Meneliti Konflik Alih Fungsi Lahan Pertanian
11 Januari 2020Roni Susman, arsitek asal Bandung yang sempat bekerja sebagai developer ini senang menekuni dunia real estate dan properti. Pengalamannya terjun menggarap lahan pertanian di Soreang, Kabupaten Bandung menjadi area perumahan, membuka wawasannya Roni tentang konflik lahan. Terutama saat ada tekanan dari korporasi kepada pemilik lahan. Konflik ini terjadi tidak hanya di Jawa Barat tetapi juga di beberapa wilayah di Indonesia.
Konflik akibat alih fungsi lahan pun menjadi fokus penelitian Roni saat menempuh studi master Urban Management hingga berlanjut ke jenjang Doktorat Urban and Regional Planning di Technische Universität Berlin. Kini ia pun bekerja untuk oleh Leibniz Center für Agrarlandschaft Forschung, sebuah pusat penelitian lahan pertanian berlokasi di Müncheberg, Brandenburg, Jerman. Lantas apa saja kasus-kasus peralihan fungsi lahan di Indonesia yang Roni teliti serta apa metode Roni untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? Simak perbincangan DW Indonesia dengan Roni Susman.
Deutsche Welle: Apa saja studi kasus di Indonesia yang Roni teliti?
Roni Susman: Awalnya di Bandung Utara kasusnya terkait lahan hak milik, hak guna usaha (HGU), dan tanah garapan. Tanah garapan itu, tanahnya dimiliki desa atau negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digarap masyarakat. Mereka (masyarakat) bayar sewa. Sejak muncul program sertifikasi tanah negara (PRONA) atau tanah garapan menjadi tanah milik ternyata banyak tanah yang dijual kepada korporasi dan pengembang perumahan. Singkatnya, lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat banyak yang dialih fungsikan jadi perumahan pada tahun 80-90an.
Developer banyak melakukan praktik Land Banking, dimana swasta mengakuisi ribuan hektar lahan yang dibeli murah pada tahun 80an. Begitu berakhirnya krisis keuangan di tahun 2000, pertumbuhan perumahan di Kawasan Bandung Utara sangat masif dan tidak terkendali oleh regulasi yang ada. Hasil wawancara kami dengan penduduk setempat, menunjukkan kenaikan harga lahan dalam kurun waktu 10 tahun mencapai 500% terutama setelah pengembang membuka jalur jalan dan listrik menuju pelosok-pelosok desa di Wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Isu alih fungsi ini semakin menarik dipelajari bukan hanya dari sisi tata ruang melainkan dari aspek sosio-ekonomi. Saat ini di Jawa Barat sedang dibangun mega infastruktur Pelabuhan Patimban yang berada di bagian Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang menurut kajian Japan International Cooperation Agency (JICA) menjadi pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setelah Tanjung Priok di Jakarta. Pemerintah Jokowi merencanakan pelabuhan ini sebagai back-up (red. penyokong). Pelabuhan Tanjung Priok dalam menunjang kegiatan industri manufaktur di Jawa bagian Barat terutama sepanjang koridor Tol Jakarta-Cirebon.
Lebih dari itu Gubernur Jawa Barat menetapkan Kawasan Pelabuhan Patimban sebagai bagian terintegrasi pembangunan Segitiga Rebana yang terdiri dari Patimban, Bandara Kertajati di Majalengka, dan Wilayah Cirebon sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang akan menjadi region pertumbuhan berbasis transportasi di bagian Utara Jawa Barat. Dengan jarak ketiganya saling berdekatan dalam radius 50 km ini akan jadi segitiga ekonomi paling lengkap tidak hanya pusat produksi akan tetapi menjadi pusat distribusi. Sejauh yang saya teliti selama ini model yang mirip dengan Konsep Segitiga Rebananya Gubernur Jabar ada di koridor Schenzen, Beijing, dan Shanghai.
Baca juga:Arsitektur Jerman Mengedepankan Kesederhanaan
Menariknya dari kasus Patimban ini adalah, pelabuhannya dirancang sebagai deep-seaport yang dari teori, pelabuhan jenis ini tidak memerlukan kebutuhan lahan yang terlalu luas di daratan. Saya melakukan penelitian Patimban dengan basis kasus yang ada di Pelabuhan Jadeweserport, Jerman. Pelabuhan ini dibangun tahun 1995 dengan konsep deep-seaport dimana bidang utama pelabuhan berupa timbunan di lepas pantai. Lokasinya berada di Kota Wilhelmshaven, negara bagian Niedersachsen Jerman kurang lebih 520 km dari Berlin. Tipologi kedua pelabuhan ini hampir sama di mana bagian utama kegiatan bongkar muat (loading dock) berada di perairan lepas.
Namun sayangnya pada kasus Patimban sawah produktif mengalami tekanan oleh aktivitas jual beli lahan. Korporasi banyak masuk ke Patimban dan diduga peraturan yang dibuat belum bisa mengendalikan batas-batas persil lahan yang perlu dilindungi dan bisa diperjualbelikan. Bukan saja lahan pertanian produktif yang berganti fungsi akan tetapi masalah sosial lainnya muncul di mana penduduk dan pemilik lahan dirugikan oleh ganti rugi lahan untuk pembangunan akses jalan dan sarana pelengkap pelabuhan lainnya.
Kurang lebih 30% total luas lahan untuk Segitiga Rebana itu sudah berubah fungsi dan 30% dalam proses transaksi jual beli. Artinya dibeli oleh investor. Bisa dipastikan, lahannya akan berubah petaninya akan hilang. Di sisi lain Jawa Barat terutama Subang bagian utara menjadi tulang punggung pangan regional. Prediksi berdasarkan pendekatan analisis tata ruang yang kami lakukan, dalam waktu 20 tahun kedepan lahan pertanian ini akan habis. Jawa Barat tidak bisa lagi jadi salah satu dari lima besar penyuplai pangan untuk Jakarta dan Nasional.
Kasus ini buat Jerman menarik. Di Jerman mereka mengambil kasus dari negara-negara lain lalu mereka menjadikannya sebagai model inovasi solusi untuk menyelesaikan kasus-kasus sejenis terutama di negara-negara berkembang yang belum memiliki sistem land governance atau tata kelola lahan yang mapan dan masih kuatnya situasi politik yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Ini semua untuk mencapai sustainable development goal.
Saat ini kami di institute juga sedang mempersiapkan penelitian terkait alih fungsi kawasan pesisir Tanjung Benoa akibat tekanan investasi sektor pariwisata.
Apa metode penelitian yang Roni gunakan untuk mengungkap kasus peralihan fungsi lahan? Apa masalah yang Roni temukan?
Metode yang saya pakai itu LUCIS namanya Land Use Conflict Identification System. Sistem ini memungkinkan kita sebagai peneliti mengidentifikasi aktor-aktor dan pola perilaku terkait kepentingan mereka terhadap lahan.
Dari hasil penelitian saya selama empat tahun terhadap kasus-kasus alih fungsi lahan terutama dalam konteks tata kelola lahan yang belum mengintegrasikan status lahan beserta status kepemilikiannya, saya pun menemukan kerangka analisis yang tepat.
Kerangka analisis ini membahas tiga dimensi utama: tata ruang, struktur sosial masyarakat, dan aspek politik sebagai bagian dari proses pembuatan regulasi. Tiga aspek ini saya perdalam untuk dapat melihat detail siapa aktor-aktor dalam alih fungsi lahan. Saya petakan bagaimana posisi masing-masing aktor dan kepentingan atau kebutuhannya.
Contoh kasus dalam pembangunan Pelabuhan Patimban. Aktornya bisa farmer (petani), land owner (pemilik lahan), coastal communities (komunitas pesisir), private investor (Investor bisnis), dan government (pemerintah). Saya mewawancara semua aktor dan saya menemukan beragam kepentingan. Misalkan pemerintah punya kepentingan memberdayakan masyarakat lokal atau penciptaan lapangan kerja, investor punya kepentingan membangun bisnis dan menguasai lahan, petani dengan menjual tanah ingin mendapat keuntingan, komunitas pesisir punya kepentingan untuk mencari pekerjaan lain karena biaya melaut itu mahal.
Framework saya efektif dipakai untuk menganalisa konflik lahan terutama ketika ada kasus-kasus tekanan industri dan investasi. Jadi saya melakukan riset benar-benar bersentuhan dengan masyarakat pemilik lahan serta kelompok masyarakat terdampak langsung.
Sumber referensi utama yang saya pakai adalah masterplan tata ruang yakni Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat pemerintah daerah dari level Kabupaten serta Provinsi. Dalam kasus umum yang terjadi adalah tidak adanya zonasi untuk kegiatan industri pada sebuah kawasan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Tata Ruang. Namun pada kenyataannya ada industri yang masuk dan beroperasi dengan dukungan infrastruktur wilayah yang masih sangat minim. Ini memicu banyak permasalahan, bukan saja lingkungan, transportasi, dan tata ruang akan tetapi masalah sosial budaya di masyarakat lokal. Nah ada pelanggaran kan? Di sini pemerintah melanggar apa yang dibuatnya sendiri. Karena apa? Ada tekanan pasar. Saya melihat tekanan pasar atau market eviction itu menjadi faktor penting dalam pelanggaran tata ruang tidak hanya di Indonesia juga di negara lain yang saya teliti.
Ada Undang-Undang yang mendukung kawasan lahan pertanian berkelanjutan, contohnya UU 41 tahun 2009, namun kenapa masih ada sawah yang dijual? Karena penjabaran undang-undang terkait investasi disisi lain sulit disinkronisasi dengan undang-undang lahan pertanian berkelanjutan, ketika dibawa dalam konteks yang sangat kecil di level pedesaan. UU dan Perda hanya mengarahkan secara garis besar dan banyak inkonsistensi di tataran politik seperti kepala daerah hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam merespon permintaan investor dan mempertahankan hajat hidup petani di daerahnya. Pada akhirnya Akhirnya peraturan dibuat sangat rigid tapi dilaksanakan dengan sangat fleksibel.
Baca juga:Dari Purwokerto Ke Jerman Untuk Belajar Pertanian
Kajian kami tidak hanya di Indonesia juga terjadi di negara Asia dan Afrika menjelaskan kondisi dimana pasal pada regulasi mengalami modifikasi pada saat pergantian kepala daerah. Dalam studi terkait Sustainable Development Goal praktik ini disebut bypassing regulation by the decision makers, di mana aturan yang dibuat sendiri dilewati atau diabaikan oleh sistem kerja yang menjadi bagiannya.
Makin banyak investasi, makin banyak lahan yang dibutuhkan. Industri tidak hanya satu kegiatan tapi juga menyangkut aspek lain. Pelabuhan Patimban direncanakan dengan konektifitas lahan akses transportasi dari tol ke pelabuhan. Tolnya itu khusus ke pelabuhan. Bayangkan berapa ratus hektar tanah lagi yang akan terambil? Dan sekarang posisi tol yang berada di Utara Jabar merupakan bagian dari jalan tol transjawa yang diprioritaskan tersambung dengan kawasan industri yang terhubung ke wilayah-wilayah sawah produktif. Studi kami, jika nanti bagian tol Cikampek-Palimanan terkoneksi menuju Patimban akan ada sawah yang terambil. Dengan melihat skala kegiatan pelabuhan, anggap saja lebar badannya bisa 100 m dikali 20 km dengan sarana pendukungannya diperkirakan akan menimbun sawah-sawah produktif yang ada.
Masalah lain yang saya teliti adalah ketika tanah yang hendak dibangun tersebut adalah tanah garapan. Secara hukum pihak yang lemah yang akan menjadi korban. Tanah yang dimiliki petani dapat sewaktu-waktu dijual kepada korporasi dan pengembang. Pada kasus seperti ini akan banyak petani penggarap yang kehilangan mata pencaharian karena lahan-lahan garapan mereka telah berpindah kepemilikan. Turunan dari situasi ini adalah munculnya kelompok-kelompok pengangguran baru di tingkat desa. Ini dampak lain dari alih fungsi lahan pertanian dalam skala paling kecil.
Lahan pertanian yang selama ini menampung banyak tenaga kerja di tingkat desa perlu dicari substitusinya. Apabila kegiatan baru tidak sanggup menyerap tenaga kerja maka otomatis pengangguran muncul dan masalah yang timbul adalah kriminalitas tinggi di tingkat desa.
Observasi kami pada koridor kawasan industri seperti Karawang dan Bekasi menunjukan tingginya angka kriminalitas akibat beberapa korban pemutusan hubungan kerja yang tidak bisa direspon oleh pemerintah daerah. Lebih jauh adalah adanya migrasi orang dari luar mengubah struktur sosial masyarakat perdesaan. Ini juga menjadi potensi konflik sosial di masyarakat perdesaan.
Awalnya masyarakat pertanian kini menjadi masyarakat buruh. Ini kalau diurai pendekatan antropologi konflik sosialnya sangat tinggi. Premanisme tumbuh. Waktu lingkungannya petani, mereka guyub- kompetisinya rendah. Sekarang ada yang bangun usaha, indekos, minimarket, atau usaha lain. Kompetisi ini makin tinggi, ada perubahan struktur sosial.
Apa dengan kebijakan percetakan sawah baru bisa menangani konflik lahan?
Dalam teorinya memang ada, membuat kawasan pertanian baru sebagai kompensasi perubahan penggunaan lahan. Tapi apakah lahannya tersedia? Ketika ada alih fungsi lahan pertanian dan skemanya adalah percetakan sawah baru, lahan pertanian baru otomatis harus menyediakan infastruktur pengairannya, distribusinya, permukiman buruh, dan petaninya. Di Jawa Barat bagian utara model solusi seperti ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan lahan yang bisa dialokasikan sebagai cadangan lahan pertanian serta minimnya dukungan infastruktur pertanian. Solusi engineering seperti membangun dam dan jalur jaringan irigasi baru akan menyedot dana yang sangat besar.
Kasus penelitian yang saya lakukan di Jawa Barat bisa digunakan untuk melihat kondisi Indonesia secara umum mengingat Jawa Barat dengan kompleksitasnya bisa dilihat sebagai miniatur kondisi Indonesia apalagi Indonesia yang masih terus gencar menarik foreign direct investment (red. investasi langsung luar negeri) yang memerlukan dukungan infrastruktur besar.
Lantas apa solusi dari permasalahan alih fungsi pertanian ini?
Pertama, tata kelola pemerintahan dalam menata ruang harus terus diperbaiki. Pengambilan keputusan tata ruang sebaiknya melihat secara lebih detail status dan kepemilikan lahan sehingga upaya yang dilakukan pemerintah secara detail dapat diketahui masyarakat terdampak. Keputusan politik untuk tujuan investasi harus diimbangi dengan keputusan teknokratik dari ahli tanpa mengabaikan kajian bersifat akademis. Pengembang yang ingin berinvestasi tidak seharusnya memutuskan keinginan sendiri dalam menentukan lokasi tetapi melalui mekanisme pengarahan dari lembaga terkait yang memberi pertimbangan tepat dari kaidah aturan. Di situlah peran perencanaan dan perancangan kawasan harus disiapkan sejak awal oleh pemerintah daerah.
Kedua, penguatan norma aturan dan nilai serta penegakan hukum. Selama ini para penggarap lahan tidak dihargai- posisinya mereka marjinal. Perkuat nilai dan kesetaraan mereka. Selama ini ada pengabaian terhadap sosial status mereka, perankan mereka, ketika ada investasi dan mereka terkena dampaknya, ajak sejak awal. Jangan sampai ada petani yang sedang tenang-tenang menggarap, tiba-tiba lahannya diambil tanpa cukup waktu menyiapkan skenario lain untuk keberlangsungan hidup mereka.
Terakhir, pembuat aturan dan kita perlu konsisten terhadap aturan. Penting untuk membuat pembatasan daerah yang jelas mana daerah untuk investasi dalam skala desa serta desa mana yang tidak bisa untuk investasi, tidak semua wilayah desa dapat dijual kepada investor. Buatlah sejak awal peraturan dan delineasi ruang yang jelas berikut karakteristik industri yang bisa dilakukan di wilayah tersebut. Semakin tegas dan terukur sebuah aturan maka akan semakin memberi kejelasan bentuk investasi yang bisa dilakukan di sebuah wilayah.
Saya ambil contoh di Jerman jika ada pihak yang hendak investasi, katakanlah mau membangun pabrik Tesla di Brandeburg, mereka akan datang ke dewan kota dan dengan semua kelengkapan data yang terdapat dalam regulasi investor akan bertanya untuk hal-hal yang dianggap di luar syarat teknis yang perlu dipenuhi apabila ada kebutuhan yang sangat spesifik. Dewan kota akan mengundang investor untuk mendetailkan rencana bisnis. Lalu kedua pihak menindaklanjutnya dengan diskusi ilmiah dalam panel yang melibatkan kelompok akademis dan peneliti. Mekanisme tukar pikiran dan pandangan dari sisi bisnis dan tata ruang inilah yang lazim dilakukan sehingga permasalahan terkait tata ruang dan dampaknya dapat diperkecil sejak awal.
Berkebalikan dengan situasi di Indonesia, kelazimannya investor yang menentukan lokasi dengan mencari tanah murah untuk kemudian dibeli tanpa melibatkan pihak otoritas, terkait batasan dan karakteristik wilayah. Setelah akusisi ratusan hektar mereka seringkali belum memiliki izin apapun. Di sinilah titik paling kritis terjadi, akan ada peluang penyesuaian pada pasal-pasal regulasi serta akan ada proses negosiasi yang dimainkan pada level politis sehingga akhirnya arahan di level teknokratis dari pada urban planner menjadi sangat minim dan nyaris diabaikan.
Lalu seberapa besar dukungan pemerintah Jerman terhadap keberlangsungan pertanian dan petani?
Di Jerman petani sangat disokong pemerintah lewat skema kemudahan dan subsidi, baik bibit, pupuk, dan lainnya. Contohnya, dukungan logistik bagi hasil pertanian yang diberlakukan pemerintah Brandeburg bagi petani kentang agar bisa mencapai target produksi dan target pasar sangatlah besar.
Utamanya lagi, adalah bagaimana proteksi lahan pertanian dari gencarnya investasi energi tenaga surya yang masuk ke desa-desa diakomodasi dengan pemberian insentif dan segala kemudahan dan keringanan pajak bagi korporasi yang bersedia menanam modal di lokasi yang ditentukan. Ini adalah upaya pemerintah melalui keputusan kolektif dalam mencapai target investasi sekaligus menjaga keberlangsungan pertanian.
Sebagai salah satu peneliti alih fungsi lahan di calon Ibu kota baru Indonesia di Kalimantan, dari hasil kajian Roni bersama tim apakah sudah tepat memilih Kalimantan sebagai ibu kota baru dan dampak apa yang signifikan terasa dari pembangunan tersebut?
Saya masih melihat pilihan relokasi ke Kalimantan sebagai pertaruhan masa depan lingkungan Indonesia. Bukan semata-mata karena Kalimantan Timur adalah ‘paru-paru yang tersisa' di Indonesia, namun juga posisi ibu kota negara akan memberi kebangkitan pemanfaatan ruang yang sangat besar. Contoh kasus pemindahan ibukota di lima negara yang saya pelajari menunjukan tren seperti itu.
Kalau dari sisi saya sebagai peneliti kota dan kawasan, saya melihat Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara merupakan dua kabupaten baru di Kalimantan Timur. Keduanya memiliki tantangan tata ruang yang tidak terlalu besar untuk dibangun sebagai ibu kota dengan daya tampung 1-3 juta manusia mengingat ketersediaan lahan. Hutan serta perkebunan yang ada saat ini akan mengalami alih fungsi yang sangat ekstrem apabila pembangunan dilakukan menyeluruh pada ruang bawah permukaan, ruang di atas permukaan dan ruang udara menimbang kompleksnya fungsi ibu kota negara yang akan dibangun. Tetapi lebih dari aspek fisik yang paling mendapat tekanan besar adalah aspek sosial masyarakat sekitar yang umumnya petani peladang tradisional.
Biar bagaimana pun kalau selama ini skala kegiatan yang berlangsung hanya kegiatan yang sifatnya lokal dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Sebagai kabupaten kecil dengan adanya injeksi kegiatan dalam skala besar bahkan levelnya internasional akan mengubah tata ruang secara besar-besaran. Kebutuhan infrastruktur penunjang pemerintahan dan permukiman pegawai akan sangat kompleks. Namun ketika berbicara dampak pembangunan ibu kota negara pada lahan kosong yang paling sangat terdampak adalah kehidupan sosialnya warga asli di dua kabupaten tersebut. Ini berarti struktur sosial di sana akan sangat berubah. Dengan adanya kegiatan yang sangat modern memaksa mereka untuk beradaptasi. Mereka akan menjadi kelompok yang tidak bisa mengambil peran apabila tingkat pendidikan tidak ditingkatkan.
Selama ini mata pencaharian kebanyakan masyarakat merupakan penggarap lahan. Masalah sosial yang terjadi di Jakarta dan Jawa secara perlahan akan berpindah kesana dengan sendirinya seiring bertambahnya manusia yang bekerja di ibu kota negara. Satu sisi pembangunan infrastruktur, permukiman, dan kegiatan komersial yang menunjang kegiatan pemerintahan akan memutar ekonomi wilayah dalam jumlah yang sangat besar tetapi perlu rancangan yang keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan menjadi fokus utama ketimbang memenuhi kebutuhan fisik ruang-ruang baru perkantoran.
Belum lagi dari aspek pertanian, saat ini kondisi terkini di kedua Kabupaten tersebut berbasis pertanian tradisional dengan dukungan teknologi yang rendah, sawahnya tadah hujan, bukan sawah teknis seperti di Jawa. Perubahan sistem pertanian perlu disiapkan untuk menyiapkan diri sebagai pemasok pangan utama bagi jutaan manusia baru di ibu kota negara. Edukasi terhadap petani tradisional mutlak menjadi kebutuhan lain dalam program relokasi ibu kota negara ini yang kemudian diturunkan dalam kegiatan-kegiatan terarah lainnya.
Baca juga: Sederet Pekerjaan Rumah untuk Wujudkan Ibu Kota Hijau Cerdas
Melihat pola perubahan tata ruang yang terjadi di Brasilia Brasil, Putrajaya Malaysia, Canbera Australia, Tashkent Uzbekistan, serta Naypyitaw di Myanmar ada kondisi yang berbeda dengan apa yang ada di Kalimantan. Setting yang paling mendekati pemindahan ibu kota negara adalah Naypyitaw di Myanmar dimana kawasan yang digunakan berupa ladang dan perkebunan tradisonal masyarakat. Alih fungsi hutan dan perkebunan serta ladang akan terjadi. Opsi pencetakan areal pertanian baru amat memungkinkan, tetapi yang lebih utama adalah penyelesaian dampak sosial bagi masyarakat pedesaan yang perlu dilakukan melalui pendekatan komprehensif menggabungkan aspek pendidikan dan pekerjaan.
Persiapan pemerintah untuk mempersiapkan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara jadi ibukota baru adalah dengan fokus pada peningkatan level pendidikan masyarakat. Aspek lain yang menurut saya akan jauh mengalami tekanan adalah perubahan ruang sepanjang pesisir di dua kabupaten tersebut. Dengan karakteristik laut yang masih alami, ini tidak mungkin sejalan dengan penetapan ibu kota negara di dua kabupaten tersebut. Ini akan mendorong investor menguasai lahan-lahan strategis di sepanjang pesisir.
Untuk hal ini pemerintah pusat perlu segera membentuk badan otoritas yang memiliki kewenangan khusus mengatur tata ruang bersama dengan dua kepala daerah. Pembangunan pesisir pantai dalam skala masif dan merusak bentang alam di beberapa lokasi tujuan wisata yang sudah ada sebaiknya dijadikan referensi untuk keberhasilan membangun ibu kota baru yang lebih ramah lingkungan dengan visi kota seratus tahun Indonesia.
***Roni Susman bekerja di Grup Riset: Co-Design of Change and Innovation dengan
Bidang Riset Land Use and Governance pada Leibniz Center für Agrarlandschaft Forschung (ZALF) Muncheberg Brandenburg