Perang Gaza Ujian bagi Hubungan AS dan Israel
12 April 2024Di Washington, Partai Demokrat dan Republik sejak lama bersepakat dalam satu hal, yakni kesakralan hubungan Amerika Serikat dan Israel.
Meski selama beberapa dekade kebijakan Gedung Putih terombang-ambing antara kedua kutub ideologi, tapi komitmen terhadap Israel tidak berubah. Kedua partai terbesar di AS tetap berkeyakinan Israel tidak punya sekutu yang lebih dekat selain Amerika Serikat, dan bahwa keamanan Israel tidak dapat dinegosiasikan.
Sejak tahun 1948, Israel telah menerima hampir USD 300 miliar bantuan dari Amerika Serikat, yang sebagian besar untuk keperluan militer, menurut Dewan Hubungan Luar Negeri, CFR. Jumlah tersebut setara dengan dua kali lipat dana yang diberikan kepada negara penerima bantuan terbesar kedua, Mesir, yang berpenduduk 111 juta jiwa dibandingkan dengan Israel yang berpenduduk 9,5 juta jiwa.
"Hubungan AS-Israel adalah hal yang istimewa,” kata Chuck Freilich, mantan wakil penasehat keamanan nasional Israel yang sekarang mengajar di Universitas Columbia, New York dan Tel Aviv, kepada DW. "Tidak banyak preseden seperti ini.”
Freilich menilai, "nilai-nilai bersama” kepentingan strategis dan derasnya lobi, yang menjaga Israel tetap berada di bawah naungan Washington, adalah "pilar” dalam hubungan antara kedua negara, kata Freilich.
Komite Urusan Publik Israel-Amerika, AIPAC, misalnya, adalah salah satu kelompok lobi paling efektif di Washington. Organisasi bipartisan ini giat melobi lembaga eksekutif dan legislatif AS, terlepas dari musim politik yang sedang berlangsung.
Dari 'beban' jadi 'aset strategis'
Kegagalan mencegah terjadinya Holocaust atau pembantaian Yahudi di Jerman pada Perang Dunia II, AS dengan cepat mengakui kedaulatan Israel ketika kaum Zionis mendeklarasikan kemerdekaan pada Mei 1948 di Tel Aviv.
Sejak itu, Israel mempromosikan diri sebagai satu-satunya negara demokrasi liberal di Timur Tengah, dan membantu memproyeksikan kepentingan AS di wilayah yang tidak selalu bersahabat itu.
"Di masa lalu, Israel dianggap sebagai sebuah beban,” kata Freilich, karena konflik dengan negara-negara Arab berisiko meningkatkan eskalasi nuklir dengan Uni Soviet selama Perang Dingin.
"Tapi sejak tahun 90-an, Israel dipandang sebagai aset strategis oleh Pentagon.” Dengan lenyapnya Uni Soviet, Israel menjadi instrumen bagi AS untuk mengendalikan musuh-musuhnya yang lebih kecil, seperti Iran dan proksi non-negaranya. Komitmen tersebut memicu "kerja sama strategis terdekat dalam sejarah AS-Israel,” kata Freilich.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Usai serangan teror Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023, Amerika Serikat giat mengekspor senjata ke Israel, serta mengirim armada kapal induk ke Laut Tengah dan memveto resolusi gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB.
"Saya pikir, dukungan Biden sangat luar biasa dari sudut pandang Israel,” kata Freilich. Karena meski bersilang ideologi, Biden tetap melangkahi jurang politik dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu demi keamanan Israel.
Jatuhnya korban sipil paksakan koreksi
Selama hampir enam bulan, operasi militer Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 33.000 warga Palestina. Tingginya angka korban sipil perlahan memupuk tekanan global, yang turut menggerakkan perubahan di Washington.
Karena setelah awalnya mendukung perang yang dilancarkan Israel, Presiden Biden kini mulai berusaha menjaga jarak. Dia meminta masyarakat dunia untuk tidak menyamakan antara "pemerintah dengan rakyat Israel,” seperti yang baru-baru ini dikatakan Wakil Presiden Kamala Harris kepada stasiun televisi AS, CBS.
"Ungkapan itulah yang Anda ucapkan tentang sebuah republik pisang,” kata Freilich, yang mengaku khawatir dengan perubahan sikap di Gedung Putih.
"Jika Netanyahu tidak segera mengubah kebijakannya, jika Israel tidak segera memiliki pemerintahan baru, maka dampaknya terhadap relasi kedua negara akan berjangka panjang,” ujarnya.
Bagi sebagian pengamat hubungan AS-Israel, tekanan dari Washington datang terlambat. "Perubahannya terjadi sangat lambat, dimana peringatan AS beralih dari lampu hijau ke lampu kuning dan sekarang lampu oranye,” kata Ian Lustick, seorang analis Israel dan profesor ilmu politik di Universitas Pennsylvania, kepada DW.
"Lampu oranye" mengacu pada sikap abstain Amerika baru-baru ini dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, yang meloloskan resolusi berisi seruan gencatan senjata di Jalur Gaza. Dalam pencoblosan sebelumnya, AS acap memveto resolusi DK PBB demi melindungi Israel. Sikap abstain direspons oleh Netanyahu dengan membatalkan kunjungan delegasi Israel di AS.
Silang ideologi dua sekutu
Selama beberapa dekade terakhir, politik Israel semakin bergeser ke kanan, yang ditandai dengan naiknya kelompok ekstremis agama ke panggung kekuasaan. Menguatnya ultrakonservatisme terutama terjadi di era pemerintahan Netanyahu.
Namun, upaya pemerintah Israel menormalisasi pendudukan dan memperkuat kontrol atas warga Palestina, misalnya, menjadi duri yang memancing perselisihan dengan pemerintahan Partai Demokrat di Washington.
Netanyahu dan Biden juga bersebrangan dalam berbagai isu penting seperti konfrontasi melawan Iran, permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat Yordan dan pembentukan negara Palestina.
Pernyataan publik yang dibuat Biden terhadap Israel merupakan cerminan dari posisi AS yang dinamis. Di satu sisi, Biden memosisikan diri sebagai seorang "Zionis,” dan menegaskan peran Israel sebagai jaminan keselamatan kaum Yahudi di seluruh dunia. Namun bagi Lustick, logika tersebut menjadi usang sejak perang di Gaza.
"Justru sebaliknya, Israel kini membahayakan kaum Yahudi di seluruh dunia,” kata dia. "Meningkatnya antisemitisme berhubungan langsung dengan kebijakan Israel saat ini.”
"Terutama ketika Israel mengklaim sebagai negara Yahudi, seakan kebijakannya mewakili semua orang Yahudi, perkembangan ini adalah ancaman yang mengerikan."
Perubahan pada generasi muda
Pemerintah AS belakangan semakin gerah melihat besarnya jumlah korban sipil di Gaza. Terutama, ketika opini publik yang berkembang kian antipati terhadap Israel, tekanan politik akan memaksakan koreksi dalam relasi antara kedua negara.
Jajak pendapat menunjukkan adanya kesenjangan besar antara pemilih tua, yang masih mengenal tercapainya Perjanjian Oslo dan meyakini Solusi Dua Negara, dengan pemilih muda yang hanya mengenal Israel di era Netanyahu, ketika negara memanfaatkann keunggulan militer untuk menghindari penyelesaian politik dengan Palestina.
Menurut Lustick, dukungan bagi Israel juga merosot di kalangan Yahudi-Amerika. Mereka yang berpandangan sekuler dan liberal merasa semakin terasingkan dengan kebijakan pemerintah Israel.
Perpecahan ini tidak hanya menimbulkan implikasi budaya tetapi juga keamanan nasional. "Dalam jangka panjang, nilai progresif yang dianut oleh generasi muda akan semakin kuat di Amerika Serikat,” kata dia. "Dan Israel akan terus menabrak nilai-nilai tersebut, kata Lustick.
rzn/hp