Ahok Dihukum Karena Kuatnya Tekanan Elit dan Massa
9 Mei 2017Di luar pengadilan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok, rombongan orang mengenakan busana Muslim berwarna putih merayakan putusan hakim sesaat mereka mendengar Ahok divonis dua tahun penjara. "Dia harus dipenjara - ini benar, dia telah menghina kami," ujar Bachtiar, salah seorang demonstran, kepada kantor berita AFP.
Sebelum vonis terhadap Ahok dijatuhkan, beberapa kali kelompok-kelompok Islam garis keras menggelar aksi demonstrasi sejak akhir tahun lalu. Tobias Basuki, seorang analis dari wadah pemikir CSIS mengatakan kepada AFP, bahwa keputusan mengejutkan tersebut bisa jadi didorong oleh tekanan dari musuh politik Ahok di pengadilan yang terkenal korup.
Tobias Basuki menduga para musuh Ahok menginginkan dia segera dikurung di belakang jeruji - yang berarti dia tidak dapat lagi menjabat sebagai gubernur - alih-alih menunggu usai jabatannya nanti pada bulan Oktober 2017.
Kontroversi tersebut dimulai pada bulan September tahun lalu ketika Ahok, yang dikenal dengan gayanya yang blak-blakan, dianggap menyinggung umat Islam setelah dia mengutip Surat Al Maidah dari Alquran saat berkunjung ke Kepulauan Seribu.
Bermula dari transkrip video editan
Saat itu Ahok menyindir bahwa lawan-lawannya telah menggunakan ayat Alquran untuk mengelabui para pemilik suara, agar tidak memilihnya yang beragama non-Muslim. Pidato Ahok terekam dalam sebuah video yang kemudian menjadi viral di sosial media. Terutama, setelah pria bernama Buni Yani yang menghilangkan kata 'pakai' dalam penjelasannya soal video itu. Demikian dikutip dari Tribunnews. Buntut dari kontroversi tersebut, Ahok diadili.
Pengadilan dimulai pada bulan Desember lalu dan berlangsung selama berbulan-bulan, dengan kedua jaksa penuntut dan pembela memanggil lebih dari 40 saksi.
9 Mei 2017, majelis hakim memutuskan Ahok bersalah dan menjatuhkan vonis dua tahun penjara bagi Ahok, dengan merujuk pada Pasal 156a KUHP yang mengatur perbuatan seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Eksploitasi pasal
Kritikus ingin pasal penistaaan agama dirombak. Pasal tersebut jarang digunakan selama 32 tahun masa pemerintahan Suharto, namun dalam beberapa tahun terakhir pasal ini telah dieksploitasi untuk menekan kelompok minoritas, demikian kata kelompok hak asasi manusia.
Menurut lembaga Wahid Institute putusan terhadap Ahok ini menambah daftar panjang korban pasal penodaan agama di Indonesia, yang menjadi masalah bagi kemerdekaan beragama, berkeyakinan dan kebebasan berekspresi. Peneliti Wahid Instute, Alamsyah kepada DW menyatakan: "Situasi itu dapat mendorong bagi pihak-pihak yang tidak setuju untuk menggunakan pasal yang sama. Hal ini mengkhawatirkan bagi kelompok minoritas dalam agama dan antar agama.” Wahid Institute mendesak agar pasal tersebut dihapus.
Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby menganalisa, karena mendapat tekanan kuat elit dan massa, hakim pun tak berdaya memutuskan Ahok bersalah karena menurutnya ia telah melakukan “penodaan agama” dan “meresahkan masyarakat”. "Padahal, publik tahu, hati-nurani tahu, semua itu hanyalah akal-akalan belaka. Hakim dalam hal ini telah mengabaikan bukti-bukti otentik dan data akademik-ilmiah yang dipaparkan oleh para saksi ahli dari berbagai profesi yang dihadirkan selama persidangan berlangsung. Keputusan hakim atas kasus Ahok itu lebih tepat disebut sebagai “keputusan politik” ketimbang “keputusan hukum”."
Sementara itu Puri Kencana Putri dari KontraS menyebutkan putusan ini memang tidak mengejutkan ketika sehari sebelumnya ada kebijakan sepihak menkopolhukam membubarkan Hizbut Tahrir dengan alasan ideologi mengancam dasar negara dan keutuhan bangsa.
"Persis hari ini vonis 2 tahun untuk membuktikan delik penodaan agama dan tuduhan menciptakan kegaduhan yang dilakukan Ahok adalah upaya untuk "membeli waktu" yang sebenarnya membahayakan pelaksanaan penegakan hukum dan hak asasi manusia. Ada upaya untuk membuat posisinya menjadi nampak seimbang, menyeimbangkan dinamika politik yang tengah memanas, antara kelompok pengusung pluralisme dan konservatif. "
Kebebasan baru setelah masa tumbangnya pemerintahan Soeharto tahun 1998 telah memungkinkan pertumbuhan kelompok garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI), dan pemerintah berturut-turut telah dikritik karena gagal mengatasi kaum radikal karena takut dituduh menyerang Islam. Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua kelompok hak asasi manusia Setara Institute menyebutkan: "Pasca Suharto, tumbuh 'islamisasi' yang signifikan di masyarakat.” Dijelaskannya: "Selama ini untuk meningkatkan ketaatan masyarakat dan masyarakat terhadap Tuhan, tidak apa-apa, tapi sekarang kita melihat fenomena yang berbeda - bangkitnya radikalisme."
ap/yf(afp/rtr)