Partai Reformis Thailand Move Forward Terancam Dibubarkan
7 Februari 2024Move Forward Party (MFP) memenangkan kursi terbanyak di parlemen pada pemilu Thailand tahun lalu. Tapi menurut banyak analis dan komentator politik, partai itu sekarang terancam dibubarkan karena agenda politiknya menyerang pihak kerajaan..
Mahkamah Konstitusi di Thailand minggu lalu memutuskan bahwa MFP harus membatalkan janji politiknya untuk mengubah undang-undang tentang "pencemaran nama baik kerajaan", yang sering dikiritik di luar negeri dan oleh aktivis HAM di Thailand. Sembilan hakim pengadilan menganggap, adalah tidak konstitusional untuk menganjurkan perubahan Pasal 112 dalam hukum pidana Thailand – yang juga dikenal sebagai undang-undang Lese-majeste.
Undang-undang Pasal 112 melindungi monarki Thailand dari kritik dengan mengancam hukuman berat bagi mereka yang terbukti melanggar, termasuk hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran. Para kritikus mengatakan, undang-undang itu sering digunakan sebagai alat untuk meredam perbedaan pendapat politik.
Petisi menuntut pembubaran MFP
Menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi, muncul serangkaian gugatan dan tuntutan yang meminta pembubaran MFP dan hukuman seumur hidup bagi puluhan anggota parlemen dari partai itu karena dianggap melanggar konstitusi. Namun MFP membantah tuduhan tersebut dan mengatakan mereka hanya ingin mencegah penyalahgunaan undang-undang Lese-majeste.
Napon Jatusripitak, peneliti politik di ISEAS-Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga pemikir Asia Tenggara yang berbasis di Singapura mengatakan, pembubaran Move Forward sangat mungkin terjadi.
"Ada kemungkinan yang sangat nyata bahwa MFP akan dibubarkan. Permohonan sudah diajukan ke Komisi Pemilihan Umum,” katanya kepada DW. "Putusan Mahkamah Konstitusi kemungkinan besar akan dijadikan alasan untuk membubarkan partai berdasarkan Pasal 92 undang-undang kepartaian.”
Pasal 92 Undang-Undang Partai Politik Thailand menyatakan, jika pengadilan memutuskan sebuah partai politik bersalah karena berupaya menggulingkan monarki Thailand, komisi pemilihan umum dapat mengumpulkan bukti dan mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan pembubaran partai tersebut dan melarang anggotanya mengikuti pemilu selama 10 tahun.
Move Forward diblokir dari kekuasaan
MFP muncul sebagai pemenang besar dalam pemilu parlemen tahun 2023. Selama kampanye mereka menjanjikan akan melakukan reformasi politik, termasuk melakukan perubahan pada undang-undang Lese-majeste. Terutama pemilih muda memberikan suara kepada MFP karena janji reformasi dan demokrasi.
Namun Senat Thailand yang dibentuk oleh militer lalu memblokir MFP dari kekuasaan dan menolak ketua MFP, Pita Limjaroenrat, menjadi perdana menteri, sekalipun MFP menguasai mayoritas suara di parlemen. Para senator mengatakan mereka menentang Pita karena niatnya yang ingin menghapuskan monarki. Akhirnya Srettha Thavisin dari partai Pheu Thai, yang punya lebih sedikit kursi di parlemen, disetujui menjadi perdana menteri.
Perkembangan ini menggarisbawahi dominasi militer dan elit konservatif royalis kerajaan di panggung politik dan lembaga peradilan Thailand. Nasib MFP mungkin akan serupa dengan nasib Future Forward Party (FFP), sang sangat populer pada pemilu 2019 dan juga menjanjikan reformasi.
FFP memang tidak memenangkan suara mayoritas dalam pemilu itu, tetapi pemimpinnya Thanathorn Juangroongruangkit didiskualifikasi sebagai anggota parlemen karena dia memiliki saham di sebuah perusahaan media. FPP kemudian dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai melanggar undang-undang pemilu, dan para pemimpin partainya dilarang berpolitik selama 10 tahun.
(hp/as)