OPEC dan Harga Minyak Dunia; Mengenang Simon Wiesenthal
21 September 2005Gejolak harga minyak dunia, serta keputusan OPEC untuk meningkatkan produksi, semakin mencemaskan banyak negara di dunia. Negara-negara pengekspor minyak OPEC mengajukan alasan, dengan menaikan kapasitas produksi, harga minyak di pasar dunia dapat ditekan. Harian Austria Der Standard mengomentari, OPEC memang memiliki kekuasaan, tapi tidak berkuasa mutlak. Lebih lanjut harian ini menulis :
“Memang, OPEC dapat merekayasa naiknya harga minyak. Akan tetapi tidak akan mampu untuk menekan harganya sampai tingkat yang dianggap wajar. Masalahnya terletak pada kecilnya kapasitas cadangan minyak. Negara-negara OPEC hampir tidak dapat meningkatkan lagi produksinya. Harga minyak yang tinggi, lebih banyak disebabkan keterbatasan kapasitas di kilang pengolahan. Walaupun persedian minyak berlimpah, tapi itu tidak ada artinya jika tidak ada tambahan kapasitas pengolahan. Jadi, bukan OPEC yang berperan besar, melainkan perusahaan perminyakan. Mereka harus menanamkan modal lebih banyak di industri pengolahan minyak.”
Harian ekonomi Perancis, La Tribune menulis, sebetulnya di pasaran dunia beredar minyak dalam jumlah lebih dari mencukupi.
“Para politisi di negara-negara konsumen minyak terbesar, hendak mencari kambing hitam dari tingginya harga minyak. Yang paling banyak dituding, tentu saja negara-negara pengekspor minyak-OPEC. Tapi apakah betul, mereka tidak cukup banyak memproduksi minyak mentah untuk memenuhi permintaan pasar agar harga minyak dapat ditekan? Tuduhan ini memang absurd. Kenyataannya, dewasa ini di pasar minyak dunia, terdapat penawaran yang melimpah. Tambahan produksi sebesar dua juta barrel seperti keputusan OPEC, tidak akan mengubah harga minyak antara 60 hingga 70 Dolar per barrel. Karena penyebab tingginya harga minyak berada di tempat lain. Yakni di industri pengolahan minyak, yang kapasitasnya semakin berkurang.”
Tema lainnya yang menjadi sorotan harian internasional, adalah meninggalnya tokoh pemburu NAZI, Simon Wiesenthal. Harian Inggris The Times menulis, Wiesenthal menghendaki keadilan dan bukan balas dendam. Lebih lanjut harian ini menulis :
“Simon Wiesenthal tidak gila balas dendam. Inilah yang membuat namanya menjadi besar. Bersamaan dengan kegiatannya dalam mengumpulkan bukti-bukti terhadap penjahat perang, ia juga mengumpulkan daftar nama warga Jerman yang bersikap terpuji. Wiesenthal tidak percaya pada kesalahan kolektiv. Ia berpandangan, masing-masing yang bersalah harus bertanggung jawab atas perbuatannya, bukannya kesalahan negara atau etnis. Wiesenthal menghendaki keadilan, bukannya balas dendam. Ia tidak hanya memperhatikan kesengsaraan kaum Yahudi pada saat perang dunia kedua, tapi juga seluruh kelompok minoritas, yang kemungkinan mengalami nasib seperti itu. Wiesenthal merupakan simbol dari kemenangan kemanusiaan dan keadilan atas tirani.”
Harian Italia La Repubblicca menulis, Wiesenthal berjuang untuk mencegah dilupakannya sejarah.
“Sindrom dari mereka yang selamat dari kamp konsentrasi NAZI, merupakan pendorong bagi Wiesenthal untuk mengerjakan tugas, yang di masa lalu tidak benar-benar hendak dijalankan oleh negara pemenang perang. Setelah proses pengadilan NAZI di Nürnberg, dan tibanya era perang dingin, ibaratnya sebuah tirai penutup, yang menyebabkan orang lupa akan sejarah masa lalu. Wiesenthal berpendapat bahwa dilupakannya sejarah serta banyaknya orang yang mencari keuntungan bagi diri sendiri, akan menutupi pelarian banyak tokoh NAZI yang bersalah. Wiesenthal mulai melaksanakan tugasnya, menjadi pemburu NAZI sejak tahun 1947 dengan tidak mengenal lelah.”