Penjara Menjadi Sarang Terorisme
9 Februari 2018Laporan tersebut adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh psikolog dari Universitas Indonesia, dengan pengawasan khusus dari para ahli. Dalam penelitian ditemukan fakta, sipir penjara kurang mampu untuk mengidentifikasi tahanan "berisiko tinggi" yang bisa merekrut orang lain menjadi jihadis. Masalahnya, akses informasi yang mereka terima sangat terbatas dan kurangnya pelatihan spesialis.
Aksi teror di Indonesia kerap dilakukan oleh nama-nama lama yang pernah mendapat gelar sebagai ‘narapidana kasus terorisme'. Contohnya adalah kejadian serangan teror di Thamrin pada 14 Januari 2016. Aksi bom bunuh diri yang diikuti baku tembak dikomandoi oleh Afif alias Sunakim, seorang residivis dengan vonis 7 tahun penjara akibat ikut dalam latihan milisi teroris di Jalin Jantho, Aceh, pada tahun 2010.
Kegagalan efek jera dan deradikalisasi
Aksi yang dilakukan oleh Afif disebabkan pengaruh ideologi Bahrun Naim dan Aman Abdurrahman. Keduanya adalah orang lama alias gembong dalam jaringan teror yang pernah berurusan dengan Densus 88 - saat mereka berdua masih mendekam dalam satu penjara.
Contoh lainnya, serangan bom bunuh diri pada tahun 2016 di Mapolresta Surakarta oleh Nur Rohman dan bom Gereja Oukimene, Samarinda, Kalimantan Timur dengan pelaku Juhanda, keduanya juga pemain lama terorisme.
Walau telah melalui masa penjara dan program deredikalisasi mereka tetap berkomitmen terhadap ideologi ekstremnya. Baik selama dan setelah mereka keluar dari penjara. Ironisnya lagi, para narapidana kasus terorisme ini menggunakan waktu mereka di penjara untuk membuat narapidana lain menjadi radikal, yang kemudian melakukan aksi teror.
Penelitian delapan bulan di empat penjara besar di Indonesia mengemukakan fakta, para sipir penjara yang memiliki hubungan dekat dengan narapidana tidak tahu bagaimana cara membatasi pengaruh napi berideologi ekstrem kepada napi lain yang dapat dipengaruhi dengan ajaran radikal. Hal tersebut diungkapkan koordinator penelitian Faisal Magrie saat merilis hasil penelitiannya Kamis (08/02/2018).
Kondisinya diperparah dengan koordinasi yang buruk antara instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah, yang memiliki program deradikalisasi yang stagnan dan tidak jelas. "Akibatnya, narapidana bingung dengan program, bosan, dan akhirnya menolak ikut," kata Faisal.
Kurangnya kontrol napi terorisme
"Kondisi lembaga pemasyarakatan alias lapas yang padat adalah faktor utama gagalnya program deradikalisasi", kata Bahrul Wijaksana, seorang Senior Program Manajer dari organisasi Search for Common Ground. Ia menyebutkan, saat ini seluruhnya 477 penjara di Indonesia yang dibangun untuk menampung 115.000 narapidana, diisi sekitar 254.000 tahanan dan napi.
Penjara di kota-kota besar, rata-rata empat sampai lima kali kelebihan kapasitas. Lapas Cipinang, Jakarta, yang dibangun untuk menahan 900 narapidana, memiliki hampir 4.000 tahanan. Sementara dari sisi kepegawaian, saat ini satu sipir bertugas mengawasi 55 napi. Ketidak seimbangan ini sangat menyulitkan pemantauan kegiatan napi secara ketat.
"Program deradikalisasi tidak akan efektif kecuali bila beberapa masalah ini dibahas dan dipecahkan, "kata Bahrul.
Penjara khusus dan penerimaan masyarakat
Namun, sebuah "grand design" untuk penanganan narapidana berisiko tinggi sedang diimplementasikan. Penjara isolasi "satu orang satu sel" yang terletak di Nusa Kambangan, sedang dalam pembangunan. "Panjara khusus ini akan mampu menahan 124 napi terorisme jika rampung tahun ini", kata pejabat Kementerian Hukum dan Ham RI Zainal Arifin.
Saat ini pemerintah sedang mempelajari siapa saja dari 276 terpindana terorisme yang harus diisolir. "Deradikalisasi adalah pekerjaan besar dan kita tidak bisa bekerja sendiri," kata Zainal. Ia menambahkan agar masyarakat tidak mengucilkan mantan napi teroris yang telah dibebaskan. Para mantan napi tersebut hendaknya dirangkul agar juga mudah mendapatkan pekerjaan dan tidak kembali radikal.
yp/as (ap, kumparan)