Global Solution Summits: Kemakmuran Ekonomi Bukan Segalanya
29 Maret 2022Konferensi tahunan Global Solutions Summit dari 28-29 Maret 2022 di Berlin, Jerman, digelar di tengah serangan Rusia ke Ukraina, ketidakstabilan finansial global dan bayangan pandemi. Konferensi menekankan pentingnya mewujudkan kesejahteraan sosial dalam batas-batas yang bisa ditoleransi oleh planet bumi.
Para ahli dan peneliti dari berbagai pemangku kepentingan dari negara-negara yang tergabung dalam G7 dan G20 kembali berkumpul, untuk membahas tema-tema yang menjadi prioritas. Presiden Global Solutions Initiative, Dennis J. Snower, dalam pembukaan KTT Senin (28/03) mengatakan, implikasi ekonomi dari invasi Rusia ke Ukraina memang telah memutarbalikkan integrasi ekonomi global.
"Namun di balik itu, masih ada banyak persoalan yang tetap membayangi seperti pandemi, hilangnya keanekaragaman hayati, transisi energi, kerawanan pangan dan energi, ketidakstabilan finansial, serta disrupsi dan manipulasi digital", kata Snower lebih lanjut.
Kemakmuran sosial dan lingkungan harus dipertimbangkan
Tahun ini konferensi digelar dalam format daring dan luring dengan mengangkat tema Listen to the World: Promoting social well-being within planetary boundaries. Dalam pidato pembukaannya, Dennis J. Snower menekankan, upaya pemecahan masalah global ini bertumpu pada dua wawasan.
"Pertama, kemakmuran ekonomi itu penting, tetapi itu adalah sarana untuk mencapai tujuan. Ketika kemakmuran ekonomi dipisahkan dari kemakmuran sosial dan lingkungan - seiring dengan meningkatnya PDB (Produk Domestik Bruto) secara agregat, namun ada beban kohesi bagi sosial dan alam - maka sudah waktunya untuk fokus pada kemakmuran sosial dan lingkungan," ujarnya.
"Permasalahan global yang dihadapi penduduk dunia pada saat ini, adalah hasil dari kegagalan sistemik atas sistem yang dibangun di atas kepentingan pribadi", tegas presiden Global Solution Initiative itu. Ia mencontohkan seperti perusahaan yang hanya ingin memaksimalkan keuntungan, konsumen yang hanya memaksimalkan penggunaan barang, dan politisi yang memaksimalkan suara dan hanya bertindak demi kepentingan nasional dan tidak mengarah pada solusi masalah seperti perubahan iklim dan pandemi.
"Kita harus mengukur tidak hanya di segi ekonomi tetapi juga sosial. Saat masalah (kesejahteraan) sosial ini juga diukur akan ada potensi keuntungan yang besar," kata Snower. "Berurusan dengan masalah global kita membutuhkan pendekatan yang berbeda, mempromosikan tindakan kolektif dalam menanggapi masalah kolektif."
Senada dengan Snower, Profesor Bambang Brodjonegoro, co-chair Think-20 (T20) yakni forum kolaborasi lembaga pemikir dan penelitian di negara-negara yang tergabung dalam G20 mengatakan, diskusi saat ini harus lebih dari sekadar tentang PDB dan tidak hanya tentang perkembangan ekonomi. Transisi energi, kesehatan dunia juga adalah masalah yang penting untuk dibahas.
"Pemulihan ekonomi akan jadi lebih kompleks, harus ada inklusivitas, keberlanjutan dan ketahanan. Karena kalau kita ingin perekonomian makin kuat termasuk bisa berhadapan dengan pandemi berikutnya, tiga faktor ini harus ada," ujarnya.
"Intinya ke depan PDB atau kebijakan ekonomi dan pembangunan harus mengarusutamakan perubahan iklim, penanganan kesehatan, dan disrupsi digital," ujar Prof. Bambang saat berbincang dengan DW Indonesia di sela konferensi.
Transisi energi tidak bisa dihindari
Sementara Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, pada Selasa (29/03) mengatakan, transisi energi adalah kunci masa depan. "Masalah kesehatan masih menjadi isu yang harus kita hadapi dalam jangka pendek, tapi bagi negara seperti Indonesia, transisi energi mulai dibahas dalam percakapan, dan dalam tujuan kami," ujar Suahasil.
Meski demikian ia mengakui, transisi ini tidaklah mudah "Bagaimana mengganti pembangkit tenaga batu bara ke pembangkit energi terbarukan, ini tidak akan mudah tapi kami percaya masyarakan internasional akan menyadari tantangan ini dan mencari cara cara terbaik untuk mengatasinya pada dekade mendatang."
Sementara pada kesempatan terpisah di Berlin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan. Ia menyebutkan potensi geotermal sebesar 24 gigawatt, energi hidro sebesar 90 gigawatt dan energi angin sebesar 60 gigawatt.
"Semuanya ini tentu saja harus bisa kami manfaatkan sehingga kami bisa mendorong tercapainya nol emisi karbon di tahun 2060. Untuk itu memang diperlukan program-program yang akurat, program-program yang memang bisa mendanai program-program konversi energi."
Menurutu Arifin Tasrif, pemakaian energi terbarukan pada tahun 2021 ini baru 11%. Sedangkan di tahun 2060 Indonesia memiliki target pemakaian energi terbarukan harus mampu mendukung kebutuhan sekitar 580 hingga 600 gigawatt.
"Kami memang memiliki sumber energi fosil yang sangat besar sebelumnya. Antara lain kita memiliki minyak mentah, kami memiliki gas, dan baru 30 tahun terakhir kami baru menggunakan batu bara sebagai sumber energi karena terdapat di Indonesia dan murah untuk mendapatkannya."
"Tentu saja dengan adanya Paris Agreement yang kita tanda tangani, kita harus menggantikan ini, berangsur, bertransisi menuju energi bersih," kata Arifin Tasrif kepada DW Indonesia.
Inisiatif dana kesehatan global
Sementara Profesor Bambang Brodjonegoro mengatakan, pandemi COVID-19 yang dialami selama dua tahun belakangan ini telah mengajarkan umat manusia, bahaya terbesar bagi manusia ternyata adalah sesuatu yang datang dari alam.
"Climate change itu dari alam, cuma mungkin orang belum sadar karena (saat itu) belum ada yang menakutkan seperti pandemi. Jadi kita harus segera antisipasi. Jangan sampai pandemi ditambah climate change. Jadi urgensi untuk mitigasi harus ditambah kuat," kata Bambang Brodjonegoro kepada DW Indonesia.
Lebih lanjut Bambang mengatakan, Indonesia juga telah mengusulkan dibentuknya dana kesehatan global atau global health fund yang dikelola secara terpisah dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tujuan dibentuknya dana ini adalah sebagai antisipasi masa depan terhadap potensi munculnya isu kesehatan lain yang kemungkinan besar juga akan memengaruhi perekonomian.
"Belajar dari pandemi ini, pada dasarnya umat manusia atau seluruh dunia pun tidak siap. Ketidaksiapan itu derajatnya macam-macam. Tapi secara umum mereka tidak siap menghadapi penyakitnya sendiri, juga yang lebih berat lagi adalah ketika penyakitnya sudah terjadi, ketidaksiapan itu muncul di fasilitas kesehatan, seperti di kebutuhan vaksin misalnya," ujar Bambang Brodjonegoro kepada DW Indonesia.
Selama ini, menurut Bambang, tiap negara memang memiliki dana masing-masing yang dialokasikan untuk masalah kesehatan. Selain itu ada juga institusi seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia yang dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada negara-negara anggotanya untuk keperluan kesehatan. Namun semua itu untuk skema pinjaman dalam kondisi normal, seperti untuk memperbaiki hal-hal terkait kesehatan dasar misalnya perbaikan gizi.
"Tapi belum pernah berhadapan dengan kondisi luar biasa seperti pandemi, yang kebutuhan dananya mungkin di atas yang bisa diberikan sekarang oleh masing-masing lembaga pemberi pinjaman tadi. Ini (masalah) kesehatan sudah serius, akibatnya tidak main-main karena global, semuanya kena, jadi harus ada yang namanya Global Health Fund… Jadi semua dana untuk kesehatan dikelola dalam satu wadah, tidak terpecah-pecah di berbagai institusi," ujar Bambang.
Ia menambahkan, apabila lembaga ini terbentuk, nantinya WHO akan tetap berperan dalam menyiapkan program apa saja yang harus dibuat oleh setiap negara untuk menghadapi pandemi berikutnya. "WHO yang setting agenda dan program, nanti dananya di-manage oleh Global Health Fund tersebut. Jadi nanti peran WHO tidak sekadar beri daftar vaksin yang sudah bisa diterima, tapi juga langsung in action, langsung bisa pendekatan preventif terhadap terjadinya pandemi."
Para ahli dan peneliti dari negara-negara G7 dan G20 yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, membahas pendekatan bersama untuk mengatasi tantangan global yang paling penting dalam forum Global Solutions Summit 2022 di Berlin, Jerman pada 28-29 Maret 2022. Selain dihadiri beberapa menteri dari Indonesia, Kanselir Jerman Olaf Scholz juga turut berdiskusi dalam acara ini.
Bettina Thoma-Schade turut berkontribusi dalam artikel ini