Peluncuran Vaksin Terhambat di Afrika
23 Agustus 2021Gelombang baru COVID-19 di penjuru Afrika dan distribusi vaksin yang tidak merata semakin menyorot ketidaksetaraan berbagai aset baik itu di benua ini ataupun secara global. Sementara di beberapa bagian dunia, tantangan yang dihadapi adalah mengatasi keraguan terhadap vaksin, di daerah lain, permasalahan yang harus diatasi adalah mendapatkan vaksin untuk yang membutuhkan, jelas Nicholas Crips, wakil direktur jenderal departemen kesehatan nasional Afrika Selatan.
“Kami seharusnya mampu melebihi 250.000 (vaksinasi) dalam sehari. Kami memiliki vaksinnya,” kata Crips kepada DW. “Kami memiliki kemampuan untuk memvaksinasi, vaksinasi secara masal, vaksinasi secara privat di apotek dan tempat lain, klinik umum juga memvaksinasi, tapi mereka semua melaporkan mereka kekurangan dan mereka bisa memvaksin lebih banyak lagi,” lanjutnya.
D Kenya, penyebaran varian delta ditambah dengan kurangnya pasokan vaksin bagi mereka yang bersedia divaksin adalah cerita yang menyedihkan.
Monica Wanjiku, seorang warga Kenya yang dalam tiga pekan kehilangan tiga anggota keluarganya karena COVID, mengatakan kepada DW bahwa dia merasa sangat hancur. “Saya merasakan sakit hati yang mendalam. Saya tidak tahu harus berkata apa, tapi seandainya mereka sudah divaksinasi, saya rasa mereka yang terjangkit masih dapat disembuhkan.”
Perbedaan tingkat vaksinasi di Afrika
Sebuah statistik menunjukan bahwa tingkat vaksinasi di Afrika Selatan sebesar 16.67%, sekitar 10 juta dari 60 juta orang, dan di Kenya hanya sekitar 3.5% atau sekitar 2 juta dari 52.5 juta populasi yang sudah menerima vaksinasi.
Para petinggi di Afrika Selatan telah menyusun strategi untuk mendorong lebih banyak orang untuk menerima vaksinasi.
“Kami memiliki banyak lokasi vaksinasi. Sayangnya, tidak banyak orang yang mendatangi lokasi tersebut. Kami melakukan pendekatan “pintu ke pintu”. Kami mendatangi berbagai komunitas. Pesan saya untuk mereka semua adalah vaksin menyelamatkan banyak orang,” kata David Makhura, perdana menteri provinsi Gauteng, Afrika Selatan, kepada DW.
Kemanjuran vaksin melawan virus Corona adalah sesuatu yang banyak orang di Kenya, seperti Wanjiku, dengan senang hati membuktikannya. Keponakannya, James Mwangi, kehilangan ayah dan pamannya oleh COVID. “Kami merasakan trauma. Orang-orang yang masih bersamamu dua pekan lalu, tidak memiliki masalah kesehatan, dan tiba-tiba dalam waktu kurang dari 10 hari, mereka telah pergi.”
Keraguan terhadap vaksin, sebuah masalah endemik
Untuk negara-negara seperti Afrika Selatan yang memiliki pasokan vaksin yang cukup, tantangannya masih terletak di naiknya keraguan terhadapan vaksin itu sendiri. Sebagian besar didorong oleh informasi yang salah dan kampanye anti-vaksin di sosial media, sebagian penduduk Afrika Selatan memutuskan untuk menolak vaksinasi.
“Mengapa saya perlu divaksin ketika ada obat alami yang dapat menyembuhkan kita? Dan juga, saya sudah melihat efek samping dari mereka yang divaksin. Beberapa dari mereka tangan dan bahunya bengkak-bengkak. Sebagian bahkan menjadi sakit,” ungkap salah seorang warga Johannesburg kepada DW.
Informasi yang baik bisa menangkal ketidaktahuan mengenai vaksin, ungkap Linda-Gail Bekker, seorang profesor medis di Universitas Cape Town. “Ini adalah cara yang sah dan paling efektif untuk mencegah penyakit dan kematian,” katanya kepada DW.
Ketimpangan dalam distribusi
Selain masalah keraguan terhadap vaksin, tantangan terbesar yang dihadapi negara-negara Afrika seperti Kenya adalah kurangnya pasokan vaksin untuk memenuhi kebutuhan populasi mereka.
Sementara itu, banyak negara-negara kaya sudah menyuntik lebih dari setengah populasi mereka, dan mempersiapkan suntikan “booster” , sedangkan banyak negara berkembang sangat tertinggal, kata James Nduati, anggota parlemen Kenya.
“Kami mengeluarkan uang untuk membeli vaksin, tapi masalahnya dengan vaksin adalah ini tidak tersedia dimana-mana. Jadi secara global, warga Afrika diperlakukan sebagai warga negara kelas dua,” kata Nduati.
Samuel Obiero, seorang penghuni Nairobi, memiliki sentimen yang sama. “Mereka telah melindungi warganya, tapi mereka mengabaikan negara-negara yang membutuhkan seperti Afrika,” kata Obiero.
Bahkan ahli kesehatan seperti Lolem Ngong dari Yayasan Medis dan Penelitian Afrika (AMREF), Kenya, merasa bahwa ketidakadilan dalam distribusi tidak bisa diterima secara moral. “Kami tidak bisa mulai memberikan vaksin booster, ketika kami tidak tahu apakah kami dapat mendapatkan suntikan kedua. Ini sungguh ketidakadilan, dan sayangnya, tangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga terikat,” tegas Ngong.
WHO wajib bertindak
Seperti kebanyakan orang Afrika, Faith Chebet, seorang penduduk Nairobi, percaya bahwa WHO dan negara-negara kaya perlu membantu yang lebih membutuhkan untuk mendapatkan dosis yang cukup. “Mereka memiliki kewajiban untuk membantu, karena kita semua membutuhkan vaksin tersebut,” ungkap Chebet kepada DW.
Untuk negara seperti Afrika Selatan, dengan lebih dari 2.6 juta orang terjangkit dan 77.000 kematian, argumen nya adalah sekitar 40 juta orang perlu divaksin untuk bisa mencapai “herd immunity”.
Untuk negara lainnya, seperti Kenya dan negara berpenghasilan rendah, masa depan terlihat sangat menantang. Mereka berpacu dengan waktu, sementara mereka sedang di tengah perjuangan melawan varian delta yang sangat menular dan minimnya pasokan vaksin. (mn/hp)