18 Pendemo di Myanmar Tewas, Uni Eropa Jatuhkan Sanksi
1 Maret 2021Polisi Myanmar telah menindak para pengunjuk rasa anti-kudeta dengan melepaskan granat kejut, gas air mata, dan tembakan ke udara, dalam aksi demontrasi pada hari Minggu (28/02).
Sedikitnya 18 orang tewas dan puluhan orang lainnya luka-luka dalam aksi paling berdarah sejak militer Myanmar mengambil alih kekuasaan empat pekan lalu.
Kantor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mengatakan telah menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa di beberapa lokasi polisi dan pasukan militer telah menghadapi demonstrasi yang damai, menggunakan kekuatan yang mematikan.
Melalui cuitannya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengutuk tindakan keras yang terjadi di Myanmar. "Kami berdiri teguh dengan orang-orang Burma yang berani & mendorong semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mendukung keinginan mereka."
Polisi melepaskan tembakan di kota Dawei yang menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya, menurut politisi Kyaw Min Htike. Korban tewas diverifikasi oleh petugas medis dan dilaporkan oleh media lokal.
Penembakan juga terjadi di kota Yangon. Seorang pria yang dibawa ke rumah sakit setempat dengan luka tembak meninggal karena lukanya, menurut seorang dokter. Outlet media Myanmar Mizzima juga melaporkan kematian tersebut.
Tindakan kekerasan telah meningkat sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari lalu.
PBB serukan dukungan internasional
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam keras penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa dan penangkapan sewenang-wenang, kata juru bicaranya dalam sebuah pernyataan.
"Sekretaris Jenderal mendesak masyarakat internasional untuk berkumpul dan mengirimkan sinyal yang jelas kepada militer bahwa mereka harus menghormati keinginan rakyat Myanmar seperti yang diungkapkan melalui pemilihan dan menghentikan penindasan," demikian pernyataan dari jubir sekjen PBB, Stephane Dujarric.
Penangkapan massal
Dalam aksi unjuk rasa tersebut puluhan pelajar dan guru telah ditahan, dan beberapa orang yang terluka dipindahkan dari lokasi unjuk rasa di Yangon.
"Polisi turun dari truk mereka dan mulai melemparkan granat kejut tanpa peringatan," kata Hayman May Hninsi, yang termasuk di antara sekelompok guru yang melakukan protes di Yangon, kepada kantor berita Reuters. Mereka berlindung ke gedung terdekat.
"Beberapa guru terluka saat berlari. Kami sedang memantau situasinya dan apakah akan keluar lagi atau tidak."
Berdasarkan sebuah rekaman video yang diposting, tampak sejumlah dokter dan pelajar dengan jas lab putih juga melarikan diri ketika polisi meluncurkan granat kejut di luar sekolah kedokteran di bagian lain kota.
Di kota Mandalay yang terletak di utara, polisi menembakkan senjata ke udara, mengurung staf medis yang memprotes di rumah sakit kota, kata seorang dokter di sana kepada Reuters melalui sambungan telepon.
Seorang aktivis di Mandalay, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan kepada DW bahwa dia menyaksikan militer menargetkan ambulans dan rumah sakit di kota tersebut.
"Hari ini saya melihat bahwa mereka (militer) bahkan menembak ambulans dan mereka menangkap beberapa orang yang berlindung di rumah sakit. Mereka tidak segan-segan lagi dan mereka menggunakan kekerasan ekstrem terhadap para pengunjuk rasa," kata aktivis itu kepada DW.
Uni Eropa jatuhkan sanksi
Kepala diplomatik Uni Eropa Josep Borrell juga mengutuk tindakan keras itu dan menegaskan pada Minggu (28/02) bahwa UE akan menjatuhkan sanksi sebagai tanggapan atas kudeta yang teradi.
"Kekerasan tidak akan memberikan legitimasi pada pelimpahan ilegal dari pemerintah yang dipilih secara demokratis," kata Borrell dalam sebuah pernyataan. "Dalam penembakan terhadap warga yang tidak bersenjata, pasukan keamanan telah secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional, dan harus dimintai pertanggungjawaban."
"Uni Eropa akan mengambil tindakan dalam menanggapi perkembangan ini segera," kata Borrell. Sanksi tersebut diharapkan dapat diputuskan dalam beberapa hari mendatang. Menteri-menteri Uni Eropa juga telah memutuskan untuk menahan beberapa bantuan pembangunan.
Dubes Myanmar di PBB yang dipecat ikrarkan perlawanan
Aksi berdarah pada hari Minggu (28/02) terjadi beberapa hari setelah seruan dramatis dari duta besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang secara terbuka memutuskan hubungan dengan junta yang berkuasa saat berpidato di depan Majelis Umum PBB.
Dia mengatakan bahwa dia berbicara atas nama pemerintah sipil Aung San Suu Kyi yang digulingkan dan menyerukan intervensi internasional untuk membantu mengakhiri kudeta.
"Kami membutuhkan tindakan sekuat mungkin lebih lanjut dari komunitas internasional untuk segera mengakhiri kudeta militer," kata Moe Tun, Jumat (26/02).
Pada hari Sabtu (27/02), lebaga penyiaran Myanmar melaporkan bahwa diplomat tersebut telah dipecat karena dia telah "mengkhianati negara dan berbicara untuk organisasi tidak resmi yang tidak mewakili negara dan telah menyalahgunakan kekuasaan dan tanggung jawab seorang duta besar."
"Saya memutuskan untuk melawan selama saya bisa," tegas Kyaw Moe Tun kepada kantor berita Reuters di New York.
rap/hp (Reuters, AP, AFP)