merusak bahan makanan dan masakan yang sudah siap disajikan.
Mengapa masakan harus dihancurkan? Bukankan aparat tersebut bekerja utamanya adalah untuk mencari makan, untuk menyambung hidup dirinya bersama keluarganya. Sementara kita tahu, harga bahan sembako di Papua secara umum lebih mahal ketimbang di wilayah lain di Tanah Air. Dan lagi masih banyak rakyat kita yang dengan susah payah mencari sesuap nasi. Terlihat sekali para aparat tidak memiliki empati pada nasib rakyat.
Posisi Pangti
Merebaknya kasus Papua yang berlarut-larut seolah menjadi jendela untuk membuka tabir yang lain, soal tidak efektifnya posisi Jokowi sebagai Panglima Tertinggi (Pangti) TNI. Selama ini Jokowi tidak mau banyak berpolemik dengan pihak TNI (khususnya AD). Kita bisa melihat, segala aspirasi TNI bisa langsung diluluskan, seperti soal pembentukan Kodam baru, dan satuan-satuan lain, termasuk rencana menjadikan seluruh Korem akan dipimpin jenderal bintang satu.
Dalam hubungan dengan TNI, Jokowi acapkali dibandingkan dengan presiden sebelumnya (SBY), yang memang berasal dari tentara. Menilik latar belakangnya yang sipil, Jokowi dianggap tidak bisa mengontrol kalangan militer sepenuhnya. Ketimbang berpolemik, turuti saja seluruh aspirasi TNI.
Dengan kata lain, Jokowi sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, Jokowi sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society movement, yang umumnya bersikap kritis terhadap politik militer. Dengan sadar Jokowi lebih memilih mengamankan kekuasaannya untuk dua periode ini (2014-2024).
Dalam mengontrol TNI, tampaknya Jokowi lebih mendelegasikan kepada beberapa purnawirawan kepercayaannya di lingkaran dalam Istana, seperti Luhut B Panjaitan, Wiranto, Ryamizard, Moeldoko dan seterusnya. Saya kira kebijakan soal Papua, termasuk opsi afirmasi bagi perwira asal Papua, adalah berdasar masukan jenderal-jenderal purnawirawan tersebut.
Celakanya sejumlah jenderal tersebut adalah figur warisan Orde Baru, yang sejak dulu memang tidak terlalu solid. Jadi wajar saja bila saat komunikasi di depan publik, pendapat para jenderal tersebut bisa jadi berbeda satu sama lain. Terkesan kuat sekadar menyenangkan atasan saja, dalam hal ini presiden.
Peristiwa krusial terjadi saat pergantian Menkopolhukam dari Luhut ke Wiranto, pertengahan Juli 2016. Semua orang di negeri ini juga tahu, bahwa Wiranto sudah bermasalah sejak lama, khususnya terkait isu HAM, lalu mengapa juga masih diberi kepercayaan sestrategis itu. Artinya visi Jokowi dalam isu HAM dan Papua juga tidak terlalu firm. Merupakan pemandangan biasa, bila Wiranto acapkali gagap dalam menangani sejumlah isu besar. Rasanya sudah tiba saatnya bagi Wiranto, untuk rehat sejenak dari lingkaran kekuasaan.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.