Klaim ZEE Indonesia di Natuna Jangan Sekadar di Peta Saja
6 Januari 2020TNI Angkatan Laut terus menggelar operasi penguatan untuk menjaga kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah Laut Natuna Utara. Hal ini dilakukan menyikapi pelanggaran wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang dilakukan oleh Cina di wilayah tersebut.
Kadispen Koarmada I Letkol Laut Fajar Tri Rohadi mengatakan Kepada DW Indonesia, operasi ini diperkuat dengan 5 KRI berbagai jenis yang saat ini sedang menuju ke sektor operasi di Laut Natuna Utara.
"Kemungkinan dalam waktu dekat 5 KRI tersebut segera memperkuat unsur yang terlebih dahulu tergelar di lokasi," ujar Fajar kepada DW Indonesia, Senin (06/01).
Sebelumnya TNI AL telah menugaskan 3 unsur KRI yang saat ini sudah berada di wilayah Natuna Utara. Koarmada I juga menugaskan pesawat patroli maritim sebagai unsur pengintai.
Bukan untuk perang
Letkol (L) Fajar menegaskan, operasi penjagaan yang dilakukan di Laut Natuna Utara adalah operasi reguler untuk menjaga kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi Indonesia, bukan untuk perang.
Kadispen Koarmada I itu menjelaskan lebih lanjut, bahwa kapal milik pemerintah Cina yang melakukan pelanggaran wilayah ZEE Indonesia diusir secara persuasif tanpa merugikan kedua belah pihak. Sementara, kapal-kapal nelayan dari Cina yang melakukan pelanggaran hukum dengan menangkap ikan tanpa ijin dapat diproses hukum.
"Bagi kapal-kapal nelayan, apabila tidak mau diusir juga ya kita tangkap, kita tegakkan hukum disitu juga," ujar fajar.
Baca juga: 51 Kapal Asing Dimusnahkan Demi Memerangi Illegal Fishing
Posisi legal Indonesia lebih kuat
Dalam kesempatan terpisah Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana mengatakan Kepada DW Indonesia, bahwa klaim dari Cina atas ZEE di Natuna Utara didasari oleh Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang sudah ditetapkan sejak lama. Nine-Dash Line ini, melansir dari Kompas, adalah wilayah Laut Cina Selatan seluas 2 juta km persegi yang 90 persennya diklaim oleh Cina sebagai hak maritim historisnya.
"Pemerintah Cina atas dasar sembilan garis putus ini menentukan satu pulau, namanya Pulau Nansha. Pulau Nansha ketika ditarik keluar ada namanya sejenis Zona Ekonomi Ekslusif yang menjorok ke Natuna Utara kita," ujar Hikmahanto, Senin (06/10).
Hikmahanto menyebut klaim dari Cina sebagai klaim yang tidak berdasar. Nine-Dash Line yang ditetapkan Cina ia sebut diragukan karena alasan historis dan tidak sesuai dengan Konvensi Hukum laut di bawah PBB (UNCLOS).
"Sebenarnya dalam kasus Cina mengklaim bahwa dia punya Nine-Dash Line dan kemudian sejenis ZEE nya, itu dasarnya adalah sejarah zaman dahlu kala, bahwa nelayan-nelayan Cina dari dulu-dulu sekali melakukan pemancingan ikan di wilayah tersebut. Itu yang disebut sebagai traditional fishing ground oleh Cina sehingga mereka membuat garis itu," jelas Hikmahanto.
"Permasalahannya adalah apakah garis seperti itu, yang didasarkan pada sejarah zaman dulu kala dikenal di dalam UNCLOS? ternyata tidak," tambahnya.
Hikmahanto juga menyebutkan posisi Indonesia tidak hanya dilegalkan melalui UNCLOS, tapi juga dikuatkan oleh sebuah forum peradilan Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam kasus serupa, pengadilan ini pernah mengabulkan gugatan Filipina melawan klaim wilayah Laut Cina Selatan dari Cina yang memutuskan bahwa "Nine-dash line tidak dikenal dalam Konvensi Laut 1982".
"Atas dasar seperti ini sebenarnya posisi Indonesia lebih kuat karena kita tidak mengakui", terang Guru Besar Hukum Internasional UI tersebut.
Baca juga: Hendak Tangkap Kapal Ikan Asing, KRI Tjiptadi Ditabrak Kapal Vietnam
Masalah tidak berujung
Meski posisi Indonesia secara hukum lebih kuat, Hikmahanto menyebut bahwa klaim wilayah perairan di Natuna Utara oleh Cina masih akan terus terjadi. Motif ekonomi ditengarai menjadi penyebab mengapa Cina tetap kukuh dengan klaim wilayah perairan di Natuna Utara.
"Kita tahu Cina punya penduduk 1,3 miliar, karena itu pemerintahnya ini harus berpikir panjang bagaimana dia mendapatkan sumber daya alam itu. Itu sebabnya penentuan sembilan garis putus-putus ini sebenarnya merupakan upaya pemerintah Cina untuk mengamankan Sumber Daya Alam yang ada," ujar dia lebih lanjut
"Mereka mengklaim tidak hanya diatas peta tetapi juga dalam kenyataanya meminta nelayan-nelayan mereka untuk tetap mengeksploitasi bahkan membuat nelayan-nelayan ini secure atau tenang, makanya coast guard - coast guard mereka akan melindungi serta mengawal nelayannya," tambah Guru Besar Hukum Internasional UI itu.
Hikmahanto menjelaskan lebih jauh, bahwa masuknya kapal-kapal coast guard milik pemerintah Cina di wilayah ZEE Indonesia mungkin saja dilakukan untuk menguji kebijakan menteri baru di kabinet Presiden Jokowi. "Mereka mencoba siapa tahu ada perbedaan sikap dari pemerintah Indonesia tapi ternyata kan tidak," ujarnya.
Mengingat klaim oleh Cina sudah terjadi lama, Hikmahanto berpandangan polemik ini akan terus bergulir.
"Kalau misalnya bertentangan terus, sampai akhir zaman nanti pasti masalah seperti ini akan terus terjadi. Sekarang tinggal masing-masing negara berharap bahwa dengan adanya perubahan kepemimpinan, perubahan generasi, mereka akan mungkin saja tidak seketat seperti sebelumnya," terangnya.
Baca juga: Istana: Jokowi Tegas, Tak Ada Kompromi soal Natuna
Perlunya kehadiran fisik
Hikmahanto menegaskan, sama seperti pengakuan sepihak Cina, Indonesia juga perlu melakukan klaim ZEE di Natuna Utara tidak sebatas diatas peta saja, namun juga ditunjukkan dengan aktivitas fisik para nelayan di perairan Natuna Utara.
Selain itu, perusahaan-perusahaan yang sudah diberikan konsesi juga menurut Guru Besar Hukum Internasional UI itu, perlu segera melakukan eksploitasi terhadap minyak dan gas di wilayah perairan tersebut, dengan catatan mendapat perlindungan dari pemerintah RI.
"Kalau ada kapal-kapal bakamla, kapal-kapal KKP bahkan TNI AL dalam rangka penegakan hukum, kan mereka bisa melindungi nelayan-nelayan kita sehingga kita ini benar-benar secara efektif menguasai ZEE tersebut untuk kemudian dimanfaatkan untuk kesejahteraan Indonesia," pungkas Hikmahanto.
gtp/as (dari berbagai sumber)