PBB: Pembunuhan Jurnalis Meningkat di Afghanistan
16 Februari 2021Pada pergantian tahun, sekelompok orang bersenjata memuntahkan peluru ke kendaraan yang ditumpangi Bismillah Aimaq. Pemimpin redaksi sebuah radio lokal di barat Afghanistan itu tewas seketika. Kematiannya menambah daftar panjang aktivis dan jurnalis yang dibunuh dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam laporan yang dipublikasikan PBB pada Senin (15/2), Utusan Sekjen PBB untuk Afghanistan, Deborah Lyons, mengimbau agar Taliban dan pemerintah Afghanistan memperkuat dialog demi mengakhiri kekerasan. Saat ini perundingan damai yang dimulai sejak September silam terhenti setelah pergantian kekuasaan di Amerika Serikat.
"Rakyat Afghanistan membutuhkan dan berhak atas ruang sipil yang berkembang, sebuah masyarakat di mana orang bisa berpikir, menulis dan menyuarakan pendapatnya secara terbuka, tanpa rasa takut," kata Lyons. "Suara pegiat HAM dan media sangat kritis bagi masyarakat yang terbuka."
Antara Januari 2018 dan 2021, sebanyak 65 aktivis HAM dan wartawan dibunuh oleh kelompok tak dikenal, tulis PBB. Lima pegiat dan enam jurnalis tewas dalam kurun waktu empat bulan setelah perundingan damai dimulai.
Menurut PBB, Afghanistan saat ini sedang mengalami gelombang baru "pembunuhan berencana, disengaja dan dipersiapkan secara matang terhadap individu tertentu. Sementara pelakunya tidak diketahui."
Kondisi ini dikabarkan memaksa pegiat HAM mengundurkan diri dari pekerjaannya atau mengungsi dari kediaman sendiri. Adapun para wartawan harus menyensor diri demi keselamatan pribadi.
Eskalasi iringi perundingan damai
Kebanyakan serangan pembunuhan dilakukan dengan bom rakitan bernama "sticky bombs," atau bom tempel. Bahan peledak ini biasanya diletakkan di bagian bawah kendaraan korban.
Sejauh ini belum ada satu pun kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas gelombang serangan tersebut. Pemerintah Afghanistan selama ini menuduh Taliban. Tapi kelompok pimpinan Hibatullah Akhundzada itu mengklaim hanya membidik aparat keamanan atau pegawai negeri, bukan warga sipil.
Dua pekan lalu Taliban menyerang sebuah pos militer di provinsi Kundus dan menewaskan setidaknya 16 tentara, termasuk seorang perwira tinggi. Serangan serupa juga dilancarkan terhadap aparat keamanan di provinsi Faryab, yang menewaskan setidaknya lima orang serdadu.
Taliban sempat mewanit-wanti Presiden AS Joe Biden agar tidak membatalkan perjanjian 29 Februari yang dibuat dengan bekas Presiden Donald Trump. Meninggalkan perjanjian, "akan mengarah pada eskalasi berbahaya" dalam perang Afghanistan, tulis kelompok tersebut, Jumat (5/2).
Jaringan Haqqani dan Islamic State
Perjanjian damai dengan Taliban diyakini digagas bekas Presiden Donald Trump untuk menarik mundur pasukan AS dari Afghanistan pada Mei mendatang. Sejak ditandatangani, AS mulai mengurangi jumlah tentaranya dari 13.000 pasukan setahun silam, menjadi tinggal 2.500 personil.
Namun kebijakan tersebut kini sedang dikaji ulang oleh pemerintahan Biden, lantaran mengkhawatirkan pecahnya perang saudara tanpa kehadiran militer AS.
Dalam perundingan di Doha, pemerintah Afghanistan dan Taliban harus menyepakati pembagian kekuasaan, perlucutan senjata dan sistem baru pemerintahan. Namun kecurigaan mengakar kuat di antara kedua pihak. Pemerintah di Kabul berulangkali menuduh Taliban bekerja sama dengan kelompok teror Islamic State. Namun hal ini dibantah oleh Taliban.
Pekan lalu, Dinas Rahasia Afghanistan melaporkan perpecahan di tubuh Taliban ikut menyebabkan eskalasi konflik. Jaringan Haqqani yang dulu setia terhadap Taliban, kini dilaporkan bekerja sama dengan Islamic State. Direktorat Nasional untuk Keamanan meyakini kedua kelompok bertanggung jawab atas serangkaian pembunuhan terhadap jurnalis dan aktivis di Afghanistan.
rzn/pkp (rtr, dpa)