Pahlawan Versi Generasi Y
15 Agustus 2016Generasi baru yang kini lebih populer disebut Generasi Y atau generasi milenium (mereka yang lahir di era 1990-an), terlihat jelas tidak terlalu peduli atas wacana pengangkatan figur Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Isu pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional hanya berputar di kalangan generasi pendahulu Generasi Y, generasi yang hari ini sedang sibuk-sibuknya dalam perburuan kekuasaan.
Pencarian figur yang bisa dijadikan rujukan selalu menjadi problem dari generasi ke generasi. Seorang figur yang telah memperoleh predikat Pahlawan Nasional, tidak secara otomatis menjadikan dirinya dikenal publik, khususnya bagi Generasi Y. Karena bisa jadi figur itu memang benar-benar tidak populer, sehingga tidak ada aspek yang menarik untuk dibahas. Tokoh (tidak menarik) semacam ini di negeri kita tak terhitung jumlahnya.
Dading Kalbuadi dan Amir Sjarifuddin
Dari sekian nama tokoh yang belum memperoleh status sebagai Pahlawan Nasional, saya menawarkan dua nama, yang sosoknya mungkin sudah hampir dilupakan, namun tetap menarik untuk dijadikan bahan diskusi, yakni Letjen. Purn. Dading Kalbuadi (meninggal Oktober 1999) dan Mr. Amir Sjarifuddin (meninggal Desember 1948). Saya mengajukan dua nama ini, berdasarkan pengamatan panjang atas latar belakang hidup mereka yang dramatis, kalau tidak boleh disebut sebagai tragedi.
Bagi saya sendiri Dading dan Amir layak menjadi rujukan perilaku lintas generasi, meski belum berstatus sebagai pahlawan nasional. Dan tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mempromosikan mereka agar masuk dalam nominasi Pahlawan Nasional. Ketiadaan status sebagai pahlawan, tidak mengurangi nilai keduanya dalam konteks kemanusiaan.
Dading dan Amir memiliki posisi yang khas di tengah khazanah figur nasional lainnya, setidaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, citra dirinya yang sedikit dramatis, kalau tidak boleh disebut sebagai kontroversial. Kedua, mereka tidak memiliki rekam jejak tindak korupsi, itu sebabnya posisinya selalu aktual.
Hidup Bersahaja
Dading adalah figur yang menarik. Tidak seperti perwira tinggi pada umumnya, yang cenderung bergaya hidup hedonis setelah masuk jajaran elite, sementara Dading tetap hidup bersahaja. Dia tidak meninggalkan kegemaran lamanya, yaitu menikmati nasi bungkus.
Kegemaran menikmati nasi bungkus, merupakan refleksi perjalanan hidup Dading yang akrab dengan operasi tempur, dan selalu ingin dekat dengan anak buahnya. Dading sudah terlibat pertempuran sejak usia belia, pada periode Perang Kemerdekaan (1946-1949), saat Dading masih duduk di bangku SMP Purwokerto. Dia tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati), yang umumnya beranggotakan pelajar di Kota Purwokerto, yang dikenal sebagai ibukota eks Karesidenan Banyumas.
Satuan ini terbilang unik, karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo, di bawah pimpinan Mayor Achmadi. Hal ini bagian dari semangat tradisi banyumasan, sebagai daerah “pinggiran” yang tidak selalu tunduk pada Solo dan Yogya, sebagai pusat kultur Mataraman. Aspirasi ini rupanya juga merembes di kalangan generasi mudanya, sehingga mereka membentuk pasukan pelajar secara mandiri, lepas dari bayang-bayang satuan TP.
Setelah bergabung dalam Korps Baret Merah (Kopassus) pasca perang kemerdekaan, tidak ada operasi tempur yang tidak diikuti Dading. Mulai palagan menumpas DI/TII di Jawa Barat, operasi PRRI/Permesta di Sumbar, hingga Operasi Seroja di Timor Leste. Dari biografi Benny Moerdani kita bisa mengetahui, saat terlibat dalam operasi PRRI, Dading hampir saja tewas, akibat lehernya terkena pecahan mortir.
Nama Dading semakin terkenal, saat memimpin Operasi Flamboyan (1974), sebuah operasi tempur semi tertutup di Timor Leste, yang menjadi pendahulu dari Operasi Seroja, yang lebih terbuka. Di tengah palagan Operasi Seroja inilah, Dading dipromosikan sebagai brigadir jenderal. Sampai sekarang nama Dading masih dijadikan referensi perwira muda, sebagai model komandan tempur sejati di era Indonesia modern.
Adakah yang lebih tragis dari Amir?
Demikian juga dengan Amir. Dengan gelar akademis dan jaringan yang dimilikinya, dia sama sekali tidak terlihat berupaya menumpuk kekayaan, meskipun peluang itu ada.
Amir pernah membuka praktik sebagai pengacara, dan pernah bekerja pada Departemen Perekonomian Pemerintah Hindia-Belanda di bawah HJ van Mook. Kelak saat Amir menjabat Perdana Menteri RI, dia berjumpa kembali dengan van Mook, selaku kepala pemerintahan NICA.
Adakah yang lebih tragis dari Amir? Saat namanya diumumkan sebagai Menteri Penerangan pada kabinet pertama pasca Proklamasi, dirinya masih meringkuk dalam penjara (tahanan penjajah Jepang). Sebagai seorang mantan Perdana Menteri tidak ada warisan yang layak untuk ditinggalkan bagi keluarganya, usai dirinya dieksekusi mati.
Sebagai tokoh kontroversial
Ada bagian yang mirip antara Dading dan Amir, yaitu soal posisi seorang sahabat. Bagaimana seorang sahabat bisa menentukan jalan hidup seseorang. Dading banyak dibantu oleh Jenderal Benny Moerdani, sahabatnya sejak lama. Sedangkan sahabat Amir sejak masa pergerakan, yaitu M Hatta (selaku Perdana Menteri), justru terlihat tidak sungguh-sungguh untuk menyelamatkannya Amir dari hadangan regu tembak.
Tidak terlalu salah bila Dading dan Amir disebut tokoh kontroversial. Dading terkait perannya dalam operasi tempur di Timor Leste, sementara Amir sehubungan dengan keterlibatannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Saya kira itu manusiawi, setiap orang selalu memiliki sisi kelabu, seperti bunyi pepatah lama, tidak ada manusia yang sempurna.
Relevansi Konsep Ben Anderson
Gairah hidup yang kini sedang dijalani Generasi Y linier dengan konsep Indonesianist terkemuka Ben Anderson (almarhum). Menurut Ben, revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun. Kalau kita percaya pada asumsi Ben Anderson, sebenarnya di zaman apapun, lebih khusus lagi di masa sekarang, tidak ada tempat bagi aspirasi konservatif
Namun sayang, dinamika dan kreativitas membuncah yang lahir dari Generasi Y, acapkali tidak bisa dimengerti elite pengusa. Dipilihnya Jenderal Purn. Wiranto sebagai Menkopolhukam baru-baru ini, adalah bukti tidak pahamnya penguasa dengan “dunia batin” generasi baru.
Pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam, mengingatkan kita pada apa yang dulu pernah diucapkan Jenderal Purn Hendro Priyono, saat dirinya digeser dari Pangdam Jaya ke Komandan Kodiklat TNI AD, sekitar tahun 1995.
Hendro sebenarnya agak kesal dengan perpindahan itu, hingga sempat terlontar kalimat keras: ‘lebih baik hidup sehari sebagai macan, daripada hidup seribu tahun tetapi kambing‘. Ungkapan Hendro ini pas untuk menggambarkan figur Wiranto, bahwa durasinya sebagai elit militer dan politik memang terbilang panjang, namun semuanya adalah kesia-siaan belaka.
Merujuk observasi lapangan, dengan mengunjungi komunitas Generasi Y, dari sekian lontaran gagasan yang muncul, ada satu gagasan yang saya kira sangat cemerlang, dan genuine dari generasi ini. Mereka ingin agar lagu kebangsaan (Indonesia Raya), bisa dipadatkan. Dibuat versi yang lebih ringkas, tanpa mengurangi esensinya. Versi ringkas ini lebih diperuntukan bagi kepentingan event internasional, agar tidak merepotkan panitia lokal, dan juga agar penonton (mancanegara) tidak terlalu lama menunggu.
Gagasan ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa, sebagai antisipasi bila atlet Indonesia mampu berjaya di tingkat internasional. Dibandingkan dengan lagu kebangsaan negara lain, terutama negara maju, lagu kebangsaan kita memang terlihat terlampau panjang. Hingga lahir gagasan cerdas itu.
Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.