Pemerkosaan Jadi Senjata dalam Konflik Etnis di Manipur
3 Agustus 2023Kim Khohat, 45, seorang Ibu empat anak dari etnis kuki, masih belum bisa menerima kenyataan, bahwa putrinya Olivia, yang berusia 22 tahun telah tewas secara mengenaskan.
Bersama teman perempuannya yang bernama Florence, Olivia diperkosa dan dibunuh secara brutal oleh massa pada 5 Mei silam. Keduanya sempat dikepung oleh sekelompok pria dari suku Meitei saat berada di kamar kontrakan di Imphal, ibu kota Manipur.
"Padahal sehari sebelumnya saya masih menelpon Olivia,” kata Khohat kepada DW. Ketika dia menghubungi sang anak keesokan harinya, panggilannya dijawab seorang tak dikenal yang langsung bertanya, "apakah dia mau melihat puterinya tewas.”
"Saya hingga kini belum melihat jenazah anak saya. Sementara polisi tidak mengatakan apapun.”
Separasi etnis demi cegah pertumpahan darah
Ayah Florence, Amos Paotinthang, seorang petani, juga belum mampu menjemput jenazah anaknya karena trauma. Florence punya tiga saudara perempuan lain.
"Saya tidak menginginkan kompensasi dari otoritas. Satu-satunya keadilan yang saya inginkan sekarang adalah pemisahan dari etnis Meitei, dan itu adalah satu-satunya jalan keluar. Kami tidak bisa hidup bersama-sama,” kata Paotinthang kepada DW.
Konflik antara etnis Meitei yang bermayoritaskan Hindu dan etnis Kuki yang Kristen pertama kali meletus Mei silam. Hingga kini, sebanyak 150 orang tewas dibunuh, sementara lebih dari 60.000 penduduk terpaksa mengungsi.
Baik militer, angkatan paramiliter, maupun polisi kewalahan meredam tindak kekerasan antar suku di Manipur.
Maraknya kasus kejahatan seksual dan pemerkosaan mendorong intervensi Mahkamah Agung India. Setelah mendengar kesaksian dan petisi korban pemerkosaan, MA menyimpulkan polisi baru mendaftarkan aduan tiga bulan setelah kejadian.
"Kita berurusan dengan tingkat kekerasan yang belum pernah terjadi terhadap perempuan dalam konflik komunal dan sektarian,” kata Hakim D.Y. Chandrachud. Mahkamah Agung juga mengritik kinerja penyidik kepolisian yang dinilai "setengah hati” dalam mengungkap kasus kejahatan seksual.
Apa yang terjadi di Manipur, begitu menurut penilaian Mahkamah Agung, adalah "runtuhnya hukum dan ketertiban, serta kedaulatan negara.”
Senjata kekerasan seksual
Di Manipur, suku Meitei kebanyakan bermukim di dasar lembah yang hijau dan subur. Sementara suku Kuki diberikan lahan di kawasan perbukitan. Selama ini, etnis Meitei menikmati pengaruh besar di bidang politik dan ekonomi, lantaran mendominasi pemerintahan negara bagian dan kepolisian.
Polisi sejauh ini belum mencatat adanya serangan seksual terhadap perempuan Meitei. Namun sejumlah LSM mewanti-wanti terhadap kabar palsu alias hoax yang diciptakan dan disebarkan untuk menghasut agar kekerasan antar etnis makin berkobar.
"Ada rumor luas yang mengatakan bahwa perempuan Meitei diserang dan diperkosa. Hal itu memicu eskalasi,” kata Babloo Loitongbam, direktur sebuah organisasi kemanusiaan lokal, Human Rights Alert.
Dalam laporan kepada Mahkamah Agung, pemerintah Manipur mengaku telah mencatat lebih dari 6.500 dugaan pelanggaran dan telah menahan 252 tersangka. Laporan itu mencatatkan 11 tindak kejahatan seksual terhadap perempuan, kebanyakan dilakukan oleh anggota suku Meitei kepada anggota suku Kuki.
"Apa yang kita saksikan adalah sebuah tragedi mengerikan. Pemerkosaan brutal digunakan sebagai senjata untuk melukai kelompok minoritas,” kata Mary Beth, seorang pegiat HAM perempuan di Manipur. "Sayangnya, praktik ini punya sejarah panjang dan sering dilakukan dengan motivasi agama atau etnis.”
rzn/as