Penyesalan Atas Pelanggaran HAM Dinilai Aksesori Politik
17 Januari 2023Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai pengakuan dan penyesalan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu hanya sebagai pelengkap janji politik, mengesampingkan hal utama yaitu penegakan hukum terhadap pelakunya.
Presiden Jokowi pada minggu lalu mengakui dan menyatakan penyesalan atas pelanggaran HAM berat di masa lalu - pertama kalinya sejak menjabat pada 2014.
Ia menyebut 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu antara tahun 1965 hingga setelah tahun 2000, termasuk peristiwa 1965- 1966, kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Sebagai tindak lanjut, pada Senin (16/01) Jokowi mengadakan pertemuan dengan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027 di Istana Merdeka, Jakarta.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, dalam keterangan persnya mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut presiden dan Komnas HAM membahas sejumlah hal termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu, beserta penyelesaiannya baik secara yudisial maupun nonyudisial.
Hak korban juga harus dipenuhi
Pengakuan Presiden Jokowi merupakan salah satu rekomendasi tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk Agustus 2022 melalui Keputusan Presiden No.17/2022. Tim terdiri dari 12 orang pelaksana dan 6 menteri sebagai dewan pengarah yang ketuanya dijabat oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Sebelumnya Jokowi mengatakan dirinya sebagai kepala negara "mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat (tersebut)."
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban," ucap Jokowi.
Kepada DW Indonesia, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengapresiasi pengakuan Jokowi bahwa ada pelanggaran HAM berat masa lalu dengan membentuk PPHAM yang menghasilkan rekomendasi untuk pemulihan hak korban secara adil.
Anis Hidayah berharap, ke depan, tim penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dapat ditindaklanjuti secara memadai agar para korban yang sudah didata oleh tim mendapatkan hak-hak mereka.
"Kami juga mendorong presiden agar ada komitmen di bidang penegakan hukum agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki oleh Komnas HAM bisa ditindaklanjuti melalui proses hukum di pengadilan HAM," ujarnya kepada DW Indonesia.
Namun Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pengakuan adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru. Komnas HAM sejak 1999 sudah merekomendasikan itu bahkan tidak hanya sekadar pengakuan, melainkan permintaan maaf," ujar Rivanlee kepada DW Indonesia.
Tentu saja pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri. Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.
Rivanlee pun menilai pengakuan presiden soal pelanggaran HAM hanya pemanis politik. "Pengakuan, penyesalan, serta pernyataan Presiden Joko Widodo lainnya tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama," kata dia.
Janji pemberian hak dan pemulihan korban
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah akan melakukan pemberian hak dan pemulihan bagi para korban - bukan pelaku - seperti bantuan peningkatan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorial, penerbitan dokumen kependudukan, rehabilitasi medis dan psikis, perlindungan korban, pelatihan dan pembinaan wirausaha pertanian, peternakan.
"Ini khusus akan diprogramkan by name by address. Ini sudah dicatat, sehingga akan mendapatkan perlakuan khusus sehingga itu merupakan perhatian khusus dari negara kepada korban pelanggaran HAM berat, sementara pelaku menjadi urusan hukum dan dibicarakan lagi oleh Komnas HAM," ujar Mahfud di Istana, Senin (16/01).
Menurut Mahfud, tercatat ada 35 tersangka dari empat pelanggaran HAM yang terjadi sesudah tahun 2000 diadili namun ditolak semua oleh Mahkamah Agung. Empat kasus tersebut adalah pelanggaran HAM Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok dan terakhir, pengadilan negeri Makassar membebaskan anggota TNI Isak Settu dalam kasus penembakan warga sipil di Paniai, Papua.
"Semua tersangkanya dibebaskan karena tidak cukup bukti dikatakan pelanggaran HAM berat, bahwa itu kejahatan iya, tapi bukan pelanggaran ham berat karena itu berbeda. Kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti," ujar Mahfud MD.
Aktor pelanggar HAM perlu diungkap
Namun Ismail Hasani, Direktur Eksekutif Setara Institute, menganggap bahwa pengakuan presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu adalah bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya tahun 2014.
"Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM," kata Ismail dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (12/01).
Setara Institute juga menyesalkan tidak adanya pengungkapan kebenaran akan siapa aktor di balik 12 kasus tersebut. Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme nonyudisial.
"Mengambil jalur nonyudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," ujarnya. Ia khawatir bahwa keputusan politik presiden, yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan Jokowi pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Meski menghargai sikap Presiden Jokowi, ia mengatakan bahwa pengakuan tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia menyayangkan pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara mengabaikan pelanggaran lainnya seperti pelanggaran selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir.
"Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," kata Usman dalam pernyataan yang diterima DW Indonesia. (ae)