Bangladesh: Yunus Harus Redam Inflasi, Buka Lapangan Kerja
13 Agustus 2024Bangladesh menjadi sorotan dunia, setelah kerusuhan berskala besar yang disertai kekerasan memaksa perdana menteri Sheikh Hasina untuk mundur dan melarikan diri ke negara tetangga, India.
Protes massal dimulai sebagai gerakan mahasiswa yang menentang kuota pekerjaan di pemerintahan, namun kemudian meningkat menjadi aksi massal anti-pemerintah yang lebih luas. Skema kuota mencadangkan lebih dari separuh pekerjaan pemerintah yang bergaji tinggi dan terjamin untuk kelompok tertentu. Banyak pengunjuk rasa melihatnya sebagai tindakan yang diskriminatif dan tidak adil, terutama pada saat Bangladesh sedang menghadapi tekanan ekonomi.
"Tidak banyak lapangan kerja yang diciptakan di sektor swasta juga,” kata Ahsan H. Mansur, ekonom dan direktur Policy Research Institute of Bangladesh, kepada DW. "Masalah pengangguran menjadi akar permasalahan gerakan mahasiswa," tambahnya.
Selama 15 tahun pemerintahan Hasina, Bangladesh mencapai beberapa kemajuan ekonomi, membangun proyek-proyek besar seperti jalan raya, jalur kereta api dan pelabuhan, serta memperluas jaringan listrik. Industri garmen di negara ini juga menjadi salah satu yang paling kompetitif di dunia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Namun perekonomian mengalami kesulitan sejak pandemi COVID-19. Menyusutnya cadangan devisa bahkan mendorong pemerintah mencari pinjaman bernilai miliaran dolar dari Dana Moneter Internasional, IMF. Meskipun produk domestik bruto (PDB) tumbuh lebih dari 5% setiap tahunnya, Bangladesh masih kesulitan untuk menciptakan lapangan kerja yang cukup dan bergaji layak bagi populasi generasi mudanya yang berjumlah besar.
Inflasi sangat memukul masyarakat Bangladesh
Hampir setengah dari 170 juta penduduk Bangladesh berusia di bawah 30 tahun. "Meskipun hal ini secara umum dianggap sebagai bonus demografi, hal ini dapat berubah menjadi 'kutukan demografis jika kaum muda tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang produktif,`" kata Mansur.
Pengangguran di kalangan masyarakat berusia 15 hingga 24 tahun di Banghladesh mencapai angka tertinggi 15,7% pada tahun 2023, menurut Organisasi Perburuhan Internasional, ILO. Pada saat yang sama, ratusan ribu lulusan baru memasuki pasar kerja setiap tahunnya.
"Tetapi mereka tidak dapat dipekerjakan, mengingat kualitas pendidikan yang sangat buruk dan kurangnya keterampilan yang diperlukan,” kata Mansur, sambil menunjukkan bahwa kaum muda "merasa dirugikan, ditipu” dan mereka merasa tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Tapi itu bukan satu-satunya tantangan. Bangladesh mengalami inflasi tinggi secara terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan harga pangan dan komoditas, khususnya, telah menjadi kekhawatiran utama banyak warga Bangladesh. "Masyarakat menjadi frustrasi dan distribusi pendapatan serta kesenjangan menjadi sangat buruk di negara ini,” kata Mansur.
Fahmida Khatun, kepala penelitian di lembaga think tank Center for Policy Dialogue di Dhaka, mengatakan kepada DW, situasi ekonomi di Bangladesh telah memburuk selama beberapa tahun terakhir. Dia menunjuk pada tekanan inflasi yang tinggi di seluruh dunia sejak pandemi COVID-19 dan dimulainya perang Rusia melawan Ukraina.
"Namun dalam dua tahun terakhir, hampir semua negara berhasil menurunkan inflasi, kecuali Bangladesh,” katanya. Fahmida Khatun mengatakan, bank sentral tidak mampu mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
Bisakah Yunus mendorong reformasi struktural?
Menanggapi kekacauan yang terjadi setelah larinya Sheikh Hasina ke luar negeri, banyak toko dan pabrik tutup, termasuk pabrik-pabrik di sektor tekstil dan garment, yang sangat penting bagi perekonomian Bangladesh.
Negara ini menghasilkan lebih dari $46 miliar setiap tahunnya dengan mengekspor pakaian ke luar negeri, dan sebagian besar ditujukan ke Eropa dan Amerika Serikat. Lebih dari 4 juta pekerja, sebagian besar perempuan, bekerja di sekitar 4.000 pabrik, yang memasok banyak merek ternama dunia, termasuk Levi's, Zara dan H&M.
"Dari sudut pandang ekonomi, membangun dan menjalankan kembali pabrik akan menjadi prioritas," kata Gareth Leather dan Shilan Shah, ekonom di Capital Economics yang berbasis di London, dalam catatan penelitian minggu ini.
Mereka memperingatkan bahwa produsen garmen dapat mengalihkan operasi mereka ke tempat lain jika pihak berwenang gagal mengendalikan situasi. "Tetapi jika perdamaian dan stabilitas segera dipulihkan, kami perkirakan dampak jangka panjang terhadap sektor ini akan relatif kecil."
Ekonom Ahsan H. Mansur mengatakan, Bangladesh memerlukan reformasi mendasar untuk mengatasi tantangan struktural yang dihadapi perekonomian. Hal ini mencakup penguatan lembaga regulasi dan pemberantasan korupsi, reformasi sektor perbankan dan keuangan, serta kebijakan perpajakan dan bea cukai.
"Pemerintah perlu membentuk beberapa kelompok ahli untuk mengatasi hal tersebut. Dan mereka harus melakukannya dengan sangat cepat. Itulah tantangan besarnya," pungkasnya.
(hp/as)