"One Way Jihad" ala Islamic State di Indonesia
13 Maret 2015
Deutsche Welle: Baru-baru ini 16 orang WNI ditangkap di Turki. Sementara 16 lain masih dinyatakan hilang. Mereka diduga berniat bergabung dengan Islamic State di Suriah. Kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijanto, pemerintah menduga ada lebih dari 500 WNI yang sudah bergabung dengan IS.
Sidney Jones: Tidak "lebih dari 500". Data yang paling akurat dari Densus 88, dimana ada 127 orang yang diketahui berada di Suriah sebagai mujahidin (termasuk beberapa isteri mujahidin yang punya peran pendukung, seperti koordinator jejaring sosial). Dengan 9 orang dewasa lagi dari kelompok yang hilang, berarti jumlahnya 136.
Angka tersebut termasuk baik yang bergabung dengan IS dan yang bergabung dengan milisi lain seperti Jabhat al-Nusra, tapi memang mayoritas diduga bersama IS. Menurut Densus jumlahnya lebih tinggi dari orang orang yang sudah bisa diidentifikasi, tapi mungkin sampai 200-an, bukan 500. Jadi hati-hati dengan statistik. Harus jelas tentang siapa yang dihitung dan sumbernya siapa. Misalnya, kalau setiap WNI yang ke Suriah untuk misi kemanusiaan terhitung, jelas jumlahnya akan lebih tinggi tapi mereka pada umumnya bukan fighters.
Seperti apa profil simpatisan IS di Indonesia?
Tidak ada satu profil. Ada laki2 dan perempuan. Ada yang sangat muda, sampai ada yang diatas 60 tahun. Ada yang agak miskin, ada yang jelas golongan tengah. Ada yang tidak selesai SMA, ada mahasiswa, ada juga doktor medis dan profesional lain. Ada yang berangkat dari universitas di Timur Tengah (Yaman, Mesir, Turki, Pakistan), ada juga yang langsung dari Indonesia. Sebagian besar, tapi tidak semuanya, punya hubungan langsung atau tidak langsung dengan jaringan radikal yang lama, termasuk pengikut Aman Abdurrahman yang sekarang ditahan di Nusakambangan. Ada juga anggota JAT, JI, Mujahidin Indonesia Timur, DI, dll atau teman-temannya.
Apa motivasi mereka bergabung dengan Islamic State?
Paling sedikit ada 5 motivasi: Mereka mau berperan dalam al-Malhamah al-Kubra atau perang di akhir zaman yg menurut hadith akan terjadi di Syam (Suriah, Palestina dan Libanon), dimana pasukan Imam al-Mahdi akan menang. Ada juga yang ingin menolong orang Sunni yang tertindas oleh rezim Syi'ah.
Sementara yang lain ingin berjihad saja dan lebih gampang ke Suriah daripada jihad lain (misalnya Afghanistan atau Somalia). Ada juga motivasi ekonomi karena mau dapat gaji bulanan, rumah, bantuan medis, sekolah gratis dan lain hal seperti dijanjikan IS kepada orang asing yang mau bergabung. Motivasi ini penting untuk keluarga. Adapun sisanya ingin ikut dalam khilafah baru dan tinggal dalam negara Islam dimana syariat Islam ditertapkan secara penuh.
Model gerakan seperti apa dan agenda apa yang mereka miliki saat ini?
Motivasi WNI yang ikut dengan IS berbeda dengan yang bergabung dengan Jabhat al-Nusra (yang pada umumnya orang yang berafiliasi dengan JI). Mereka yang pro-IS ingin membela IS dan memperluas wilayah khilafah baru. Mereka tidak berniat kembali ke Indonesia dan menganggap perang ini seperti "one-way jihad". Tapi tentu kalau kondisi berubah di Timur Tengah, bisa saja bahwa mereka akan terpaksa pulang. Kalau yang pro-JN, mereka ingin memperkuatkan kapasitas saja, terus pulang ke Indonesia untuk memperjuangkan negara Islam dan syariat Islam di Indonesia.
Bagaimana metode perekrutan IS di Asia Tenggara?
Macam-macam. Ada melalui video dimana WNI muncul, seperti "Joining the Ranks" yang diposting di YouTube pada 23 Juli 2014. Ada melalui orang yang sudah bergabung yang mengajak temannya melalui WhatsApp dll untuk ikut. Ada pengajian di Indonesia dimana ada narasumber yang pro-ISIS. Di Malaysia rekrutmen yang terpenting melalui Facebook dan social media lain.
Seberapa besar ancaman kelompok ini terhadap situasi keamanan di Indonesia atau di Asia Tenggara?
Sekarang ini, kelompok teroris di Indonesia cukup lemah. Sejak 2009, tidak ada satu pemboman yang betul betul berhasil. Tidak ada pemimpin yang baik, tidak ada pelatihan yang baik, alumni Afghanistan dan Moro sudah tidak begitu aktif lagi. Tapi kalau ada yang mulai kembali dari Suriah/Irak dengan pengalaman tempur (combat experience), komitmen ideologi yang mendalam, ketrampilan militer yang hebat, kontak dengan jihadi internasional dan legitimasi sebagai pemimpin, mereka bisa menghidupkan kembali gerakan ektremis di Indonesia.
*Sidney Jones adalah pakar keamanan dan terorisme di Asia Tenggara. Saat ini ia menjabat direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai direktur Asia di Human Rights Watch (HRW).