Perang ala Jokowi
27 Juni 2017Pada 17 Mei 2017 lalu, Presiden Joko "Jokowi” Widodo mencatatkan sejarah ketika untuk pertama kalinya menegaskan bahwa ia akan memerangi komunisme, PKI dan antek-anteknya yang ia sebut tak sesuai dengan konstitusi. "Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” katanya.
Pernyataan presiden ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang pro adalah mereka yang telah sejak lama berdiri bersama Jokowi dan mendukungnya untuk maju menjadi nomor orang satu di Indonesia. Kelompok lainnya adalah mereka yang diduga tak mengetahui latar belakanga TAP MPR tersebut keluar.
Namun di saat yang sama, Jokowi juga berperang melawan kelompok muslim konservatif. Kelompok ini kebetulan adalah lawan politiknya di kubu Prabowo Subianto. Prabowo berhasil menyatukan organisasi—partai Islam dan melakukan manuver politik yang cukup membuat masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua, anti Jokowi-pro Islam atau pro Jokowi-anti Islam.
Identitas baru?
Jelas, dualisme ini menyesatkan, karena itu kubu Jokowi segera merangkul kelompok-kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama. Jokowi melakukan kunjungan ke beberapa pesantren dan mengajak umat Islam untuk mencintai Indonesia yang plural, sebab kubu di kelompok Prabowo lebih dikenal dengan kelompok yang kerap merugikan kelompok minoritas, sebut saja Front Pembela Islam dan sikap partai Islam terhadap kaum syiah di Indonesia.
Tampaknya, Jokowi ingin membawa Indonesia ke sebuah identitas yang baru, yakni Indonesia yang moderat ultranasionalis dengan embel-embel Islam nusantara, tapi sayang posisi minoritas tak jelas di sini. Misal soal syiah, LGBT, dan kelompok kiri atau komunis. Jadi sebenarnya, kampanyenya juga tak bisa disebut mendukung pluralisme. Karena makna pluralisme itu bukan hanya mengakui enam agama di Indonesia, melainkan juga mereka yang menganut animisme, kejawen, syiah, ahmadiyah, dst.
Lalu apa sebenarnya yang mendasari Jokowi melakukan perang terhadap dua kelompok ini?
Perang terhadap komunisme
Jika kita amati, perang terhadap komunisme ini sebenarnya sudah lama dikampanyekan oleh militer tentunya. Kita bisa melihatnya dalam sebuah opini yang ditulis Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jendral Wuryanto yang berjudul "Komunis Bergerak Dalam Senyap”.
Dalam tulisannya Wuryanto menggunakan bahasa yang sangat akrab di telinga saat guru sejarah kita menuturkan tentang ‘pengkhianatan PKI' pada pemerintahan Indonesia, lewat pembunuhan tujuh jenderal. Wuryanto secara runut mengisahkan latar belakang dikeluarkannya aturan untuk membubarkan partai tersebut, yakni lewat ketetapan. Termasuk di dalamnya, ia mengatakan, bahwa ajaran Marxisme-Leninisme sebagai ideologi dan paham yang terlarang di tanah air.
Wacana tandingan terhadap klaim militer yang diwakili oleh tulisan Wuryanto ini sebenarnya telah dijawab oleh sebuah buku berjudul Putusan Final International People's Tribunal 1965 yang berlangsung di Den Haag. Dalam buku itu dijelaskan bahwa telah terjadi pembengkokan sejarah atas peristiwa pembunuhan tujuh jenderal itu, bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa PKI yang melakukannya, keterlibatan Gerakan Wanita Indonesia —yang disebut berafiliasi dengan PKI— juga tak terbukti setelah Profesor Saskia Wieringa berhasil menyajikan fakta tandingan hasil risetnya selama tiga dekade tentang organisasi ini, diperkuat dengan hasil riset John Roosa tentang palsunya berita mengenai penyiletan alat kelamin jenderal oleh organisasi perempuan paling progresif di tanah air ini.
Stigma PKI adalah pengkhianat negara yang ditekankan Wuryanto sejatinya juga telah berkali-kali dibantah lewat fakta sejarah. Sebab Indonesia sendiri pernah menganugerahi dua tokoh partai komunis sebagai pahlawan, sebut saja Tan Malaka Alimin Prawirodirdjo.
Stigma bahwa PKI itu ateis dan bertentangan dengan agama yang sering diwacanakan oleh Front Pembela Islam —teman dekat Prabowo— juga dapat mudah dibantah. Sebab sejarahwan Bonnie Triyana pernah menulis tentang kedekatan Sejarah Hubungan Partai Islam dan Komunis sebelum tragedi 1965.
Sikap partai politik selalu mendua, bisa jadi teman atau lawan, tergantung kondisi pemilu saat itu. Dan bantahan lainnya yaitu, bergabungnya beberapa haji ke PKI. Seperti Haji Misbach.
Gugurnya klaim militer ini sebelumnya telah diketahui oleh presiden sebelumnya Abdurrahman "Gus Dur” Wahid, oleh karena itu ia pernah bertemu anak pertama pimpinan PKI Dipa Nusantara Aditi, Ibarruri Aidit, untuk menyampaikan bahwa ia belum berhasil mencabut Tap MPR itu.
Satu barisan dengan militer
Sayangnya, Jokowi tampaknya tak ingin mengikuti jejak Gus Dur, ia lebih memilih satu barisan dengan militer. Pernyataannya mengenai gebuk PKI dan akan mengikuti konstitusi, menurut penulis, adalah satu pertanda saja. Masih bisa diperdebatkan.
Tapi yang tidak disadari oleh Jokowi adalah dampak dari pilihan politiknya. Tentu saja kelompok yang memperjuangkan pelurusan sejarah pembantaian massal 1965 akan sulit bergerak, karena mereka masih mendapat stigma sebagai antek-antek komunis, seperti IPT 65 dan anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Terbukti saat menggelar silaturahmi, YPKP dituduh menggelar diam-diam rapat pengurus PKI. Tuduhan yang konyol.
Ketua Setara Institute Hendardi telah memperingatkan tentang stigma PKI ini. "Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/5/2016).
Jokowi sendiri sebenarnya belum menunjukkan keberpihakan terhadap korban 65, meski Simposium tentang peristiwa 1965 telah diselenggarakan. Namun saat korban menunggu sikap Jokowi, ia malah mencabut semua naskah tentang 65 dalam pidato kemerdekaannya tahun lalu.
Perang terhadap Radikalisme
Perang lainnya adalah perang terhadap kelompok konservatif, intoleran, dan radikal. Jokowi sendiri sebenarnya kerap menjadi korban kampanye hitam mereka, seperti dituduh sebagai keturunan PKI. Jokowi memang bukan keturunan PKI, tapi kampanye ini telah menjadi senjata ampuh dalam setiap pemilihan umum di tanah air. Dia PKI, maka umat Islam tak boleh memilihnya.
Namun perang Jokowi terhadap kelompok ini sebenarnya bukan perang terhadap agama atau ulama yang diungkap oleh kubu seberang, Jokowi sedang berperang melawan narasi tandingan yang menyatakan bahwa pemerintahannya bertentangan dengan Islam. Isu anti Islam belakangan sangat santer dihembuskan, dan mirisnya kelompok yang melakukan ini disinyalir dekat juga dengan militer. Jelas, bahwa saat Jokowi ingin ‘menjalin hubungan baik' dengan militer, ia juga diserang lewat pihak-pihak ketiga, keempat, dst.
Tapi militer juga awalnya tak satu komando, munculnya Agus Widjojo di arena Simposium 65, menurut saya, mewakili kelompok militer merah, meski ujungnya ia hanya menginginkan rekonsiliasi. Sayangnya, ia terjegal karena militer saat ini sepertinya didominasi oleh kelompok militer hijau yang dekat dengan kelompok muslim konservatif.
Jadi jika diibaratkan, Jokowi seperti dijepit dua gajah saat ini. Satu kelompok militer yang mendesaknya untuk tetap mendukung konstitusi, dan dua kelompok konservatif muslim yang meragukan ke-Islamannya.
Jokowi ingin status quo?
Jadi, apakah Jokowi memang benar hanya ingin mengkampanyekan pluralisme dan bhineka tunggal ika? Dugaan saya tidak, Jokowi memerangi kelompok konservatif —yang tentu saja memiliki unsur radikal ini, walaupun mereka tak setuju disebut demikian— dan komunisme karena ingin mempertahankan stabilitas politik, sehingga ia bisa status quo.
Jika ia tidak melakukan ini, maka kelompok tertentu yang merasa tidak aman saat dia berkuasa, tak segan menggulingkannya. Demo 212 yang dibungkus dengan isu penistaan agama oleh Basuki ‘Ahok' Tjahaja Purnama adalah buktinya. Nyaris selangkah lagi ia akan digulingkan.
Tapi pilihan politik yang sulit ini harus diambil oleh Jokowi: Memerangi Komunisme dan Radikalisme, walaupun ia harus mengorbankan penyelesaian kasus 65. Tapi, penulis tak yakin, Jokowi membawa harapan baru untuk Indonesia dengan keputusan politiknya ini, laiknya Majalah Time memberikan dia gelar ‘The New Hope' sebab bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi harapan, jika ia hanya berpihak pada kelompok mayoritas saja? Tabik.
Penulis:
Febriana Firdaus adalah jurnalis lepas yang fokus pada investigasi. Ia menulis untuk publikasi dalam dan luar negeri. Ia juga relawan di IPT 65 dan Ingat 65.
@febrofirdaus
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.