Pembajakan Wacana Kebebasan Berekspresi oleh Ekstremis Kanan
2 November 2016Perhatian pada aksi demonstrasi 4 November yang digalang kalangan Islam garis keras makin luas. Isu ini bahkan menyentuh pucuk tertinggi kepemimpinan nasional. Tidak kurang dari Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, petinggi kepolisian dan militer, para pimpinan partai politik mendadak merasa terpanggil mengurusi masalah ini. Termasuk juga ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Islam (MUI).
Luasnya sorotan dan perhatian kepemimpinan nasional pada agenda yang diangkat kubu ekstremis kanan tidak kita lihat sebelumnya pada isu-isu lain.Selama beberapa hari terakhir, semua media sibuk menyoroti kegiatan para tokoh politik, kepolisian dan militer. Tidak lupa juga memberitakan pernyataan-pernyataan keras tokoh ekstremis kanan seperti Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq.
Anehnya, banyak pihak yang menekankan pentingnya "kebebasan berpendapat" sehubungan dengan aksi 4 November, yang menurut mereka harus terlaksana karena menjadi bagian dari hak-hak dasar itu. Sekalipun biaya yang perlu dikeluarkan negara dan masyarakat sangat besar. Baik dana yang harus disalurkan untuk penjagaan keamanan, maupun "biaya sosial" dari perdebatan pro kontrra mengenai aksi itu sendiri. Padahal, aksi seperti itu bisa misalnya dilaksanakan tanpa pawai jalanan di Stadion Utama di Senayan, dengan kondisi dan biaya pengamanan yang jauh lebih sedikit.
Kita belum lupa, beberapa waktu lalu aparat keamanan, polisi dan tentara, sibuk melarang acara diskusi, festival budaya, pertunjukan film-film yang dianggap "berbau kiri", termasuk penyitaan buku-buku. Ketika itu, tidak ada gaung yang mencapai lapisan kepemimpinan nasional untuk mempertahankan "kebebasan berpendapat".
Jelaslah, wacana kebebasan berpendapat di Indonesia sedang dibajak oleh ekstremisme kanan. Ketika agenda "gerakan kiri" di indonesia masih tertatih-tatih, sibuk membela diri dan menyembuhkan luka mereka, kubu ekstrem kanan dengan mudah merebut wacana dan membuat seluruh aparat negeri di Jakarta dan sekitarnya jadi sibuk.
Bukannya sibuk melarang kelompok-kelompok militan menyebarkan ancaman, tapi sibuk membela hak-hak mereka dan "mengamankan masyarakat" terhadap ancaman yang muncul dari aksi mereka. Kita justru tidak melihat langkah aparat keamanan "mengamankan" para penyebar ancaman dan ketegangan yang meresahkan sebagian besar masyarakat awam.
Apa Yang Sedang Terjadi?
Kebingungan gerakan kiri menghadapi agenda ekstremisme kanan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Jerman pun, aparat keamanan sempat dituduh menutup sebelah mata terhadap gerakan-gerakan kaum ekstrem kanan, dan alpa mengusut dan menyidik para militannya.
Skandal "Trio National-Sozialistischer Untergrund (NSU)" di Jerman sempat membuat heboh publik. Anggota kelompok ini melakukan rangkaian pembunuhan terhadap warga migran di Jerman selama bertahun-tahun, tanpa terungkap dan tercium pihak intelijen dan kepolisian. Kanselir Jerman Angela Merkel kemudian perlu meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, warga migran di Jerman, yang tidak mendapat jaminan keamanan sebagaimana mestinya.
Pimpinan politik dan aparat keamanan Jerman akhirnya harus mengakui, di beberapa tempat, kepolisian telah disusupi oleh "pemikiran ekstremisme kanan", sehingga mereka segan mengusut tuntas kejahatan-kejahatan kelompok ini. Selama bertahun-tahun, intelijen Jerman sibuk memata-matai dan mendata kegiatan kubu radikal kiri, dan seperti "membiarkan" kubu-kubu neonazi bebas beroperasi di bawah tanah.
Kelemahan Agenda Kaum Kiri
Di banyak negara Eropa, kubu ekstrem kanan memang sedang bangkit. Pemikiran-pemikiran mereka ikut mempengaruhi agenda-agenda partai politik besar. Di Perancis dan Inggris, mereka bahkan bisa merebut kemenangan kecil dan besar di tingkat pemilihan komunal. Isu yang mereka "mainkan" adalah sentimen anti Islam, rasisme, kebencian terhadap warga asing.
Kebanyakan pengamat politik yakin, peluang bangkitnya ekstremisme kanan di Eropa muncul antara lain karena kebingungan kaum kiri setelah keruntuhan blok Timur. Isu sosialisme tiba-tiba jadi sulit "disosialisasikan", sementara derap globalisasi dan ideologi kapitalisme plus liberalisme kanan makin mendominasi kegiatan ekonomi.
Di Indonesia, bangkitnya ekstremisme kanan muncul dalam varian yang lebih berbahaya, karena bercampur dengan ideologi fasisme agama ala Taliban dan ISIS. Makin banyak orang yang kelihatannya "bisa menerima" wacana ekstrem kanan, termasuk jargon-jargon 2B2P yang umum di kalangan militan: Bakar, Bunuh, Potong (tangan) dan Penggal (kepala).
Kalau di Jerman kepemimpinan nasionalnya sudah meminta maaf kepada korban-korban hak asasi dan pembunuhan, di Indonesia pemerintahnya belum berani meminta maaf, misalnya atas pembantaian massal anti komunis tahun 1965/1966.
Pembajakan Wacana Kebebasan Berekspresi
Maka, Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, para petinggi aparat keamanan harus berulangkali membela "hak-hak kebebasan berpendapat" yang diusung agenda ekstremisme kanan, sementara mereka terdiam misalnya dalam kasus pembantaian 1965/1966 atau kasus penembakan dan penidasan HAM di Papua.
Sangatlah aneh, ketika para gembong ekstrem kanan meneriakkan hak-hak kebebasan berekspresi, sementara mereka dikenal sering menyerbu acara-acara yang tidak mereka setujui atau menghancurkan toko-toko yang mereka anggap menjual "barang-barang maksiat", tanpa tersentuh oleh hukum.
Ketimpangan wacana dan "pembelaan" terhadap agenda ekstremisme kanan ini, jika tidak dihadapi dan dijawab dengan serius (terutama oleh gerakan kiri), akan punya dampak panjang dan suram terhadap perkembangan demokrasi dan penghormatan hak-hak asasi di Indonesia.
Jika itu yang terjadi, maka senjapun akan turun untuk waktu yang sangat lama di Bumi Nusantara.