Warga Afganistan di Pakistan Terancam Deportasi
30 Oktober 2023Deen Muhammad lahir di Pakistan beberapa tahun setelah orang tuanya melarikan diri dari Afganistan pada tahun 1982. Mereka menetap di sebuah desa dekat Islamabad.
Namun, pedagang kaki lima Pashtun berusia 32 tahun ini kini ketar-ketir dideportasi. Pasalnya pemerintah sementara Pakistan pada awal Oktober mengumumkan bahwa warga negara Afganistan yang tinggal di Pakistan tanpa dokumen resmi cuma punya waktu hingga 1 November untuk meninggalkan negara itu secara sukarela.
"Akar saya mungkin berasal dari Afganistan, tetapi kenyataannya, saya adalah putra dari tanah ini [Pakistan]," katanya kepada DW. "Istri dan keempat anak saya juga merupakan warga negara Pakistan, dan kami memiliki dokumen yang membuktikan hal itu," tambahnya.
Deen Muhammad menghubungi seorang pengacara untuk mengajukan petisi ke pengadilan tinggi agar diakui secara hukum sebagai warga negara Pakistan.
Sejak pemerintah Pakistan mengumumkan tindakan deportasi, Deen mengatakan istri dan anak-anaknya sangat takut ditangkap, sehingga mereka sembunyi terus di rumah.
Sementara itu, Shireen Gula melarikan diri dari Provinsi Helmand, Afganistan, bersama keluarganya setelah Rusia menginvasi negara itu pada tahun 1979. Sejak saat itu, mereka tinggal di Provinsi Balochistan di barat laut Pakistan, bekerja di kebun dan menjadi pembantu rumah tangga bagi para petani.
Meskipun telah tinggal selama beberapa dekade di Pakistan, keluarganya juga takut dideportasi. "Kami tidak pernah merasa perlu memiliki dokumen kependudukan. Kehidupan kami terbatas di daerah ini dan kami tidak pernah diganggu oleh aparat penegak hukum," katanya kepada DW. "Namun kini, kami sangat khawatir karena pihak berwenang Pakistan terlihat berkomitmen untuk memulangkan orang asing yang tidak memiliki dokumen," tambahnya.
Ibu paruh baya dari enam anak yang semuanya lahir di Pakistan ini mengatakan bahwa keluarganya tidak memiliki apapun lagi di Afganistan. Ia mengeluhkan kurangnya informasi mengenai masalah hukum, terutama hak-hak mereka sebagai pengungsi.
Pemerintah menuduh warga negara Afganistan terlibat dalam serangkaian serangan militan di Pakistan. Aktivis masyarakat sipil Bashir Hussain Shah mengatakan kepada DW bahwa para pengungsi Afganistan telah menjadi korban ketegangan Pakistan dengan Taliban di Afganistan, yang dianggap oleh Islamabad sebagai pihak yang "bersalah" atas serangan-serangan militan di wilayah Pakistan.
Bagaimana situasi hukum bagi warga Afganistan di Pakistan?
Saifullah Muhib Kakakhel, seorang pengacara pengadilan tinggi di kota barat laut Peshawar, mengatakan kepada DW bahwa siapa pun yang lahir di Pakistan, menikah dengan warga negara Pakistan, atau telah tinggal di negara itu dengan visa selama tujuh tahun dalam jangka waktu 12 tahun, berhak menjadi warga negara Pakistan.
Ia mengatakan bahwa para migran yang termasuk dalam kategori tersebut memiliki hak untuk mengajukan banding atas perintah deportasi. "Kurangnya kesadaran [akan Undang-Undang Kewarganegaraan Pakistan, 1951] adalah masalah utama dari saudara-saudara Afganistan kita," katanya. "Mereka perlu memperjuangkan kasus mereka."
Saifullah Muhib Kakakhel menambahkan semakin banyak orang Afganistan yang lahir di Pakistan, atau menikah dengan orang Pakistan, mendekati pengadilan untuk mendapatkan perintah agar tidak dipulangkan.
Kementerian Dalam Negeri Pakistan mengatakan 4,4 juta orang Afganistan tinggal di negara itu, dan sekitar 1,7 juta orang tidak memiliki dokumen resmi untuk tinggal. Sebagian besar dari mereka tinggal di Provinsi Balochistan di barat daya Pakistan dan Khyber Pakhtunkhwa di barat laut negara itu, yang berbatasan dengan Afganistan.
Pakistan telah mendirikan beberapa pusat deportasi di seluruh negeri bagi orang-orang Afganistan yang tidak memiliki dokumen yang ditemukan melewati tenggat waktu. Dari "kamp transit massal" ini, para deportan akan dibawa ke titik-titik penyeberangan perbatasan untuk diserahkan kepada pihak berwenang Afganistan, demikian menurut pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Badan-badan penegak hukum saat ini sedang mengumpulkan data mengenai para migran dan pengungsi Afganistan di seluruh negeri. Dengan tenggat waktu pengusiran yang makin dekat, semakin banyak orang yang kembali ke Afganistan.
Menteri utama pemerintah sementara Khyber Pakhtunkhwa, Azam Khan mengatakan wilayah tersebut ingin membangun tiga pusat deportasi. Lebih dari 60.000 warga Afganistan telah kembali ke kampung halamannya sejak kebijakan deportasi diumumkan, imbuhnya.
Kelompok-kelompok hak asasi mempertanyakan legalitas deportasi
Rencana deportasi, yang baru diumumkan kurang dari tiga minggu yang lalu, telah ditanggapi dengan skeptisisme tinggi : Bagaimana caranya memindahkan ratusan ribu orang dalam waktu yang singkat? "Akan sulit untuk melacak mereka karena Islamabad telah mengadopsi kebijakan untuk mengizinkan mereka selama 40 tahun terakhir, termasuk selama kehadiran AS di Afganistan, dan tiba-tiba terjadi pergeseran kebijakan. Ini tidak akan berhasil," kata analis Pakistan Zahid Hussain kepada DW pada awal Oktober setelah rencana tersebut diumumkan.
Juru Bicara Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP), Maheen Paracha, yang lembaganya merupakan pengawas independen mengatakan bahwa negara Pakistan terikat pada "hukum non-refoulement" yang berlaku secara universal. Aturan itu melarang pendeportasian orang asing ke tempat di mana mereka akan menghadapi risiko penganiayaan, penyiksaan, atau ancaman nyawa.
"Negara harus membuat kebijakan yang melindungi hak-hak dasar para pengungsi sesuai dengan kewajibannya di bawah perjanjian dengan Afganistan dan badan PBB untuk urusan pengungsi UNHCR), dan bukannya mengusir mereka secara paksa. Keprihatinan kemanusiaan harus selalu mengesampingkan masalah keamanan dalam hal ini," katanya kepada DW.
Seorang juru bicara UNHCR mengatakan bahwa organisasi tersebut telah melakukan kontak dengan pihak berwenang Pakistan untuk mengadvokasi "mekanisme yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengelola dan mendaftarkan" orang-orang Afganistan yang kebebasan dan nyawanya dapat terancam di Afganistan jika dideportasi.
Sejak pengambilalihan Taliban atas Afganistan pada Agustus 2021, situasi hak asasi manusia di negara itu telah memburuk.
"Afganistan sedang mengalami krisis kemanusiaan yang parah dengan sejumlah tantangan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak perempuan. Rencana semacam itu akan memiliki implikasi serius bagi semua orang yang dipaksa meninggalkan negara itu. Mereka mungkin akan menghadapi risiko perlindungan yang serius jika dipulangkan," pungkas Juru Bicara UNHCR di Pakistan, Qaiser Khan Afridi, kepada DW. (ap/hp)