Perempuan Amerika Selatan dan Pengadaan Air
22 Maret 2008Hak untuk memperoleh air, dikatakan sebagai hak azasi manusia. Dengan menandatangani kesepakatan ekonomi, sosial dan budaya, sebanyak 147 negara sebenarnya telah mewajibkan diri untuk menjamin tersedianya air bersih bagi warganya. Tetapi di banyak negara di belahan selatan bumi, hak untuk memperoleh air masih harus diperjuangkan dengan gigih. Korupsi dan pengaruh kuat perusahaan-perusahaan multinasional di sektor penyediaan air, terutama paling dirasakan oleh kaum perempuan.
Kadang-kadang keran tidak mengeluarkan air setetes pun, hanya angin saja. Demikian tutur Roxana Deras asal El Salvador dalam sebuah pertemuan di kota Berlin. Artinya, dengan menjinjing ember atau jeriken, kaum perempuan kemudian harus pergi ke keran air umum mengambil tiap liter air yang diperlukan. Atau, dia membeli air dalam botol plastik di toko. Roxana Deras merasa jengkel, karena yang menjadi korban dari masalah-masalah yang dihadapi dalam bidang penyediaan air, selalu adalah perempuan. Sebab dalam keluarga, perempuanlah yang harus masak dan memperhatikan kebersihan air. Kalau dia lalai, anak-anak akan jatuh sakit.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan di Berlin oleh berbagai serikat pekerja dan organisasi HAM, para aktifis membahas pengalaman terkait dampak dari komersialisasi penyediaan air. Cadangan atau sumber air secara umum tidak dapat dikatakan kurang, hanya pembagiannya sajalah yang tidak merata. Demikian pendapat Christine Bauhardt dari Universitas Humboldt di Berlin. Menurutnya:
"Harus diperhatikan, bahwa di sektor pertanian terdapat kebutuhan yang sangat berbeda. Pertanian substansial atau kecil, yang hanya memenuhi kebutuhan pasar lokal atau regional, dimana perempuan seringnya berfungsi sebagai orang yang berproduksi dan penjual. Kebutuhan air disini jauh berbeda dengan industri pertanian berskala besar. Pertanian merupakan sektor yang kebutuhan airnya paling banyak. 70 persen pencemaran air disebabkan oleh pertanian, terutama industri pertanian."
Karena industri pertanian dinomor-satukan, maka air yang tersedia bagi kaum perempuan yang bergerak di bidang pertanian menjadi semakin sedikit. Untungnya program pengembangan PBB kini juga menyadari dan membahas, bahwa kebijakan seperti yang disebutkan tadi dan kepentingan ekonomi, telah mengakibatkan kekurangan air di banyak wilayah. Berbagai serikat pekerja, organisasi masyarakat dan organisasi HAM sejak beberapa tahun belakangan ini berupaya keras agar pengaruh perusahaan-perusahaan air multinasional dalam soal pembagian sumber air, terus dikurangi.
Yang menjadi terkenal adalah misalnya perang air di Provinsi Cochamba, Bolivia, dimana penduduk berhasil berjuang melawan kenaikan harga air. Demikian pula serikat-serikat pekerja di Uruguay menentang pengobralan air. Lourdes Martinez adalah seorang aktifis perempuan di negara itu, yang mendatangi tiap rumah untuk memberikan informasi dan mengumpulkan tanda-tangan. Dikatakannya:
"Di daerah Maldonado misalnya, penyediaan air diswastakan. Uang yang diperoleh perusahaan, yaitu ribuan dollar, tidak lagi digunakan untuk memberikan subsidi guna memenuhi kebutuhan daerah-daerah yang lebih miskin. Sebelumnya, pemasukan uang dari penyediaan air dibagi rata ke seluruh negeri. Oleh sebab itu kami sangat lega, bahwa kami berhasil membatalkan swastanisasi penyediaan air. Pemerintah menarik kembali lisensi bagi perusahaan multinasional itu."
Di El Salvador sejak enam tahun serikat pekerja memobilisasi masyarakat menentang rencana pemerintah untuk menyerahkan penyediaan air ke tangan perusahaan swasta. Menurut Roxana Deras, aktifis serikat pekerja, di El Salvador sebenarnya air cukup banyak. Tetapi hampir semua sungai tercemar, terutama karena pabrik-pabrik tekstil, dimana para perempuan bekerja keras dengan upah rendah, membuang limbah airnya ke sungai tanpa dijernihkan terlebih dulu.
Roxana Deras menggugat perusahaan air negara yang membiarkan kondisi buruk instalasi-instalasi penjernihan air, padahal perusahaan-perusahaan pengelola penyediaan air minum yang mahal harganya itu, memperoleh pemasukan yang sangat besar. Kata Roxana Deras:
"Tidak semua orang mampu membeli air. Terutama orang-orang di pedesaan tidak dapat membayar pemasangan saluran jaringan air. Upah mereka berkisar pada 158 Dollar per bulan, tetapi untuk mendapat sambungan air mereka harus membayar 300 Dollar. Nah, siapa yang tidak dapat membayar, harus mengambil air dari sumur atau dari sungai. Walaupun tiap orang tahu, bahwa airnya tercemar. Mereka yang miskin itu dapat berbuat apa?"
Para aktifis dari Amerika Latin punya sasaran yang jelas. Mereka ingin dapat memobilisasi rekan-rekan perempuan mereka di Jerman untuk menentang komersialisasi air. Mereka berpendapat UE merupakan pemacu privatisasi penyediaan air. Masalahnya perusahaan-perusahaan air besar di dunia, seperti Suez atau Veolia, berkedudukan di Eropa. Selain itu UE juga lah yang menuntut dibukanya pasaran air setempat. Oleh sebab itu para aktifis perempuan pada serikat-serikat pekerja asal Jerman dan Amerika Latin bersama-sama mengimbau pemerintah Jerman agar lebih memperjuangkan HAM untuk memperoleh air dan berpaling dari kebijakan liberalisasi pasaran air. Juga, sampai ke tingkat UE. (dgl)