Oposisi Kritik Reformasi Malaysia Untuk Berkumpul Secara Publik
24 November 2011Politisi oposisi Malaysia, aktivis dan kalangan ahli hukum yang tergabung dalam Pakatan Rakyat menyuarakan kemarahan hari Rabu (23/11), terkait sebuah peraturan baru yang mereka sebut akan menjegal warga yang ingin melakukan aksi protes secara damai.
Sehari sebelumnya, Selasa (22/11), pemerintah Malaysia mengumumkan rencana peraturan baru yang menurutnya, akan memungkinkan warga untuk mengadakan pertemuan publik secara damai.
Dikatakan, peraturan „Peaceful Assembly Bill“ yang tengah dibahas oleh parlemen Malaysia itu hanya menwajibkan warga untuk memberitahukan kepolisian mengenai rencana sebuah pertemuan publik, 30 hari sebelum pelaksanaannya. Selebihnya, warga tidak perlu lagi meminta surat ijin dari kepolisian untuk menggelar aksi damai. Dalam peraturan itu tertera, bahwa regulasi baru ini akan memastikan bahwa bila perlu, warga bisa berkumpul, secara damai dan tanpa membawa senjata.
Undang-undang pertemuan publik di Malaysia sebelumnya terkenal keras, terutama sehubungan dengan hak rakyat untuk menyuarakan pendapat. Perubahan peraturan ini merupakan bagian dari reformasi yang dicanangkan oleh Perdana Menteri Najib Razak. Diperkirakan, ia akan menyerukan digelarnya pemilihan umum dalam beberapa bulan mendatang. Namun dilaporkan, popularitas Perdana Menteri Razak belakangan menukik. Kritik mencuat, reformasi berlangsung terlalu lamban.
Sementara sejumlah pengamat mengatakan, bahwa rancangan undang-undang itu justru menghambat rakyat untuk bersuara. Peraturan baru itu melarang digelarnya aksi protes di jalanan. Selain itu melarang warga untuk berkumpul di kawasan-kawasan dekat lapangan terbang, stasiun kereta api, tempat-tempat ibadah, rumah sakit dan sekolah.
Tak mengherankan bahwa peraturan baru „Peaceful Assembly Bill“ ini dinilai secara skeptis oleh banyak pihak. Apalagi polisi tetap bisa melarang demonstrasi, seandainya tidak setuju. Selain itu demonstran bisa dikenakan denda sampai 20 ribu ringgit, bila mengikuti pertemuan publik yang melanggar peraturan baru ini.
Kalangan oposisi mengiritik bahwa rancangan undang-undang itu justru akan membungkam suara oposisi, dan bukannya meningkatkan hak warga. N Surenden dari kubu oposisi mengatakan kepada kantor berita AFP, bahwa rancangan undang-undang itu tidak konstitusional.
Koesoemawiria/afp/rtr
Editor: Hendra Pasuhuk