Negara Terkena Sanksi, The Rich Kids of Tehran Tetap Beraksi
17 Juli 2019Anak-anak dari kalangan berpunya ini mengenakan pakaian bermerek buatan AS dan beraksi memamerkannya di sosial media. Jutaan orang Iran lainnya pun ikut-ikutan membeli barang bermerek palsu supaya bisa ikut tren.
Pasar tua Grand Bazaar di kota Teheran dianggap sebagai jantung ekonomi Iran. Di satu sudut di pasar ini orang bisa metemukan tempat yang menjual logo barang-barang bermerek. Logo-logo ini dijual per kilo.
Merek-merek palsu yang dijual adalah keluaran barat dan terkenal mahal seperti Louis Vuitton, Gucci, Chanel, Lee, Nike and Co. Permintaan akan barang glamor palsu sangat bagus di sini.
Sementara toko Nike di Pusat Perbelanjaan Sana di Teheran Utara menjual barang-barang asli. "Barang-barang kami langsung berasal dari luar negeri, misalnya dari Dubai," kata seorang penjual bernama Mehdi dalam percakapan telepon dengan DW dari Teheran.
Para pelanggannya sungguh menjanjikan dan mampu membayar barang-barang belanjaan mereka. "Pelanggan kami telah berkeliling dunia dan dapat mengenali barang-barang asli dalam sekejap," ujar Mehdi.
Produk barat untuk yang berpunya
Sana Shopping Centre adalah satu dari beberapa pusat perbelanjaan yang baru dibangun di Teheran utara. Di sini, di kaki Pegunungan Elburs, dahulu tumbuh berbagai kebun buah yang subur. Saat itu para raja pun pernah memiliki istana di sini.
Hari ini, daerah yang sama dihuni para pejabat dan politisi revolusi Islam. Tetangga mereka sebagian besar adalah pengusaha kaya yang memiliki koneksi bagus dengan pihak penguasa. Bukan rahasia lagi kalau ekonomi Iran menderita akibat korupsi dan nepotisme.
Meski terkena sanksi ekonomi dari Amerika, para pelanggan berduit tetap bisa menemukan segala macam barang, termasuk produk asli dengan cap "Made in USA."
Ransel dari Nike misalnya. "Harganya setara dengan 68 euro (sekitar Rp 1 juta)," kata Mehdi. "Penjualannya bagus sekali sekarang, banyak remaja menyukainya."
Uang 68 euro bukan jumlah yang kecil di Iran yang rata-rata penghasilan penduduknya sebesar 400 euro (Rp 6,2 juta) per bulan. Berdasarkan nilai tukar resmi bersubsidi saat ini, satu euro nilainya sekitar 48.000 rial.
Namun kurs senilai ini hanya berlaku jika misalnya seseorang ingin membeli obat-obatan. Sementara di pasar terbuka, nilai mata uang rial lebih rendah dari itu. Orang harus membayar 145.000 rial untuk satu euro. Jadi, buat sebagian besar orang, produk impor sangatlah mahal.
Budaya konsumsi di tengah krisi ekonomi
Negara ini telah mengalami krisis ekonomi selama lebih dari setahun. Pada Mei 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran dan meluncurkan kampanye untuk memberi "tekanan maksimum" dan sanksi kepada negara tersebut.
Sebagai akibatnya, nilai rial anjlok secara dramatis. Inflasi pun meningkat secara masif. Beberapa ekonom memperkirakan daya beli Iran turun sebanyak 80 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Namun seperti yang terlihat dari para pelanggan di Pusat Perbelanjaan Sana, tidak semua orang kesusahan pada saat krisis ekonomi seperti ini.
"Saya suka kualitas dan saya suka menghabiskan uang untuk itu," ujar seorang perempuan bernama Saba kepada DW.
Usianya di awal tiga puluhan, dia menikah dengan seorang pengusaha. Saba tidak bersedia menyebutkan apa tepatnya pekerjaan sang suami. Pasangan itu tinggal di sebuah unit penthouse di distrik utara Teheran Elahieh. Kisaran harga apartemen-apartemen di sini mencapai 4.000 euro (Rp 62,5 juta) per meter persegi.
"Seperti teman-teman, saya lebih suka berbelanja di luar negeri saat sedang berlibur. Yang saya beli tidak banyak. Tapi saya punya teman yang selalu memakai mode terbaru dari Paris atau Italia. Para suami mereka digaji dengan euro atau dolar. Orang-orang yang bergaji rial tentu saja tidak akan sanggup membeli barang-barang itu."
Bahkan cicit Ayatollah Khomeini, yang pemimpin politik dan agama Revolusi Islam 1979 itu, kini juga senang memakai merek-merek dari AS.
Tahun lalu, tersebar foto Ahmad Khomeini yang menyebabkan kritik pedas. Foto ini menunjukkan pemuda berusia 21 tahun ini sedang mengenakan kacamata hitam nan modis dan kaus Nike di sebelah seorang wanita muda yang mengenakan helm berkuda di klub berkuda.
Kakek buyutnya dulu memimpin revolusi dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang miskin dan kurang beruntung. Namun sampai sekarang orang-orang itu tetap juga hidup menderita di bawah tekanan sanksi AS.
Tumbuhnya ketimpangan
Di negara ini kesenjangan antara kaum miskin dan kaya terus melebar. Dari 81 juta orang Iran, hanya dua juta atau sekitar 2,5 persen yang dikategorikan sebagai kelompok berpenghasilan tinggi. Satu keluarga yang beranggota empat orang dalam kategori ini setidaknya hidup dari penghasilan 1300 euro (Rp 20,6juta) per bulan, menurut statistik yang dirilis sebelum krisis ekonomi di Iran.
Di atas kelompok ini ada segelintir orang-orang yang menerima bayaran dalam mata uang dolar dan euro. Mereka pun tidak ragu menyembunyikan kekayaannya. Utamanya, mereka gemar sekali pamer di jejaring media sosial.
Akun Instagram "Rich Kids of Tehran" kini punya 146.000 pengikut. Yang dipajang di sana adalah foto-foto anak muda yang cantik dan kaya dengan pakaian mahal dan mewah di vila-vila yang megah.
Gaya hidup para anak muda elit ini adalah impian banyak anak muda Iran. Namun kebanyakan rakyat jelata hanya mampu membeli barang bermerek palsu atau pakaian dari Grand Bazaar di Teheran yang kemudian dikirim ke seluruh penjuru negeri. (ae/vlz)