Nilai Rapor Tentukan Masa Depan?
2 Juli 2012Seperti hampir semua murid di Cina, ketika kecil Zhao Xsi punya satu tujuan utama, yaitu nilai bagus dalam Gao Kao, ujian akhir sekolah di Cina. Hasil ujian ini menentukan segalanya. Yang mendapat dilai bagus dalam Gao Kao dapat berkuliah di universitas terbaik Cina. Yang tidak lulus, tidak akan punya kesempatan meniti karir dan memperoleh pekerjaan yang bergaji tinggi.
"Gao Kao adalah hal yang sangat penting bagi hidup di masa depan. Ini bukan sesuatu yang dibesar-besarkan“, tutur Zhao Xi. Hasil ujian itu pengaruhnya besar. "Terutama murid yang tinggal di daerah pedesaan, berharap bisa mendapat kesempatan untuk bisa hidup baik di perkotaan“, demikian Zhao Xi. "Gao Kao adalah kesempatan satu-satunya bagi mereka.“
Agar dapat lulus Gao Kao, murid yang kurang mampu dapat mengulang kelas terakhir. Dari sekolah tidak ada paksaan. Namun demikian tekanan dari sisi lain besar. Seluruh keluarga berharap, anak satu-satunya, yang menjadi efek politik satu anak, berhasil masuk universitas. Bagi anak-anak dari keluarga kaya, Gao Kao tidak terlalu penting. Meskipun hasil akhirnya tidak bagus, mereka dapat berkuliah di luar negeri.
Zhao Xi selalu belajar, demikian ceritanya. Juga di masa libur sekolah. Sejak sepuluh tahun sebelum ujian akhir ia sudah mulai mempersiakpkan diri. Ia sukses. Ia dapat berkuliah di universitas terbaik di daerah asalnya. Sekarang Zhao Xi melanjutkan kuliah di Jerman.
Uganda: Nilai Rata-Rata Menentukan
Di Uganda tekanan atas murid sekolah tidak sebesar itu, tutur Iddi Ismail Ssessanga. Tidak semua keluarga menganggap nilai sekolah anak-anaknya penting. "Biasanya warga miskin yang mengkhawatirkan prestasi sekolah anak mereka.“ Bagi banyak keluarga kaya, nilai rapor tidak penting. "Karena hidup mereka sudah enak“, kata Iddi Ismail Ssessanga.
Tetapi menjelang libur panjang tengah tahun, terutama murid yang kurang rajin juga merasa gelisah. Kerena mereka yang nilainya tidak bagus, tidak naik kelas. Yang menentukan adalah nilai rata-rata. Jika nilai rata-rata buruk, murid harus mengulang setahun. Yang dua kali tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah. Jadi prinsipnya mirip dengan di Jerman. Iddi Ismail Ssessanga, yang sekarang berumur awal 30-an, dulu selalu mendapat nilai bagus di sekolah. Ia tidak pernah tidak naik kelas atau dikeluarkan dari sekolah.
Marokko: Keputusan Guru
Berbeda dengan di Uganda, yang menentukan murid naik kelas adalah guru, bukan prestasi di sekolah. Sistem sekolah di Marokko sangat dipengaruhi sistem yang berlaku di Perancis. "Kadang seorang murid mendapat nilai buruk, hanya karena pada hari ujian ia tidak cukup berkonsentrasi“, tutur Abderrahmane Ammar, yang sekarang berusia 20-an. "Kemudian ada juga murid, yang tidak mendapat nilai bagus, tetapi sebenarnya cerdas.“
Jika gurunya berpendapat sama, di akhir tahun pendidikan, murid tetap naik kelas. Tetapi bagi murid-murid yang nilainya buruk tetap ada konsekuensinya. Di masa libur mereka harus belajar dan tidak boleh bepergian. "Untuk itu orang tua ikut bertanggungjawab", dijelaskan Abderrahmane Ammar. Hukuman itu dianggap paling pahit. Karena Marokko memiliki pantai sepanjang 1.500 km. Di masa-masa liburuan, banyak murid dari keluarga kaya menghabiskan waktu mereka di pinggir pantai. Mereka yang mendapat nilai buruk, harus tetap berada di rumah dan belajar.
Rusia: Tekanan Orang Tua
Murid-murid yang mendapat nilai buruk di sekolah juga bisa tidak naik kelas. Di Rusia nilai terbaik adalah lima, dan terburuk dua. Jika murid mendapat nilai dua untuk sebuah mata pelajaran, ia harus mengulang tahun terakhir. Sebelum libur panjang, yang berlangsung tiga bulan, bahkan murid yang terburuk pun tetap merasa tenang. Demikian cerita Benazir Abrarova. Perempuan berusia 22 tahun itu menerangkan, "Murid yang mendapat nilai buruk tidak khawatir, karena mereka tidak peduli bagaimana kelanjutan pendidikannya." Tetapi tekanan sering datang dari orang tua. "Bagi kami, tidak naik kelas merupakan aib. Jadi orang tua lebih memperhatikan prestasi anaknya di sekolah, daripada anak itu sendiri.“
Jika seorang anak di Rusia tidak berprestasi bagus di sekolah, orang tuanya sering merogoh kocek lebih dalam. Demikian diterangkan Benazir Abrarova. Mereka memberikan hadiah kepada guru, dengan harapan, akhirnya anak mereka setidaknya mendapat nilai tiga.
Christoph Ricking / Marjory Linardy
Editor: Rizki Nugraha