PBB: Komitmen Iklim Baru Gagal Penuhi Perjanjian Paris
27 Oktober 2021"The heat is on” dipilih jadi tajuk Laporan Kesenjangan Emisi (Emissions Gap Report) terbaru yang diterbitkan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada Selasa (26/10). Laporan tersebut menganalisis rencana iklim nasional yang telah diperbarui dari 120 negara.
Rencana iklim yang juga dikenal sebagai nationally determined contributions (NDC) itu adalah inti dari Perjanjian Iklim Paris. Dalam perjanjian ini, semua negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan target iklim nasional. Mereka juga diminta untuk secara teratur melaporkan implementasinya di lapangan dan target-target baru yang ingin dicapai.
Sesuai namanya, laporan UNEP kali ini mengungkap temuan suram. Dengan NDC yang sudah diperbarui, emisi gas rumah kaca diperkirakan hanya akan berkurang sebesar 7,5% pada tahun 2030. Padahal untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris dan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius (dibandingkan dengan suhu di tahun 1900), gas rumah kaca diharuskan turun sebesar 55%.
Dengan kata lain, dunia harus mengurangi emisinya sebesar 28 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e) per tahun pada 2030. Sementara untuk membatasi pemanasan hingga 2 C, negara-negara masih harus mengurangi emisinya yang merusak iklim sebesar 30%, atau 13 GtCO2e.
‘Kita harus bergerak cepat'
"Untuk lebih jelasnya: kita punya delapan tahun untuk membuat rencana, menerapkan kebijakan, mengimplementasikannya hingga akhirnya menghasilkan pemotongan. Kita harus bergerak cepat,” tulis Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, dalam laporan itu.
Tapi jika negara-negara hanya berpegang pada target iklim nasional mereka sendiri, yang mereka tetapkan secara individual di bawah Perjanjian Paris, maka dunia akan berada di jalur menuju kenaikan suhu 2,7 C.
"Itu akan menghasilkan bencana perubahan iklim yang tidak akan bisa kita atasi sama sekali. Itu harus dihindari dengan cara apapun,” kata Niklas Höhne, profesor perlindungan iklim di Universitas Wageningen, Belanda, yang juga menjabat direktur organisasi penelitian nirlaba New Climate Institute yang berbasis di Köln.
Pandemi, kesempatan yang terlewatkan
Dalam laporannya, UNEP mengungkapkan kekecewaannya bahwa investasi yang dirancang untuk pemulihan ekonomi setelah pandemi hampir tidak mempertimbangkan perlindungan iklim.
Menurut laporan tersebut, hanya kurang dari seperlima paket pemulihan ekonomi yang cenderung berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 memang menyebabkan penurunan emisi baru sebesar 5,4% di seluruh dunia. Tapi di saat yang sama, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer justru mencapai titik tertinggi baru, menurut laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, peningkatan itu bahkan lebih tinggi dari kenaikan rata-rata selama satu dekade terakhir, kata laporan tersebut.
Atau seperti dituliskan UNEP: "Konsentrasi CO2 lebih tinggi dari kapan pun dalam 2 juta tahun terakhir.”
Target net-zero bawa harapan
Menurut UNEP, janji nol-bersih (net-zero) yang dibuat oleh sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Cina, serta Uni Eropa, sejatinya dapat membuat perbedaan signifikan.
Nol-bersih dapat diartikan bahwa untuk semua emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia, jumlah yang sama harus dihilangkan dari atmosfer.
"Jika diterapkan sepenuhnya, target nol-bersih akan bisa mengurangi 0,5 C pemanasan global, sehingga perkirakan kenaikan suhu akan turun menjadi 2,2 C,” kata laporan UNEP.
Meski begitu, sangat penting untuk diketahui bahwa faktanya banyak negara baru berencana mulai bekerja menuju nol-bersih setelah tahun 2030.
Dunia yang ekstrem, bahkan dengan pemanasan 2 C
Dalam laporan itu, Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen mengatakan bahwa negara-negara perlu menghubungkan target nol-bersih jangka panjang mereka dengan NDC yang saat ini sudah berjalan. Ia juga mendesak mereka agar bergerak cepat.
"Ini tidak bisa dilakukan lima tahun lagi. Atau tiga tahun lagi. Ini harus dimulai sekarang,” katanya.
Meskipun pemanasan global nantinya dapat dijaga pada 2 C, menurut Niklas Höhne dari New Climate Institute, Bumi tempat kita tinggal sekarang tidak akan sama lagi.
"Saat ini suhu kita naik 1 C. Dan kita telah menyaksikan banyak kekeringan, hutan mati, banjir dan kebakaran di seluruh dunia,” ujarnya.
"Sebagai perkiraan awal, peningkatan [suhu] 2 C akan berarti dua kali lebih banyak banjir, dua kali lebih banyak peristiwa cuaca ekstrem,” tambahnya.
(gtp/pkp)