"Otonomi Kasus" di Papua
25 Juni 2012Aksi-aksi teror terus menyelubungi Papua. Serentetan aksi penembakan terus terjadi. Mulai dari penembakan misterius hingga aksi penembakan terhadap warga yang dituduh melakukan aksi separatis. Pasca penembakan terhadap Mako Tabuni yang merupakan Koordinator Komite Nasional Papua Barat oleh polisi di distrik Heram, Jayapura, situasi di Papua menyulut ketakutan di tengah masyarakat. Salah seorang aktivis mahasiswa Papua, Markus Haluk menceritakan: „Aparat tanpa menggunakan hukum, melakukan penangkapan, penembakan, pengejaran terhadap sejumlah orang termasuk mahasiswa, menjadikan orang sebagai target operasi militer, hal ini membuat situasi tidak nyaman.“
Pemerintah menuduh, Mako sebagai salah satu pelaku berbagai penembakan gelap di Papua. Versi pemerintah menyebutkan, saat tim dari Polda Papua dan Mabes Polri berusaha menangkapnya pada pekan lalu (14/06), Mako berusaha merampas senjata hingga polisi mengambil langkah untuk menembaknya. Mako meninggal dunia dan terjadi retaliasi dari rekan-rekannya berupa pembakaran rumah, sepeda motor, dan mobil.
Sementara di lain pihak, berbagai kalangan membantah tudingan bahwa Mako berusaha merampas senjata. Mako sedang bersama dua rekan di sekitar Universitas Cendrawasih saat tim berisikan enam anggota polisi tiba dan langsung menembak mati Mako dalam posisi berdiri.
Stigma Tak Aman
Tak hanya kasus Mako, yang semakin membuat Papua meradang, berbagai aksi damai yang dilancarkan wargapun kerap ditangani dengan aksi kekerasan oleh aparat. Markus Haluk menuduh pemerintah sengaja menyulut keresahan di tengah masyarakat lewat aksi-aksi tersebut, agar di mata internasional, Indonesia tampak tidak aman, "Sehingga berbagai orang, terutama warga asing yang mau ke Indonesia diisolasi, tidak boleh datang dengan alasan situasinya tidak aman.”
Salah satu korban penembakan adalah Dietmar Pieper, warga negara Jerman yang sedang berlibur di Papua pada awal Juni lalu.
Pengamat masalah Papua, Viktor Mambor memaparkan kasus-kasus di Papua sedemikian kompleks, dan terus-menerus dimanfaatkan oleh pihak luar, untuk memperkeruh situasi. Termasuk dalam halnya penembakan terhadap warga asing tersebut, "Selain TNI dan polisi, aktor-aktor lain yang memanfaatkan kekisruhan di Papua itu banyak. Kepentingannya bisa macam-macam, mulai dari uang, soal bisnis keamanan, persediaan sumber daya alam, atau menggoyang pemerintah yang legal.“
Ditambahkannya masalah di Papua yang bermuara pada persoalan politik, tak adanya kesejahteraan dan pelanggaran HAM, juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.“
Otonomi Tak Berhasil
Sementara itu berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah tak berbuah penyelesaian konflik di Papua. Misalnya saja, status otonomi khusus dinilai Mambor hanya disodorkan setengah hati, "Ibaratnya kalau ular,kepala kita dapatkan, tapi tidak ekornya, setengah hati, tak rela untuk memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Papua untuk melaksakan otonomi khusus. Selalu ada kecurigaan dari pemerintah. Misalnya tidak adanya gubernur definitif selama setahun ini. Pemerintah pusat terus membuat aturan-aturan pilkada, yang menyebabkan Papua dibuat tergantung kepada Jakarta, sehingga terlunta-lunta seperti sekarang ini.”
Aktivis mahasiswa Papua Markus Haluk menandaskan otonomi khusus akhirnya hanya menjadi „otonomi kasus“ dimana kekerasan tak pernah kunjung pudar di Papua.
Bangun Rasa Percaya
Untuk menuntaskan konflik Papua, pemerintah berniat untuk kembali menggelar dialog damai dengan warga setempat. Namun menurut Viktor Mambor, sebelum digelar dialog, terlebih dahulu dibangun rasa saling percaya kedua pihak. Sebab, kasus-kasus kekerasan yang selama ini terjadi di Papua, telah menyebabkan warga Papua kehilangan kepercayaannya kepada pemerintah Indonesia,"Pemerintah harus percaya, bahwa orang Papua menginginkan pengakuan bahwa mereka punya hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pelanggaran HAM diselesaikan dulu. Baru digelar dialog yang bermartabat. Semua hal ini diluruskan dulu, bila tak selesai maka harus ada tahapan dialog selanjutnya.”
Pemerintah selalu umbar janji dalam menyelesaikan masalah HAM yang selama ini juga menjadi sorotan dunia internasional. Staf khusus presiden Velix Wangai memaparkan,"Tidak ada kebijakan yang sistematis dalam hal yang dianggap sebagai pelanggaran HAM. Namun jika ada aparat yang berlaku diluar kepatutan, maka pemerintah akan menyeret oknum dari TNI atau Polri ke jalur hukum.“
Apakah komitmen tersebut dilaksanakan? Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa kasus penyiksaan di Indonesia dalam setahun terakhir meningkat lebih dari tiga kali lipat. Dari 86 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 243 orang, 98 diantaranya terjadi di Papua. Misalnya dalam menginterograsi tahanan politik di bumi cendrawasih itu.
Ayu Purwaningsih
Editor: Pasuhuk