Pandemi dan Krisis Iklim Perparah Fenomena Buruh Anak
10 Juni 2022Sampai tahun lalu, rumah Alamin yang berusia 12 tahun masih berdiri di bantaran Sungai Ilsha, selatan Bangladesh. Namun banjir merenggut segalanya. Sejak saat itu, Alamin, ibu dan kedua adiknya yang masih balita terpaksa mengungsi ke kawasan kumuh di ibu kota Dhaka.
Mereka kini bekerja kasar untuk bertahan hidup. Alamin membantu membongkar bangkai kapal, sementara ibunya memasak untuk para buruh di pabrik pembongkaran. Upah yang mereka terima cuma cukup untuk membeli makan dan menyewa rumah.
"Dulu kami sempat makmur,” kisah Amina Begum, ibu Alamin, kepada Reuters. "Mendiang suami saya bertani dan anak saya belajar membaca di sekolah.”
Kerugian akibat banjir dan biaya pengobatan bagi sang ayah yang mengidap kanker sebelum meninggal dunia, akhirnya menguras harta terakhir keluarga Begum.
Di Bangladesh yang acap dilanda banjir dan siklon tropis, kisah serupa dialami ribuan keluarga lain yang kini menghuni kampung-kampung kumuh di Dhaka. Bagi anak-anak, bencana yang dipicu krisis iklim memaksa mereka meninggalkan bangku sekolah dan menjalani kehidupan sebagai buruh kasar.
Dan kisah mereka dipastikan bukan yang terahir, seiring eskalasi krisis iklim di seluruh penjuru dunia.
Dampak pandemi perparah krisis
Menyambut Hari melawan Buruh Anak Sedunia pada Minggu (12/6), badan PBB untuk hak anak, Unicef, memperingatkan dampak ekonomi dari pandemi corona bisa menimpa sembilan juta anak-anak di seluruh dunia.
Padahal menurut Unicef, saat ini saja sudah sekitar 160 juta anak-anak yang tercatat meninggalkan sekolah dan dipaksa bekerja untuk menyambung hidup.
Bahkan sebelum pandemi sekalipun, upaya memerangi buruh anak sudah kehilangan momentum, kata Direktur Unicef Jerman, Christian Schneider. "Sasaran dunia internasional adalah menghapuskan buruh anak hingga 2025,” kata dia.
"Jika kita tidak bertindak cepat, maka sasaran itu akan semakin menjauh,” imbuhnya.
Jumlah buruh anak sempat menurun antara 2000 dan 2016 ketika berkisar di angka 94 juta anak-anak. Namun dalam periode 2016-2020, jumlahnya kembali meningkat sebanyak 8,4 juta anak, menurut perkiraan Unicef dan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Petaka bagi negeri agraria
Bangladesh, yang dialiri hampir 700 sungai, memiliki lahan subur yang menghidupi jutaan petani. Namun pesona agraria itu belakangan kian terancam oleh erosi dan banjir yang semakin mendesak masyarakat di pedesaan.
Menurut Unicef, anak-anak yang mewakili 40 persen populasi di Bangladesh, terutama menjadi korban terbesar dalam ekosodus keluarga petani ke kawasan miskin di Dhaka. Kebanyakan tidak bersekolah dan menggantungkan hidup di kawasan yang rawan kejahatan.
Saat ini sekitar 1,7 juta anak-anak di Bangladesh tercatat bekerja sebagai buruh. Seperempat dari jumlah tersebut berusia lebih muda dari 11 tahun.
Di kawasan kumuh di Dhaka, anak-anak terpantau bekerja di pabrik peleburan logam, galangan kapal, penjahitan atau bengkel mobil. Sebagian lain bekerja sebagai buruh kasar di pasar atau terminal.
Investasi masa depan
Karena bencana alam tidak hanya merenggut fondasi ekonomi keluarga, tetapi juga merusak infrastruktur pendidikan.
Dua organisasi bantuan Jerman, Welthungerhilfe dan Terre des Hommes, sebabnya mendesak perubahan paradigma dalam bantuan pembangunan dan proyek kemanusiaan.
Menurut kedua lembaga, perubahan iklim, pandemi dan perang menuntut kucuran dana bantuan kepada sektor "yang penting dan bernilai eksistensial bagi anak-anak.” Hal itu mencakup "antara lain hak bagi lingkungan yang sehat dan perlindungan dalam perang atau konflik, serta perlindungan dari kewajiban bekerja bagi anak.”
Kedua organisasi juga melaporkan kelangkaan pangan akibat kekeringan dan dampak invasi Rusia di Ukraina menempatkan sekitar 300 juta orang dalam bahaya kelaparan.
Mereka menuntut pendanaan yang konsisten bagi "untuk tujuan sipil,” yakni pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendidikan bagi kawasan yang terdampak.
Pertemuan puncak G7 di Elmau, Jerman, akhir Juni mendatang menjadi kesempatan bagi organisasi bantuan untuk menarik perhatian negara-negara kaya. Menurut kedua lembaga bantuan, G7 harus menambah porsi bantuan kemanusiaan sebanyak USD 14 miliar setiap tahun. Jumlah itu diperlukan untuk mencegah munculnya bencana kelaparan.
rzn/hp (kna,afp,rtr)