Komunitas LGBT Pakistan Terdampak COVID-19
16 Mei 2021Pandemi virus corona telah membuat keberadaan komunitas LGBT+ di Pakistan menjadi semakin sulit. Sebelum pandemi, komunitas tersebut telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk penindasan sistemik, stigma sosial, dan larangan hukum terhadap tindakan homoseksual.
Pemerintah kolonial Inggris mengkriminalisasi hubungan seks sesama jenis di India pada tahun 1860, dan menetapkannya sebagai kejahatan yang dapat mengakibatkan hukuman penjara seumur hidup atau bahkan kematian dengan dirajam. Meskipun undang-undang ini jarang ditegakkan oleh pejabat, karena aktivitas gay dan queer sebagian besar tetap bersifat rahasia, mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai LGBT+, jarang mengungkapkannya kepada keluarga mereka.
Ketika ada anggota keluarga yang mengakui orientasi seksualnya, maka mereka menghadapi ancaman kekerasan dan kebencian. Inilah sebabnya mengapa sebagian besar LGBT+ di Pakistan memilih keluar dari rumah keluarga mereka, agar mendapat lebih banyak kebebasan untuk mengeksplorasi identitas dan seksualitas mereka. Namun, selama pandemi, kebebasan minoritas seksual ini semakin terancam.
Usman, 32, yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Abbottabad, sebuah kota di utara ibu kota, Islamabad, mengatakan kepada DW bahwa selama pandemi, dia hanya berhasil bertemu dengan pacar jarak jauhnya setiap tiga bulan sekali.
"Pacar saya berusia 25 tahun dan tinggal bersama keluarganya di Gujranwala, jadi dia tidak memiliki kebebasan yang sama untuk meninggalkan rumahnya," ungkapnya. "Dengan adanya penguncian dan pembatasan perjalanan, pertemuan kami menjadi lebih sulit."
Budaya 'hookup' dan kencan online
Meskipun Usman lebih suka monogami, dia dan pasangannya sepakat bahwa mereka bebas untuk mengeksplorasi hubungan fisik dengan pria lain, karena sifat hubungan jarak jauh mereka.
Pertemuan semacam itu sebagian besar difasilitasi oleh media sosial, grup online, dan aplikasi layanan kencan. Namun, karena pandemi, Usman mengatakan bahwa penggunaan aplikasi kencan dan kemungkinan untuk bertemu secara langsung berkurang drastis. "Pada awal COVID, orang pasti lebih takut daripada sekarang. Saya memiliki beberapa orang yang benar-benar meminta bukti tes negatif pada aplikasi kencan. Saya tidak memilikinya saat itu, jadinya saya berhenti,” katanya.
Selama bulan puasa Ramadan, Usman mengatakan banyak pria juga tidak melakukan hubungan badan secara kasual atau ‘hookups', karena banyak pria gay yang secara negatif menginternalisasi seksualitas mereka sebagai sesuatu yang memalukan atau salah. "Keluarga bahkan tidak mengakui atau memimpikan bahwa putranya bisa menjadi gay. Jika Anda selalu bersama seorang pria, dia hanya dianggap sebagai teman," katanya.
Meskipun Usman memiliki rencana masa depan untuk menjalani kehidupan di Eropa dengan pasangannya, pria gay lain di Pakistan menghadapi lebih banyak tantangan dalam menemukan cinta dan merasa bahwa mereka harus puas hanya sebatas berhubungan intim atau kencan.
Saad, 30, mengatakan kepada DW bahwa, sebagai seorang lajang, dia merasa bertemu orang dan pasangan yang berpikiran sama menjadi semakin sulit, terutama selama pandemi. "Banyak orang yang pindah ke kampung halaman, dan pertemuan pun lebih sedikit karena banyak lokasi yang ditutup atau diawasi ketat. Jadi risiko untuk ketahuan juga jauh lebih besar,” ujarnya.
Kencan online juga mengalami beberapa kemunduran. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan melarang penggunaan aplikasi layanan kencan seperti Tinder dan Grindr awal tahun lalu untuk mengekang "perilaku tidak Islami". Namun, kata Saad, ada aplikasi dan VPN yang kurang dikenal di mana pengguna masih dapat bertemu satu sama lain. Pengguna aplikasi kencan juga menemukan cara mengatasi pandemi dengan menawarkan lebih banyak transparansi tentang kesehatan mereka.
Saad mengatakan beberapa pengguna memperbarui status online mereka menjadi "COVID pulih" atau "divaksinasi" untuk melibatkan lebih banyak calon pasangan dengan cara yang aman dan bebas stres. "Saya baru saja divaksinasi, jadi saya juga berharap bisa mengubah status saya sekarang," kata Saad.
Kekerasan dalam rumah tangga meningkat
Aktivis khawatir bahwa meningkatnya keterasingan dan hambatan untuk bertemu orang-orang berdampak negatif terhadap kesehatan mental dalam komunitas LGBT+. Mani, seorang pembela hak asasi manusia berusia 36 tahun, mengidentifikasi dirinya sebagai seorang transgender. Organisasi bentukannya yang bernama HOPE telah melakukan beberapa studi tentang dampak COVID-19 di komunitasnya.
Dia mengatakan kepada DW bahwa lebih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga di antara pasangan gay dan transgender yang dilaporkan selama periode penguncian, karena tekanan finansial dan emosional menyebabkan konflik terjadi, terutama untuk perempuan transgender. "Beberapa transgender senang memiliki pacar yang maskulin karena dia bisa membuatnya merasa lebih feminim dan dicintai, tapi selama COVID, kami melihat banyak perempuan yang melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga,” katanya.
Komunitas LGBT + memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di Pakistan, serta ada juga laporan mengenai insiden menyakiti diri sendiri dan masalah kesehatan mental.
Mani mengatakan komunitas ini telah menstigmatisasi diri mereka sendiri dalam beberapa hal dengan memperkuat identitas seksual mereka sebagai tindakan pembangkangan.
"Seks adalah kebutuhan alami, dan, karena komunitas kami sangat terpinggirkan, kami berbicara tentang seks secara lebih terbuka di antara kami sendiri, yang telah menstereotipkan orang LGBT sebagai lebih seksual," katanya, menekankan bahwa stereotip hiperseksual ini juga menyebabkan hadirnya hambatan untuk menemukan relasi yang lebih stabil. (Ed.: ts/yp)