Parahnya Kerusakan Lingkungan Akibat Produksi Narkoba
11 Oktober 2020Produksi kokain mencapai tingkat rekor tinggi, konsumsi opium juga meningkat dalam dekade terakhir. Di Belanda, pasar narkoba sintetik tumbuh pesat. Sedangkan di berbagai belahan dunia, negara-negara mulai melegalkan atau mempertimbangkan untuk melegalkan ganja.
Singkatnya, bisnis obat-obatan jenis ini memang sedang berkembang pesat. Di tengah isu pelegalan ganja dan obat-obatan lain, ongkos lingkungan adalah satu hal yang perlu dipertimbangkan masak-masak.
Lapar energi
Dengan 192 juta pengguna pada tahun 2018, ganja sejauh ini merupakan jenis obat rekreasi paling populer di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, nilai ekonomi dari pasaran ganja telah mencapai miliaran dolar.
Namun ternyata, upaya pembudidayaan ganja di rumah kaca, lengkap dengan pengaturan cahaya, ventilasi, dan suhu optimal, sungguh menghabiskan banyak energi. Menurut perkiraan, produksi ganja di AS telah menyumbang sekitar 1 persen dari total konsumsi energi negara itu.
"Dalam satu tahun, sekitar 15 juta metrik ton karbon dioksida dilepas ke udara di Amerika Serikat sebagai hasil produksi ganja dalam ruangan, setara dengan emisi tahunan dari 3 juta mobil," menurut sebuah laporan oleh Universitas California. Itu berarti satu produk ganja punya jejak karbon yang hampir setara dengan sekitar 3 kilogram kentang.
Bukan rahasia lagi bahwa perdagangan narkoba telah memakan korban jiwa, tetapi sejauh ini hanya ada sedikit penelitian yang berfokus terhadap dampak produksi tanaman ini terhadap lingkungan.
Perparah kekeringan di California
Ganja adalah tanaman yang sangat butuh banyak air. Tanaman ini membutuhkan air dua kali lebih banyak daripada tomat atau anggur. Sekitar 70 persen ganja yang dikonsumsi di AS ditanam di California.
Budidaya tanaman ini dalam skala besar membutuhkan air sebanyak 22 liter per hari per tanaman. Dengan demikian, kultivasi tanaman ini memperparah kekeringan di kawasan itu selama musim kemarau.
Para ilmuwan dari Departemen Perikanan dan Satwa Liar California memperkirakan bahwa budidaya tanaman ganja secara ilegal di lapangan dan lahan terbuka telah menurunkan permukaan air di beberapa aliran sungai hingga seperempatnya.
Babat hutan untuk tanam koka
Lain ganja, lain pula kokain. Dampak ekologi dari 19 juta pengguna kokain di seluruh dunia dapat dengan jelas dijumpai di Amerika Latin. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kolombia berpotensi menghasilkan 1.120 ton kokain murni pada tahun 2018, yang merupakan rekor bagi negara di Amerika Selatan ini.
Rekor tersebut bukannya tanpa harga. Sejak 2001, lebih dari 300.000 hektar hutan telah dibabat untuk budidaya tanaman koka yang menghasilkan kokain. Karena wabah corona, kecepatan laju pembabatan hutan untuk sementara menurun. Namun Paulo Sandoval, ahli geografi di Universitas Oregon, mengatakan kepada DW bahwa sebenarnya produksi koka tetap mencapai angka yang sama dengan yang terjadi 20 tahun lalu.
Berbekal data satelit terbaru, Sandoval menunjukkan bahwa di wilayah Amazon di Kolombia saja, saat ini dibudidayakan sekitar 50.000 hektar tanaman koka. Setengah dari jumlah ini berada di cagar alam yang menjadi rumah bagi keanekaragaman spesies. Sandoval juga menegaskan bahwa perkebunan yang dia survei hanya mencakup 20 persen dari total area budidaya koka.
Perangi narkoba, tapi lingkungan rusak
Hingga kini, pemerintah Kolombia mengandalkan strategi pemberantasan tanaman dalam memerangi budidaya koka. Sebagai bagian dari strategi ini, pemerintah mengerahkan pesawat untuk menyemprot perkebunan koka dengan herbisida glifosat berkonsentrasi tinggi. Metode ini secara efektif menghancurkan banyak perkebunan koka, tetapi juga merusak hutan dan lahan pertanian di sekitarnya.
Elizabeth Tellman, ahli geografi di Institut Bumi Universitas Columbia, New York, mengatakan bahwa pendekatan ini merugikan lingkungan. Begitu sebuah ladang dihancurkan, kartel narkoba dapat dengan mudah menebangi lebih banyak hutan di tempat lain dan menanam tanaman koka baru di sana.
Daun koka yang ditumbuhkan dengan cara membabat hutan kemudian diproses menjadi kokain di sebuah laboratorium rahasia. Proses ini membutuhkan bahan kimia yang sangat beracun seperti amonia, aseton, dan asam klorida. Para ilmuwan memperkirakan bahwa beberapa juta liter zat ini berakhir terbuang di tanah dan sungai setiap tahunnya. Hanya ada sedikit tumbuhan atau hewan air yang dapat hidup di daerah yang sudah terkontaminasi zat-zat berbahaya ini.
Di Afghanistan, permukaan air tanah turun drastis
Sekitar 337.000 lapangan sepak bola, atau 23 kali luas Paris - itulah jumlah tanah yang digunakan untuk menanam opium di seluruh dunia pada tahun 2019, menurut laporan PBB. Produsen terbesarnya adalah Myanmar, Meksiko dan Afghanistan, yang menyumbang 84 persen budidaya opium di seluruh dunia.
Di Afghanistan, ladang opium tersebar utamanya di wilayah barat daya. Hingga tahun 1990-an, daerah ini masih berupa gurun pasir yang gersang, tanpa perkebunan dan tanaman apa pun. Tapi saat ini, di sana tinggal sekitar 1,4 juta orang yang bermata pencarian dari budidaya opium dan pertanian. Semua ini dapat terjadi berkat adanya lebih dari 50.000 unit pompa air tenaga surya untuk menghijaukan gurun.
Namun cerita penghijauan gurun ini tidak seramah lingkungan seperti kelihatannya. Sebuah laporan oleh ekonom sosial David Mansfield menjabarkan bahwa air tanah di kawasan itu menurun sedalam 3 meter tiap tahunnya. Kini orang-orang di daerah tersebut tengah berupaya mengebor sumur hingga kedalaman 130 meter untuk mencari air.
"Setiap tahun, kian banyak orang datang ke gurun dan mengebor sumur air. Ada kekhawatiran di antara warga lokal bahwa akan segera datang masanya ketika produksi pertanian tidak lagi mungkin dilakukan," ujar Mansfield.
Selain menyedot air tanah secara besar-besaran, para petani opium juga menggunakan pupuk kimia dan pestisida dosis tinggi untuk mengendalikan gulma. Uji air tanah menunjukkan bahwa kadar nitrat di daerah ini jauh lebih tinggi daripada kadar yang dianggap aman. Ini dapat meningkatkan risiko sindrom bayi biru (blue-baby syndrome) yang menyebabkan cacat jantung dan kematian pada bayi yang baru lahir. Mansfield memperingatkan bahwa jika air di wilayah itu pada akhirnya habis, sejumlah besar orang akan terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, memicu eksodus massal.
Balada obat-obatan sintetis
Namun bukan hanya penanaman obat psikotropika berbasis tumbuhan yang berbahaya bagi lingkungan. Obat-obatan sintetik semacam MDMA dan ekstasi juga berbahaya, utamanya bagi persediaan air di kota-kota. Ironisnya, obat-obatan ini juga tengah naik daun di kalangan generasi muda.
Belanda dan Belgia adalah hotspot untuk obat-obatan sintetis. Produksi satu kilo MDMA murni, yang merupakan bahan utama pembuat ekstasi, dapat menghasilkan 10 kilogram limbah beracun. Sedangkan untuk membuat amfetamin, limbah yang dihasilkan dapat mencapai 30 kilogram. Zat berbahaya ini dapat mengandung natrium hidroksida, asam klorida dan aseton. Zat-zat ini seharusnya diperlakukan dan dibuang sebagai limbah berbahaya dengan menggunakan pakaian pelindung khusus.
Institut Penelitian Air Belanda (KWR) memperkirakan bahwa pada tahun 2017, ada sekitar 7.000 ton zat-zat berbahaya yang dibuang begitu saja di suatu tempat di dalam sebuah drum atau bocor ke tanah dan sungai. "Ini tidak bisa dipercaya," kata Eric Emke, seorang ilmuwan di KWR.
Sementara itu, sebuah laporan yang disiarkan oleh lembaga siaran publik Belanda, NOS, menunjukkan betapa abrasifnya cairan yang mengandung zat-zat ini. Laporan tersebut memberitakan tentang seorang ilmuwan yang membenamkan satu kaki ayam ke dalam larutan natrium hidroksida berwarna kuning. Setelah dua hari, dagingnya benar-benar larut, hanya tersisa tulangnya.
Emke mengatakan limbah-limbah berbahaya ini terkadang dibuang ke wadah yang digunakan untuk mengumpulkan kotoran ternak, kemudian dicampurkan dengan pupuk hewani untuk tanaman jagung. "Dan lima tahun lalu, mereka menemukan residu amfetamin dan ekstasi pada kutu tanaman jagung," ujarnya.
Jeremy Douglas, perwakilan regional dari Kantor PBB di bidang narkoba dan kriminalitas untuk wilayah Asia Tenggara, mengatakan Thailand, Laos dan Myanmar juga telah menjadi pusat produksi obat sintetis global "skala industri" dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Kerusakan akibat terserapnya limbah ke air tanah dan berbagai habitat sangat parah, dan sesungguhnya itu adalah bencana ekologi dan kesehatan bagi masyarakat," kata Douglas. (ae/vlz)