Pemilu di Myanmar Marjinalkan Etnis Minoritas
6 November 2020“Saya memutuskan untuk tidak ikut pemilu. Karena pemerintah tidak mampu meyakinkan saya sebagai pemilih atau warga negara,” kata Ye Wai Phyo Aung, penduduk Myanmar yang merasa dikecewakan oleh Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) kepada DW.
Padahal pada pemilu lalu, Ye bangun pukul empat pagi agar bisa menjadi yang pertama tiba di tempat pemungutan suara.
NLD yang pada 2015 tampil dengan slogan kampanye “waktunya bagi perubahan,” tidak mampu mencatatkan banyak kemajuan selama berkuasa. Pertumbuhan ekonomi merangkak di bawah ekspektasi, sementara kebebasan pers dan berpendapat masih dibatasi.
Dalam kasus pengusiran terhadap warga Rohingya, NLD juga memihak militer. Pun perundingan damai dengan kelompok pemberontak di wilayah perbatasan menemui jalan buntu.
Pakar Myanmar asal Polandia, Michal Lubina, yang baru menulis buku tentang Aung San Suu Kyi, mengatakan “pemenang Nobel perdamaian dari Myanmar itu berjanji membawa perubahan pada pemilu 2015. Tapi kekuasaannya sama sekali tidak menandakan perubahan, melainkan modifikasi dari kekuasaan militer, bukan sebuah transformasi mendasar.”
Peluang kemenangan NLD
Meski demikian, peneliti International Crisis Group (ICG) di Brussels, Richard Horsey, meyakini NLD dan Aung San Suu Kyi tidak akan kesulitan memenangkan pemilu. Untuk itu menurutnya ada beberapa alasan.
Untuk pertamakalinya dalam pemilu di Myanmar, pemilih lebih memperhatikan kinerja dan pencapaian, ketimbang integritas moral seperti yang biasa diutamakan oleh budaya politik lokal yang dipengaruhi Buddhisme.
Ironisnya, kecaman internasional terhadap Aung San Suu Kyi terkait isu Rohingya semakin memperbesar peluangnya dalam pemilu kali ini. Dalam tema ini, sebagian besar penduduk mendukung sikap penerima nobel perdamaian itu.
Saat ini di Myanmar semua keberhasilan pemerintah disematkan kepada Aung San Suu Kyi, sementara setiap kegagalan diklaim bersumbu pada militer, struktur korup, pegawai negeri yang malas atau diakibatkan musuh asing.
Alasan kedua adalah tidak adanya alternatif lain. Kebanyakan warga di Myanmar mengenang era pahit kekuasaan militer dan kendaraan politiknya,
Partai Uni Solidaritas dan Perkembangan (USDP), dengan rasa gentar. USDP sejauh ini gagal menanggalkan status sebagai partai militer atau membangun platform demokratis.
Nasib serupa diprediksi akan menimpa sekitar 100 partai lain yang ikut bersaing dalam pemilu legislatif.
UU Pemilu problematis
Alasan ketiga bagi keunggulan NLD adalah UU Pemilu di Myanmar yang cenderung lebih menguntungkan partai-partai besar. Pada pemilu 2015, NLD merebut 79 kursi di parlemen, meski hanya bermodalkan 57% suara. Sementara USDP yang didukung militer mendapat 28% suara, namun hanya kebagian delapan persen kursi.
Militer bagaimanapun juga memegang kata terakhir dalam politik Myanmar. Menurut konstitusi, 25% kursi di parlemen ditunjuk langsung oleh militer yang memungkinkan mereka menggagalkan proses legislasi.
Di sebuah negara yang terbelah dalam beragam etnis, sistem pemilu di Myanmar cendrung mengabaikan representasi minoritas. Hal ini, menurut Horsey, merupakan bom waktu. “Hasilnya minoritas merasa terasingkan dari proses pemilu dan dampaknya akan semakin memanaskan konflik,” kata peneliti di ICG Brussel itu.
Saat ini di negara bagian Rakhine dan Shan, kelompok pemberontak mengobarkan perang kemerdekaan. Di kawasan lain situasinya juga tidak lebih kondusif. Menurut studi Asia Foundation, seperempat populasi Myanmar yang berjumlah 54 juta orang hidup di kawasan konflik, atau pernah menjadi korban peperangan.
Masa depan demokrasi
Meski demikian, Zeya Thu, jurnalis Myanmar, meyakini negaranya semakin dekat menuju demokrasi. Dalam sebuah editorial untuk yayasan Heinrich-Böll di Jerman, dia menegaskan pemilu hanya menyentuh satu dari tiga kantung kekuasaan di Myanmar, yakni pemerintahan sipil.
Di luar itu, ada militer dan minoritas etnis atau kelompok bersenjata. Konstelasi segitiga ini, menurut Zeya Thu, menghalangi proses demokratisasi di Myanmar. Namun begitu militer dan kelompok bersenjata cenderung menerima pemilu, karena berusaha memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing, bukan malah menghalanginya.
Hal itu, tulis Zeya Thu, adalah sebuah penerimaan. “Dengan sejumlah batasan, mereka mendukung pemilihan umum demokratis di Myanmar.”
Hal senada diungkapkan pakar politik, Marco Bünte, dari Universitas Erlangen-Nürnberg, Jerman, yang mengamati proses transformasi di Myanmar sejak beberapa tahun terkahir. “Konstitusi yang ditulis militer pada 2008 adalah ibarat baju pengekang yang dikenakan secara paksa,” katanya.
“Aung San Suu Kyi dan pemerintahan sipil Myanmar memiliki ruang gerak yang sempit. Potensi ancamannya sangat besar dan NLD harus memperhatikan hal tersebut.” Kekuatan militer dan warisan dari kekuasaan militer selama 50 tahun tidak boleh dianggap remeh. “Proses demokrasi, betapapun terbatas, dijalankan secara bertahan dengan lambat.”
Rodion Ebbighausen (rzn/as)