No Exit Bagi Pengantin Jihadis
30 Mei 2015Kebanyakan perempuan muda Eropa yang tertarik bergabung dengan IS tidak menyadari, apa dampak dari keputusan mereka itu. Situasi dan kondisi di kawasan konflik, bukanlah seperti pelabuhan damai yang mereka bayangkan. Melainkan kawasan bergolak yang penuh api dan peluru serta kawasan tanpa infrastruktur memadai. Demikian laporan yang dipublisir institut untuk dialog strategis dan pusat kajian radikalisme internasional di King's College London.
Kaum perempuan yang bergabung dengan Islamic State ibaratnya mengantungi tiket sekali jalan tanpa tiket pulang. Kebanyakan "hilang" di tengah hiruk pikuk perang dan konflik di Suriah dan Irak. Segelintir "pengantin jihadis" yang berhasil meloloskan diri dari sekapan Islamic State dan berhasil pulang ke negaranya, akan ditangkap dengan tuduhan ikut serta dalam sebuah kelompok teroris.
Hasil riset terbaru juga menyebutkan, istilah "pengantin jihadis" yang umum dipakai buat kaum perempuan yang bergabung dengan Islamic State di Suriah adalah penyederhanaan kasus, yang menjadi kendala bagi sukses memerangi radikalisasi di kalangan perempuan usia muda. Hal itu juga menyulitkan upaya mencegah perekrutan langsung perempuan muda lewat jejaring internet dan media sosial.
Diperkirakan antara 550 hingga 600 perempuan muda dari 15 negara Eropa telah bergabung dengan IS. Ironisnya banyak diantara perempuan yang bergabung dengan Islamic State memiliki latar belakang pendidikan cukup dan dari keluarga menengah.
Rentan tertipu propaganda
Riset King"S College London itu juga menyebutkan, terutama perempuan muda dan terdidik yang merasa terisolir dari lingkungannya, amat mudah tertipu retorika Islamic State mengenai ilusi ideal kehidupan seorang Muslimah. Banyak yang masih dalam fase labil mencari identitas diri saat memasuki masa dewasa.
Mereka mencari arti klehidupan atau mencari sesama Muslimah yang senasib merasa terkucil dalam kehidupan sekuler dunia barat. Tapi banyak yang mengimpikan mendapat pasangan hidup ideal dari kalangan "jihadis" di negara "jihad" di Suriah dan Irak. Mereka juga berilusi mendapat hak-hak perempuan dan juga pemberdayaan perang kaum perempuan di negara itu.
Realitanya, kehidupan di kawasan konflik Suriah sangatlah sulit. Lewat posting di media sosial, memang kelihatannya para "pengantin jihadis" itu hidup dengan ceria. Tapi jika dicermati, di dalam blog atau postingan mereka akan jelas terbaca kehidupan radikal sehari-hari, yang ditingkahi tidak adanya listrik, kurangnya bahan pangan dan obat-obatan dan tidak adanya kebebasan.
Milisi ISIS juga sangat membatasi peranan dan gerakan perempuan. Memang betul, para "pengantin jihadis" itu nyaris semuanya segera menemukan pasangan hidupnya. Tapi bukan pasangan idaman dan juga tidak langgeng, karena perceraian juga gampang sekali dilakukan. Banyak yang mengaku, bahkan dipaksa kawin dengan beberapa orang lelaki dan jadi budak seks bagi anggota milisi.
as/vlz (ap,dpa,afp,rtr)