Pemerkosaan di India: Cermin Indonesia
2 Januari 2013Angkutan umum bisa menjadi salah satu tempat paling tidak aman bagi perempuan Indonesia. Pertengahan 2011, seorang mahasiswi informatika yang baru pulang dari kampus menjadi korban: diperkosa bergiliran oleh empat orang, lehernya dijerat dengan tali hingga tewas dan mayatnya dibuang di jalan.
Sekedar mengingatkan, ini tidak terjadi di daerah terpencil, tapi di tempat umum, di atas sebuah moda transportasi publik di ibukota Indonesia: Jakarta. Dan itu bukan kasus satu-satunya, karena beberapa waktu sebelumnya, seorang perempuan pedagang sayuran diperkosa empat laki-laki di pagi hari, di atas angkutan saat akan pasar.
Dalam sebuah kasus lain, seorang korban yakni karyawati perempuan berinisial RS berhasil menangkap sendiri seorang pelaku, dan menyeret tiga pemerkosaan lainnya ke pengadilan. Ia menjadi korban pemerkosaan empat laki-laki di atas angkutan umum setelah pulang kantor.
Rasa aman adalah sesuatu yang absen di ruang publik, dan itu semakin parah karena cara pandang masyarakat.
Sumber Godaan
Beberapa waktu setelah muncul beberapa kasus pemerkosaan di angkutan umum akhir 2011, Gubernur Jakarta saat itu Fauzi Bowo berkomentar.
"Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet, orang yang duduk di depannya pakai rok mini. Agak gerah
juga, kan? Kalau orang naik motor pakai celana pendek, ketat lagi, bayangin aja. Itu yang ikut di
belakangnya, bisa goyang-goyang."
Protes dan tekanan dari berbagai kalangan saat itu, akhirnya memaksa Gubernur Jakarta meminta maaf
dan menyebut bahwa dia tidak bermaksud melecehkan perempuan terutama korban pemerkosaan lewat
pernyataan itu.
Anggota Komisi Nasional Perlindungan Perempuan Indonesia Andy Yentriyeni kepada Deutsche Welle mengatakan bahwa dalam banyak kasus, masyarakat menganggap bahwa pemerkosaan terjadi karena kesalahan korban.
Perempuan dianggap menciptakan kesempatan dan peluang terjadinya pemerkosaan lewat pakaian atau gerak-gerik yang menggoda laki-laki.
Komnas Perempuan Indonesia menerima laporan bahwa selama pemeriksaan, polisi sering mengajukan pertanyaan yang menyudutkan korban.
“Kenapa Anda berjalan di sendirian di malam hari? Apakah Anda menikmati saat (pemerkosaan-red) itu terjadi? Posisi Anda di atas atau di bawah? Apakah sebelumnya Anda pernah berhubungan seks?”
Berbagai pertanyaan yang menyudutkan atau permintaan rekonstruksi kejadian membuat perempuan korban malu dan enggan memproses kasus pemerkosaan. Belum lagi kalau sampai masuk pengadilan yang disaksikan orang atau bahkan diliput oleh media massa.
Viktimisasi Korban
Hampir sama dengan India, pemerkosaan di Indonesia juga dianggap sebagai aib keluarga. Di India banyak korban pemerkosaan dipaksa kawin dengan pelaku, hal sama juga terjadi di Indonesia.
Banyaknya kasus seperti itu mendorong Komnas Perempuan menggelar berkampanye: “Jangan Kawinkan Anak Perempuan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku“.
Akhir 2012, Komnas Perempuan berhasil meyakinkan orangtua korban pemerkosaan di Jawa Barat agar tidak mengawinkan anaknya yang menjadi korban dengan pelaku. Kasus ini didorong agar diselesaikan melalui pengadilan.
“Pemerkosaan dianggap sebagai aib: korban dianggap tidak punya masa depan bukan karena dia mengalami kekerasan fisik dan psikologis, tapi lebih karena sebagai perempuan dia sudah tidak suci lagi“ kata Yentriyeni.
Dalam masyarakat tradisional, entah di India atau di Indonesia, perempuan dituntut untuk bisa menjaga kesucian.
Itulah yang menyebabkan, kata Yentriyeni, dalam banyak kasus para korban pemerkosaan dianggap tidak bisa menjaga kesuciannya, karena melanggar “tabu“ keluar malam sendirian atau berpakaian tidak pantas.
Reaktif
Indonesia bersikap reaktif dalam merespon pemerkosaan. Setelah muncul tekanan atas terjadinya beberapa kasus pemerkosaan dan laporan mengenai pelecehan seksual di angkutan umum, pemerintah Jakarta mengambil tindakan.
Oktober 2012 pemerintah memberlakukan gerbong khusus perempuan di commuter line yang melayani jalur Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Antrian penumpang bus TransJakarta juga dipisah antara laki-laki dengan perempuan.
“Segregasi atau memisahkan perempuan dan laki-laki di ruang publik tidak akan memecahkan masalah,” kata Yentriyeni.
Pemerintah, kata dia harus memastikan bahwa hukum ditegakkan untuk memastikan pelaku dihukum berat, dan lebih penting lagi: pemerintah menyediakan jaminan keamanan di tempat umum, agar kasus pemerkosaan seperti di New Delhi atau Jakarta, tidak lagi terulang.
Andy Budiman
Editor: Ziphora Robina