1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAfrika

Perang Tigray Picu Ketakutan di Negara-negara Tetangga

9 November 2021

Ketika perang saudara Tigray dan Etiopia yang telah berlangsung selama setahun kian memanas, negara tetangga seperti Kenya dan Sudan Selatan memperketat keamanan perbatasan.

https://p.dw.com/p/42kmF
Pasukan militer Etiopia (tampak dalam gambar) telah berperang melawan pemberontak Tigray sejak November 2020
Pasukan militer Etiopia (tampak dalam gambar) telah berperang melawan pemberontak Tigray sejak November 2020Foto: AMANUEL SILESHI/AFP/Getty Images

Pemerintah Kenya mengumumkan pengetatan keamanan di perbatasan utara sepanjang 800 kilometer dengan Etiopia.

Pihak kepolisian juga telah memasang blokade jalan tambahan sebagai upaya memantau pergerakan orang asing dan senjata api yang mungkin memasuki Kenya secara ilegal.

Masyarakat lokal dan pemerintah khawatir akan masuknya pengungsi Etiopia yang mencoba keluar dari negara itu karena perang yang berkecamuk di wilayah Tigray utara dan meluas ke wilayah lain di Etiopia. Kelompok Tigrayan dan sekutu mereka juga dilaporkan semakin dekat ke ibu kota Addis Ababa.

Kenya utara sudah menjadi rumah bagi kamp-kamp pengungsi yakni kamp Kakuma di barat laut dan Dadaab di timur laut. Kamp tersebut adalah salah satu pemukiman pengungsi terbesar di dunia.

Selama beberapa tahun terakhir, para pejabat Kenya berusaha keras agar kamp-kamp itu benar-benar ditutup pada pertengahan 2022 mendatang — sebuah rencana yang dapat dibatalkan oleh para pengungsi baru dari Etiopia.

Layanan kepolisian Kenya pun telah memperingatkan warga untuk melaporkan kasus orang tidak berdokumen dan imigran yang tidak diproses di negara itu.

Pengungsi Etiopia dan barang bawaan mereka di kamp Um Rakuba, Sudan
Sebagian besar pengungsi Etiopia sejauh ini melarikan diri ke utara melewati perbatasan ke SudanFoto: Omer Erdem/AA/picture alliance

Kenya Utara di bawah tekanan

"Ada kemungkinan ratusan ribu, jika tidak jutaan pengungsi, berbondong-bondong ke Kenya," ujar direktur Institut Studi Strategis yang berbasis di Nairobi, Hassan Khannenje, kepada DW.

"Ini akan membebankan biaya besar kepada Kenya," katanya seraya menambahkan bahwa hal itu dapat memicu situasi kemanusiaan yang tidak siap dihadapi Kenya.

Banyaknya jumlah pengungsi di kawasan Kenya utara itu telah menekan sumber daya di sana, dan memicu ketegangan dengan masyarakat lokal.

Dua juta orang saat ini menghadapi kerawanan pangan di utara Kenya. PBB menggambarkan situasi di sana cukup parah ditambah dengan kekeringan yang terjadi.

Perdagangan antara Kenya dan Etiopia juga mengalami penurunan karena konflik Tigray. Awal tahun ini kedua negara mendirikan Moyale Ones Stop Border Post, sebuah area perdagangan bebas untuk mempermudah urusan bisnis lintas batas.

Presiden Kenya Uhuru Kenyatta pekan lalu meminta dihentikannya perang antara pasukan Perdana Menteri Abiy Ahmed dan orang-orang dari Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).

"Saudara dan saudari pemerintah Etiopia, yang dipimpin oleh saudara saya yang terkasih, Abiy Ahmed, serta saudara dan saudari yang merupakan kepemimpinan yang memerangi pemerintah harus menemukan alasan untuk segera menghentikan konflik dan berbicara," demikian kata Presiden Kenyatta dalam sebuah pernyataan yang dirilis Rabu (03/11) pekan lalu.

Kesepakatan damai Sudan Selatan terancam

Konflik di Etiopia tampaknya secara tidak langsung telah melemahkan pelaksanaan kesepakatan damai di negara tetangga, Sudan Selatan.

Etiopia, dalam beberapa tahun terakhir, telah memainkan peran mediasi antara faksi-faksi saingan Presiden Salva Kiir dan mantan pemimpin oposisi Riek Machar.

Dua kesepakatan perdamaian utama Sudan Selatan, yang ditandatangani pada tahun 2015 dan 2018, keduanya dinegosiasikan di Etiopia.

Presiden Sudan Selatan Salva Kiir memegang salinan perjanjian damai yang ditandatangani
Presiden Sudan Selatan Salva Kiir memegang salinan perjanjian damai yang ditandatanganiFoto: Reuters/S. Bol

Selain itu, masyarakat internasional mengalihkan lebih banyak waktu dan energi untuk Etiopia, kata analis politik Boboya James dari Institut Kebijakan dan Penelitian Sosial yang berbasis di Juba, Sudan Selatan.

"Biasanya masyarakat internasional mendesak pemerintah Sudan Selatan untuk sepenuhnya menerapkan perjanjian damai, tetapi sekarang tampaknya perhatian mereka telah dialihkan untuk menyelesaikan konflik di Etiopia," kata James kepada DW.

"Anda dapat melihat Amerika sekarang menghabiskan banyak waktu untuk meminta dua faksi di Etiopia untuk berdialog dan mewujudkan perdamaian," lanjutnya.

James khawatir bahwa proses perdamaian Sudan Selatan bisa menjadi lebih sulit dipahami saat perang Etiopia semakin berlarut-larut.

Ketidakpastian untuk masyarakat Sudan Selatan di Etiopia

Ratusan ribu orang yang melarikan diri dari perang Sudan Selatan telah mengungsi ke wilayah Gambela di Etiopia di perbatasan barat Sudan dengan Etiopia.

Penduduk lokal yang tinggal di kedua sisi perbatasan memiliki afinitas budaya yang besar dan ada arus barang yang cepat melintasi perbatasan di sana, terutama dari Etiopia ke Sudan Selatan.

"Mayoritas orang Sudan Selatan di perbatasan mendapatkan makanan dari Etiopia," jelas James.

Jadi jika perang Etiopia berlanjut, "itu pasti akan membawa destabilisasi ekonomi ke perbatasan antara Sudan Selatan dan Etiopia," katanya.

Upaya diplomatik

Presiden Uganda Yoweri Museveni mengadakan pertemuan puncak luar biasa dari Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan, yang dikenal sebagai IGAD, di Kampala pada 16 November mendatang.

Etiopia sendiri adalah anggota dari blok delapan anggota yang juga mencakup Kenya, Uganda, Sudan, Sudan Selatan, Somalia, dan Djibouti.

IGAD, yang membantu menengahi kesepakatan damai Sudan Selatan, mengharapkan peran serupa perihal Etiopia.

Sementara itu, upaya diplomatik juga sedang berlangsung untuk mencoba menyelesaikan perang di Etiopia. Utusan AS dan Uni Afrika telah mengadakan pembicaraan mendesak di Etiopia untuk mencari kemungkinan gencatan senjata.

Wakil Sekretaris PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Martin Griffiths, dilaporkan mengunjungi wilayah Tigray pada hari Minggu (07/11). Dalam kunjungannya, Griffiths meminta akses yang lebih besar untuk bantuan kepada warga sipil.

PBB memperingatkan bahwa sekitar 7 juta orang di Etiopia, termasuk 5 juta orang di Tigray, terancam menghadapi kelaparan akibat perang.

(Ed: rap/ae)