Pelecehan Online Meningkat di Masa Pandemi
6 Januari 2021Dunia terasa runtuh ketika Priya mendapati foto bugilnya diunggah ke internet oleh sang pacar. Dia bersikeras unggahan vulgar itu akan mengurangi rasa percaya dirinya sebagai perempuan, membuatnya jadi objek hasrat kaum laki-laki.
"Dia bilang para laki-laki itu akan mengimpikan saya, tapi hanya dia yang berhak memiliki,” ujarnya dalam laporan Reuters.
Sejak itu sang pacar rutin mengawasi perilaku Priya di internet. Dia "diihina sebagai pelacur,” jika kedapatan bertukar pesan online dengan laki-laki lain. "Perilaku saya membuat dia marah,” imbuh korban.
Kisah Priya terlalu berlimpah, menurut lembaga PBB, UN Women. Di seluruh dunia, angka perundungan online terhadap perempuan meningkat tajam. Pelakunya kebanyakan pasangan atau mantan pasangan yang terjebak di dalam rumah selama pandemi.
"Cara kita mengonsumsi internet sama sekali berubah. Aktivitas online tidak lagi dilihat sebagai kemewahan, melainkan sambungan hidup buat banyak orang,” kata Azmina Dhordia, peneliti senior di World Wide Web Foundation, lembaga penelitian internet.
Wabah kekerasan di internet
Bahkan sebelum wabah pun, lebih dari separuh perempuan muda mengaku pernah mengalami perundungan online, menurut survei oleh lembaga yang ikut didirikan oleh salah seorang penemu internet, Tim Berners-Lee, itu.
Unggahan foto, video atau informasi pribadi tanpa persetujuan pemilik, alias doxxing, termasuk jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi. Internet di masa pandemi, kata Dhordia menjadi "tidak ramah dan semakin tidak ramah karena kita lebih sering online.”
Gadis berusia delapan tahun termasuk yang menjadi sasaran perundungan. Satu dari lima perempuan muda mengaku mengurangi atau berhenti menggunakan media sosial lantaran ancaman fisik atau kekerasan seksual, menurut sebuah survei oleh kelompok advokasi perempuan, Plan International.
Jajak pendapat itu mencatat, hampir separuh remaja perempuan pernah diancam di internet. Akibatnya seperempat responden merasa hidupnya tidak aman. "Fakta ini menggugah kesadaran, mengingat betapa banyaknya yang sudah dilakukan untuk membuat ruang digital lebih inklusif,” kata Neema Lyer, direktur sebuah lembaga hak digital berbasis di Uganda.
Menurut Serikat Telekomunikasi Internasional PBB, saat ini ada lebih banyak perempuan yang aktif di internet. "Bahwa setelah semua upaya ini, perempuan yang aktif secara online masih mengalami kekerasan di kehidupan nyata, tujuannya adalah membungkam perempuan,” imbuhnya.
Teknologi minim solusi
Saat ini Facebook, Twitter dkk. sedang menggiatkan kampanye anti-perundungan online. Aplikasi percakapan video, Zoom, juga dipaksa merapatkan celah keamanan menyusul keluhan perihal adanya sambungan tak diundang dari pihak luar yang membanjiri ruang konferensi dengan gambar porno atau ujaran rasis.
Meski demikian hampir sepertiga atau 64% perempuan mengaku dirundung oleh pengguna tak dikenal di Twitter. Sementara di Facebook jumlahnya mencapai seperempat responden, menurut jajak pendapat oleh End Violence Against Women (EVAW), sebuah lembaga pemantau perundungan online.
Pegiat perempuan mengatakan pelecehan seksual online sulit diregulasi lantaran minimnya legislasi terkait. Berbagai negara saat ini tercatat masih belum memiliki landasan hukum yang kuat untuk melindungi perempuan di ruang digital.
Menurut advokat HAM India, Akhila Kolisetty, saat ini hanya India, Kanada, Inggris, Pakistan dan Jerman yang mengharamkan pelecehan seksual berbasis gambar, di mana foto atau video intim pribadi disebarkan tanpa persetujuan.
Bahaya lain muncul dari lingkup teknologi, berupa video "deepfakes” yang menampilkan olahan video digital berkualitas tinggi, di mana wajah korban digabungkan dengan tubuh bintang porno, kata Kolisetty.
"Di negara-negara yang tidak memiliki Undang-undang spesifik, sulit bagi korban untuk mencari keadilan,” imbuhnya.
rzn/pkp (Reuters)