PBB: Taliban Gunakan Kekerasan Demi Perkuat Posisi Tawar
7 Juni 2021Eskalasi tindak kekerasan oleh Taliban disimpulkan PBB dalam laporan terbarunya yang dirilis akhir pekan lalu. Strategi tersebut "berkesan dijalankan dengan niat melemahkan kapasitas pemerintahan Afghanistan dan mengintimidasi kelompok advokasi", demikian bunyi laporan tersebut.
Dokumen setebal 22 halaman yang disusun oleh sekelompok pakar PBB itu menuduh Taliban melancarkan pembunuhan berencana sebagai bagian dari strategi perang. Termasuk yang sering dijadikan sasaran adalah pejabat pemerintah, perempuan, pegiat HAM atau wartawan.
Sebab itu penarikan mundur pasukan AS dan NATO pada 11 September 2021 diyakini akan "menyusutkan kemampuan militer Afghanistan, yang harus beroperasi dengan lebih sedikit drone, perlengkapan radar atau pengintaian, serta dukungan logistik, artileri atau terganggunya program pelatihan."
Taliban terusir dari kekuasaan di Afghanistan pada 2001 oleh koalisi militer bentukan AS. Saat itu negeri Hindukush itu dianggap sebagai tempat persembunyian Osama bin Laden, dalang serangan teror terhadap menara kembar di New York yang menewaskan lebih dari 5.000 orang.
Namun kelompok radikal Islam itu mampu menyintasi invasi dan belakangan malah membesar. Buntutnya pada Februari 2020, AS menawarkan damai agar bisa memulangkan sisa pasukannya yang masih bertahan.
Saat ini, Taliban sedang menegosiasikan damai dengan pemerintah Afghanistan. Dalam perundingan di Doha, Qatar, kedua pihak akan merumuskan bentuk pemerintahan dan pembagian kekuasaan. Sebab itu tindak kekerasan yang dilancarkan Taliban terhadap jurnalis atau aktivis dinilai membiaskan model kekuasaan para Talib di masa depan.
"Retorika Taliban dan laporan tentang persiapan aktif mereka untuk menyambut musim perang di awal tahun mengindikasikan peningkatan operasi militer pada 2021," tulis para pakar PBB. Mereka juga meragukan kemampuan militer Afghanistan tanpa bantuan koalisi internasional.
Perang sebagai bahasa perdamaian
"Pasukan Afghanistan berhasil merebut kembali wilayah Taliban dengan bantuan serangan udara koalisi internasional. Sudah begitu pun, mereka tetap menderita kerugian yang besar. Masih harus dilihat bagaimana militer Afghanistan akan bekerja tanpa bantuan tersebut."
Negosiasi damai di Doha sejatinya diharapkan mampu meredakan ketegangan di Afghanistan. Tapi sebaliknya, PBB malah mencatat lonjakan angka kekerasan ke level tertinggi pada 2020, dengan lebih dari 25.000 insiden atau meningkat 10% dibandingkan 2019.
"Gelombang kekerasan luar biasa di sepanjang musim dingin berlanjut ke tahun 2021, dengan 7.177 insiden keamanan antara 1 Januari hingga 31 Maret, atau kenaikan sebesar 61 persen dari periode yang sama pada tahun 2020." Panel itu menaksir jumlah gerilayawan Taliban berkisar antara 58.000 hingga 100.000 personel.
Kekuasaan Taliban, meski dikhawatirkan pegiat HAM, diharapkan bakal menyudahi ancaman teror dari kelompok Al-Qaeda di Afghanistan. Namun begitu PBB mewanti-wanti kedekatan ideologi antara kedua kelompok cendrung menempatkan mereka di barisan yang sama.
"Taliban mulai mengontrol Al-Qaeda dengan mengumpulkan informasi soal pejuang asing dan membatasi pergerakan mereka," tulis panel PBB. "Tapi Taliban juga tidak membuat komitmen apapun untuk meredam setiap ancaman internasional yang berasal dari Al-Qaeda di Afghanistan."
Menurut Panel itu, saat ini fokus Taliban terletak pada perebutan kekuasaan di Kabul. Musim perang 2020 misalnya, "memperkuat benteng Taliban di sekitar sejumlah ibu kota provinsi dan mempersiapkan diri terhadap operasi militer di masa depan jika pasukan koalisi internasional tidak lagi bisa membantu."
rzn/hp (ap, rtr)