Nasib Pekerja Paksa di Era Nazi yang Terlupakan
7 September 2023Ketika bibinya meninggal, Hanna S. masih berusia delapan tahun. Saat itu, ia masih terlalu muda untuk memahami apa yang telah terjadi pada saudara perempuan neneknya: yakni harus melakukan kerja paksa di Jerman untuk Nazi.
Sama seperti 13 juta pria, perempuan, dan anak-anak lainnya, banyak dari mereka dideportasi dari negara-negara yang diduduki oleh Nazi ke Jerman dan dipaksa melakukan kerja paksa di sana.
Sejarah samar dalam keluarga
"Saya mengetahui tentang nasib bibi buyut saya secara tidak sengaja," kata Hanna S., yang berasal dari Belarus dan tidak mau menyebutkan nama lengkapnya. Kami bertemu dengannya di Berlin, di mana ia menghabiskan liburan musim panasnya dengan menghadiri sebuah seminar tentang topik kerja paksa Nazi.
"Tidak banyak yang dibicarakan di keluarga saya," kata perempuan lincah berambut cokelat panjang itu. "Saya pikir itu sangat disayangkan." Informasi yang dimiliki Hanna tentang bibinya sangat sedikit. "Itulah kesenjangan dalam sejarah keluarga saya."
Hanna hanya tahu bahwa bibinya harus memanggang roti. Namun, ia berharap dapat mengetahui lebih banyak lagi tentang bibinya suatu hari nanti. Itulah sebabnya ia datang ke Berlin, ke Pusat Dokumentasi Kerja Paksa Nazi, yang terletak di bagian tenggara kota dekat Sungai Spree.
Di sini, bersama dengan orang-orang lain yang tertarik dengan sejarah, ia mengambil bagian dalam seminar studi selama 10 hari yang diselenggarakan oleh Aktion Sühnezeichen Friedensdienste (Aksi Rekonsiliasi untuk Layanan Perdamaian), untuk mempelajari secara mendetail soal kerja paksa Nazi.
Selain dia, ada lima peserta lainnya berasal dari Belarus. "Topik ini menyentuh saya, tetapi juga melelahkan secara emosional," kata perempuan berusia 30 tahun yang berprofesi sebagai guru itu. Kelak, ia ingin melakukan lebih banyak penelitiantentang arsip.
Barak sebagai tempat tinggal pekerja paksa
Ketika menceritakan hal ini, Hanna memandang dinding-dinding barak yang kosong tempat para pekerja paksa ditempatkan selama era Nazi. Ini adalah bagian dari bekas kamp barak yang dibangun dari tahun 1943 dan sekarang berfungsi sebagai tempat peringatan otentik di Pusat Dokumentasi Kerja Paksa Nazi.
Pohon di depan jendela sudah ada pada saat itu, begitu pula rumah-rumah di sekitarnya yang dapat digunakan untuk melihat ke kamp barak, dan melihat bagaimana para pekerja paksa berlari ke pabrik, pabrik di sekitarnya pada pagi hari dan kembali pada malam hari. Dengan sedikit imajinasi, kita dapat membayangkan pengurungan, hawa dingin, dan kondisi higienis yang mengerikan di dalam barak, yang kemudian dilaporkan oleh banyak saksi mata. Tidak ada privasi, bahkan di ruangan dengan toilet di ujung koridor.
Satu kamp kerja paksa di setiap sudut
Berlin, ibu kota Reich pada saat itu, merupakan contoh ilustrasi yang sangat baik tentang skala besar eksploitasi pekerja paksa. Berlin bukan hanya pusat kekuasaan Nazi, tetapi juga lokasi perusahaan-perusahaan persenjataan dan industri besar. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki permintaan tenaga kerja yang tinggi, terutama karena banyak pria Jerman berada di garis depan peperangan, sehingga tidak tersedia cukup tenaga kerja.
Di Berlin saja, sekitar setengah juta pria, perempuan dan bahkan anak-anak dipaksa bekerja. "Pekerja paksa ada di mana-mana di Berlin," jelas sejarawan Roland Borchers, yang merupakan peneliti di Pusat Dokumentasi Kerja Paksa Nazi. "Ada kamp di setiap sudut kota." Dalam lanskap kota saat ini, hampir tidak ada yang bisa dilihat dari mereka.
Basis data terus berkembang
Para sejarawan memperkirakan ada sekitar 3.000 kamp untuk pekerja paksa di Berlin. Selain barak-barak sederhana, ruang penyimpanan, loteng, atau flat pribadi juga digunakan sebagai tempat tinggal bersama. Sebanyak 2.000 dari kamp-kamp tersebut telah didokumentasikan dalam basis data yang dapat diakses oleh publik dan Borchers secara teratur menambahkan lebih banyak data. "Kami terus menemukan kamp-kamp baru."
Selama era Nazi, perusahaan mana pun dapat meminta pekerja paksa, mulai dari pabrik senjata besar hingga toko roti di sudut jalan. "Dia harus pergi ke kantor tenaga kerja, menjelaskan kebutuhannya dan membuatnya kredibel bahwa bisnisnya penting," jelas Borchers. "Kemudian dia mendapat pekerja paksa."
Perspektif para korban
Untuk waktu yang lama setelah Perang Dunia II, topik kerja paksa Nazi hanya mendapat sedikit perhatian. Baru pada pertengahan tahun 1980-an, pengelolaan sejarah gelap itu dimulai, yang terus berlanjut hingga saat ini. Borchers menekankan bahwa beberapa aspek masih belum dipahami dengan baik.
Di atas semua itu, masih sedikit yang diketahui tentang perspektif dan pengalaman para korban. Hanna juga mengalami hal itu. Di banyak keluarga, hanya sedikiit diskusi mengenai masalah ini, baik karena malu atas kekelaman sejarah tersebut atau karena alasan lain. Hal ini membuatnya semakin penting untuk membahas topik kerja paksa Nazi, "agar kekejaman semacam itu tidak terulang lagi di masa depan."
(ap/hp)