1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Daripada Pindah Ibu Kota Baiknya Bangun Pusat Ekonomi Baru

2 Mei 2019

Dana dan waktu yang dihabiskan untuk membangun ibu kota baru hendaknya diperuntukkan membangun pusat ekonomi di beberapa daerah.

https://p.dw.com/p/3Hhc4
Jakarta Skyline Indonesien
Foto: Getty Images/B. Ismoyo

Keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa mengundang pro kontra. Banjir, macet dan tingginya arus urbanisasi merupakan yang menjadi alasan utama pemerintah memutuskan hal tersebut. Namun di sisi lain dana yang besar serta jangka waktu yang panjang juga menjadi pertanyaan berbagai pihak terhadap keputusan ini. DW berkesempatan mewawancarai pengamat tata kota Nirwono Joga mengenai polemik tersebut.

DW: Apa Jakarta sudah tidak sanggup jadi ibu kota?

Nirwono Joga: Secara teknis sebenarnya masih sanggup. Artinya kalau tiga alasan utama bahwa Jakarta itu banjir, macet dan urbanisasi, sebenarnya tiga-tiganya masih bisa dibenahi. Bahkan Wapres (wakil presiden/red) dan juga Pemprov DKI Jakarta sudah menyiapkan anggaran 571 triliun rupiah untuk pembenahan infrastruktur kota sampai dengan 2030. Yang antara lain untuk membenahi kemacetan dengan pembangunan transportasi massal dan juga menerapkan pengendalian banjir. Jadi jika itu yang dilakukan sebenarnya sampai dengan tahun 2030 sudah mulai terselesaikan masalah banjir dan macet. Dengan demikian jika hal itu menjadi alasan utama pemindahan ibu kota, hal tersebut menjadi tidak relevan. Sehingga jika itu dilakukan ya, artinya Jakarta masih bisa dibenahi ke depannya.

Indonesia Jakarta - Urbane Planung
Pengamat tata kota Nirwono Joga.Foto: Private

Apa saja kebutuhan negara dalam melakukan pemindahan ibu kota?

Ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan utama. Yang pertama tentu kita harus memikirkan program atau proses pemindahan ibu kota ini memakan biaya yang besar dan waktu yang lama. Dari soal waktu, bila kita membicarakan ibu kota yang kita harapkan nanti paling tidak kita membutuhkan waktu sekitar 20 tahun. Agar kota tersebut bisa dikatakan menjadi kota yang hidup. Ini tentu juga terkait dengan keputusan politik. Artinya dalam proses ini kan sebenarnya era pemerintahan yang sekarang ini paling tidak hanya lima tahun ke depan dan kemungkinan akan diganti dengan pemerintahan yang baru. Kalau kita lihat dari kecenderungan yang ada di Indonesia saat ini, setiap kali ganti pimpinan, ganti juga kebijakan.

Bila kita berbicara mulai dari era Sukarno dengan gagasan membangun ibu kota baru di Palangkaraya, di era Suharto juga ada wacana pemindahan ibu kota di sekitar Jakarta, di daerah Jonggol. Kemudian era SBY juga sempat memunculkan wacana tapi belum sempat menggagas langsung. Kemudian baru di era Jokowi wacana itu kembali muncul. Ini yang menunjukkan bahwa wacana memindahkan ibu kota itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus menjadi keputusan politik. Kalau ini dilakukan maka bisa dikatakan setelah nanti pergantian pimpinan, tidak ada jaminan pembangunan ibu kota tadi akan dilanjutkan.

Kemudian yang kedua adalah masalah pembiayaan. Tentu tidak akan elok bila pembiayaan ibu kota baru tadi kita mengandalkan dana dari luar atau dari pinjaman. Apa yang bisa dibanggakan bila sebuah ibu kota baru ternyata pembangunannya justru kita mendapatkan dana dan bantuan dari luar dan bukan sepenuhnya dana dari masyarakat Indonesia. Dengan pertimbangan itu kalau pun ada dana yang cukup, yang dikatakan berkisar antara 323 triliun hingga 466 triliun rupiah, akan lebih baik jika dana itu kita gunakan untuk mengembangkan kota-kota baik itu di luar Jabodetabek, artinya masih di jawa, atau pun pembangunan pusat-pusat ekonomi baru di luar jawa. Contoh dengan dana yang sama kita dapat mengmbangkan kota pendukung Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Sehingga ketimpangan Jakarta dengan Bodetabek itu bisa dikejar. Kemudian yang kedua kita bisa mengembangkan kota-kota penyumbang tebesar urbanisasi ke Jakarta.

Seperti Kota Bandung di Jawa Barat, Kota Semarang di Jawa Tengah, sampai dengan Kota Surabaya di Jawa Timur sebagai pusat-pusat ekonomi baru. Sehingga warga di ketiga provinsi itu merasakan tidak perlu lagi berurbanisasi ke Jakarta karena semua sudah ada di masing-masing provinsi.

Begitu juga dengan hal yang sama kita bisa memeratakan pembangunan di pulau-pulau besar di Indonesia. Contoh misalnya kalau kita bicara di Sumatera, kita bisa mengembangkan dari daerah atas ke bawah ini, di atas ada kota Medan, di tengah ada Kota Padang, di bawah ada Kota Palembang. Di Kalimantan kita juga bisa mengandalkan Kota Pontianak, Kota Balikpapan dan Kota Banjarmasin. Di Sulawesi dari daerah atas ke bawah kita ada kota Manado, Kota Kendari dan Kota Makasar yang juga potensial. Di Papua kita juga bisa genjot pembangunan di Kota Sorong, Jayapura dan Merauke. Ini yang justru akan memicu perkembangan ekonomi baru dan juga pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Itu yang harusnya kita kejar dalam waktu 10 sampai 20 tahun ke depan.  Ketimbang dengan dana yang besar tadi kita hanya membangun satu kota, di satu titik. Taruhlah umpamanya di Kalimantan, maka tidak akan terjadi pemerataan pembangunan, hanya terpusat di Kalimantan khususnya di daerah lokasi pembangunan ibu kota tadi.

Lantas apa motiv pemerintah memindahkan ibu kota?

Dari uraian Bappenas ada tiga poin yang menjadi alasan utama yaitu banjir, kemacetan lalu lintas dan urbanisasi yang dianggap sudah membebani kota Jakarta. Kalau kita lihat mundur sedikit kenapa wacana ini dibahas di Hari Senin (29/04) kemudian diputuskan, ini tidak bisa terlepas dari banijr yang kemarin sempat merendam beberapa wilayah di Jakarta mulai dari hari Jumat (26/04), Sabtu (27/04) dan Minggu (28/04). Kemudian pada rapat terbatas di Hari Senin muncul kembali wacana untuk memindahkan ibu kota. Karena kalau kita perhatikan rentang waktunya isu pemindahan ibu kota itu sering kali terjadi saat setelah Jakarta terdampak banjir. Waktu era SBY sebagai contoh, sempat ada wacana pemindahan ibu kota itu dikarenakan pada saat itu Monas dan Istana terendam banjir. Sehingga muncul wacana pemindahan ibu kota. Kalau demikian bukan banjir yang menjadi masalah tetapi Pemprov DKI Jakarta yang belum mengatasi banjir dengan optimal. Sehingga belum terlihat hasilnya dalam hal penanganan banjir. Menurut saya banjir, macet dan urbanisasi bukan jadi alasan urgensi untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta. yp/ap