Penderitaan Diselubungi Mode Cantik
Di balik gemerlap dunia mode tersembunyi penderitaan para buruh di pabrik tekstil. Pakaian yang merekat di tubuh konsumen Eropa menyelubungi kenyataan hidup memprihatinkan pekerja tekstil di Asia.
Industri Global
Sebagian besar pakaian yang dikenakan dunia melalui tangan-tangan pekerja tekstil di negara berkembang. Merek besar internasional sudah lama memindahkan produksi mereka ke Asia Tenggara dan Amerika Latin, di mana buruh mendapat upah rendah. Jika pakaian diproduksi murah, menjaga kelestarian lingkungan dan hak pekerja tidak jadi prioritas.
Produksi Massal
Produksi massal pakaian diawali di Inggris di masa revolusi industri, yang dimulai awal abad ke-18. Ketika itu industri tekstil mengalami 'boom' di kawasan London dan Manchester, yang punya lebih dari 100 pabrik katun di tahun 1850-an. Pekerja anak-anak, waktu kerja yang panjang, gaji kecil dan masalah kesehatan sudah umum di kalangan buruh.
Sejarah Penyalahgunaan
Setelah itu kondisi tersebut juga muncul di AS. Tahun 1911, 146 pekerja tekstil tewas dalam kebakaran di pabrik Triangle Shirtwaist, di New York, karena manajer mengunci pintu keluar. Sebagian besar korban adalah perempuan muda. Kondisi kerja mereka serupa dengan yang bisa dilihat di Asia sekarang. Jam kerja panjang, upah kecil dan bangunan yang tidak aman.
"Made in China"
Ketika makin banyak negara bersaing untuk kurangi biaya produksi pakaian, banyak pabrik dipindahkan dari AS dan Eropa ke Asia dan Amerika Latin di tahun 1970-an. Sekarang Cina jadi produsen tekstil terbesar dunia. Pekerjanya sekarang dapat bayaran makin baik, sampai hampir enam juta Rupiah per bulan. Sekarang pemilik pabrik memindahkan produksi ke negara tetangga, yang upah buruhnya masih rendah.
Upah Eksploitasi
Di negara bagian Tamil Nadu di India selatan, anak-anak perempuan bekerja dalam sistem Sumangali, yang dalam bahasa Tamil berarti "pengantin yang bawa kesejahteraan." Diperkirakan, 120.000 anak bekerja dalam 'periode pelatihan' selama empat tahun untuk mengumpulkan uang bagi biaya pernikahannya. Mereka bekerja 12 jam, dan hanya mendapat sekitar 8.000 Rupiah.
Perjuangkan Upah Lebih Baik
Di Kamboja, diperkirakan 300.000 perempuan bekerja di pabrik tekstil dalam kondisi menyedihkan. Seorang pekerja mendapat sekitar 790.000 Rupiah per bulan. Ketika memprotes upah yang rendah, pekerja ditembaki. Di Bangladesh, sekitar empat juta bekerja di industri tekstil, sebagian besar perempuan. Negara itu sangat tergantung pada sektor industri garmen dengan upah rendah.
Konsekuensi Tragis
Kesengsaraan pekerja tekstil modern dapat perhatian global ketika sebuah pabrik runtuh di Bangladesh, 24 April 2013. Lebih dari 1.100 orang tewas. Ini adalah salah satu kecelakaan paling besar akibat bangunan bobrok atau kebakaran. Tragedi itu mengakibatkan sekitar 80 perusahaan, seperti H&M dan Metro untuk tandatangani kesepakatan kondisi kerja lebih aman di Bangladesh.
Dunia Berbeda
Pakaian yang dipamer di jendela toko menyelubungi kenyataan hidup menyedihkan bagi banyak pekerja tekstil. Merk-merk Jerman termasuk pelanggan pabrik tekstil yang menjalankan praktek kerja memprihatinkan. Jalur suplai panjang dan tidak adanya transparansi menyebabkan sulitnya pelacakan, dari mana dan bagaimana barang diproduksi.