Perempuan Diimbau Aktif Redakan Kebencian Lewat Dialog
13 November 2020Dialog menutup pintu kebencian, begitulah salah satu kesimpulan akhir yang dibahas selama konferensi virtual Religions for Peace di Lindau, Jerman. Perjumpaan virtual antara lebih dari 1.500 peserta dari berbagai agama dan keyakinan itu menitikberatkan pada peran perempuan sebagai agen perdamaian.
“Keyakinan menjembatani umat beragama untuk mencari persamaan,” kata Sekretaris Jendral Religions for Peace, Azza Karam. Perempuan, menurutnya, memiliki posisi yang unik untuk mengkampanyekan budaya antidiskriminasi dan meredam kebencian atas nama agama.
“Karena justru suara-suara perempuan lintas agamalah yang mampu menciptakan dampak baru dan signifikan di dalam lingkup diplomasi, yang di masa ini sangat dibutuhkan,” imbuhnya.
Salah satu sesi pecahan dalam konferensi menyimpulkan, diplomasi saat ini diyakini tidak lagi hanya menjadi monopoli negara. Tokoh agama dan masyarakat juga bisa dilibatkan untuk menyukseskan misi diplomasi damai.
Konferensi ini dibuat untuk mencari pendekatan baru agar menjamin terjalinnya dialog, bahkan di tengah arus kebencian yang memperlebar jurang permusuhan. Dalam berbagai forum diskusi, workshop dan presentasi atau pembicaraan dua mata, para peserta yang berasal dari seluruh dunia bertukar ide dan gagasan mendefinisikan peran perempuan.
Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, menilai setidaknya ada empat aspek yang bisa menopang partisipasi perempuan untuk memajukan diplomasi antaragama, yakni kesehatan, pendidikan, partisipasi ekonomi dan penguatan perempuan di bidang politik.
Kegagalan dialog picu tindak kekerasan
“Di Indonesia misalnya, Ketua DPR saat ini adalah wanita. 20,5% anggota parlemen diisi wanita. Kita juga pernah punya presiden wanita, yang saat ini juga menjadi ketua umum salah satu partai politik terbesar di tanah air. Di kabinet, sekitar 14% menteri adalah wanita. Di bidang ekonomi, khususnya di bidang ekonomi digital, 80% pelakunya adalah wanita,“ kata dia.
Oegroseno menyebutkan kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menyimpan keragaman yang kompleks. Agama tidak sendirian menjadi pembeda, melainkan juga tingkat ekonomi, sosial dan politik.
Sebab itu pula kawasan ini rentan konflik antaretnis, atau gejolak politik di tingkat nasional. Sebab itu pula resolusi konflik dan mekanisme perdamaian menjadi isu yang relevan. Menurutnya pendekatan melalui dialog antaragama merupakan salah satu elemen yang sangat penting untuk tercapainya resolusi konflik di kawasan.
Adapun Emina Frljak, Koordinator Youth for Peace di Bosnia dan Herzegovina, mewanti-wanti bahwa kegagalan dialog akan meningkatkan eskalasi kekerasan. “Kita hidup di dunia yang terpecah-pecah, di dunia di mana kekerasan terus meningkat, di mana konflik kian merebak,” kata dia.
“Jika seseorang melakukan tindak kekerasan atas nama Islam, maka umat muslim yang sebanyak 1,6 miliar di seluruh dunia tidak bisa disalahkan atas tindakan tersebut. Tapi jika kekerasan terjadi, kita sebagai komunitas multiagama harus bersuara bersama dan mengatakan, ini bukan agama kami.”
Dalam hal ini, agama bisa membuka pintu bagi terciptanya dialog damai, kata Yenny Wahid, Direktur Wahid Institute. Menurutnya agama memiliki keterikatan emosional sangat erat dalam masyarakat. Saat ini sekitar 80% penduduk dunia merupakan pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda-beda.
“Karena kita yakin, semua agama mengajarkan perdamaian kepada umatnya,” tutur Yenny.
rzn/vlz