Perempuan Hamil Protes Erdogan di Turki
29 Juli 2013Di antara para demonstan terlihat perempuan-perempuan langsing dan para lelaki, yang mengikatkan balon di bawah blus atau kemeja mereka. Aksi para perempuan hamil ini memrotes ucapan Ömer Tugrul Inancer, seorang pengacara dan ulama yang di televisi nasional TRT menuntut kaum perempuan hamil untuk tingal di rumah. Dikatakannya, tidak pantas bagi seorang perempuan hamil untuk keluar rumah dan menunjukkan diri di ruang publik.
Protes kaum ibu hamil itu mendapat dukungan dari dewan keagamaan di Turki. Otoritas tertinggi Islam itu menyangkal pernyataan Inances dan menekankan bahwa Islam tidak mengisolasi kaum perempuan. Ditekankannya, bahwa menjadi ibu merupakan sebuah kehormatan.
"Erdogan lebih parah dari pendahulunya "
Meski begitu, luapan amarah para perepuan Turki tidak mereda. Beyhan Güngör, yang berusia 57-tahun tidak mau tubuhnya diatur oleh pemerintah. Ibu itu mengatakan: "Pemerintah AKP lebih dari yang lainnya telah lebih 10 tahun menekan kami perempuan. Hampir seluruh kehidupan kami ingin diaturnya. Selalu saja ditekankan, bahwa perempuan seharusnya tinggal di rumah dan mengurus anak, melahirkan sedikitnya tiga anak. Begitu dikatakan Recep Tayyip Erdogan", ungkap Güngör kepada Deutsche Welle.
Para demonstran yang menyebut dirinya "feminis“ itu telah mengalami beberapa pemerintahan di Turki. Namun menurut mereka, setelah Erdogan mulai memerintah di tahun 2003 keadaannya memburuk. Erdogan lebih parah dari serangkaian pendahulunya. "Karena ia memiliki latar belakan Islam, ia berusaha mendesakkan pandangan Islamnya kepada masyarakat, yang membatasi kebebasan perempuan."
"Tekanan dari segala sisi "
Aksi protes para perempuan hamil berlangsung akhir pekan lalu di depan gedung televisi nasional di Izmir. Kota ketiga terbesar di Turki ini terhitung sangat modern dan progresif. "Di sini kami tampak lebih bebas. Bisa mengenakan celana atau rok pendek, tapi dari setiap sisi selalu ada desakan untuk menikah,“ keluh Günes Akcay, jurubicara partai Hijau Izmir yang berusia 32 tahun.
Karin Ronge, aktivis perempuan Jerman menilai situasi perempuan di Turki, lebih baik daripada di banyak negara lain. Di Turki, menurut dia, tidak ada definisi tunggal atas peran perempuan. Menurut perempuan berusia 52 tahun ini, Turki memiliki banyak perempuan yang berpendidikan tinggi, yang bekerja di sektor perbankan, pendidikan maupun sebagai profesor di sejumlah universitas.
Ronge sudah 18 tahun mendukung organisasi perempuan "Women for Women's Human Rights" di Istanbul. Menurut dia, politik Erdogan memberi peluang positif bagi para perempuan yang tergolong konservatif Islam di Turki. Namun ia juga mengritik pernyataan Erdogan mengenai aborsi, terutama karena berlaku standar moral ganda yang memojokan kaum perempuan. "Banyak interpretasi berbeda soal ini. Ada juga sejumlah ulama yang mengatakan bahwa jiwa baru masuk ke tubuh bayi setelah hari ke-40 ", ungkap Ronge.
Untuk masalah kehamilan dan aborsi, kaum perempuan di negara-negara Eropa lainnya mendapatkan dukungan yang lebih besar dari pemerintahnya, maupun lembaga sosial lainnya. "Di Turki, pengembangan dukungan itu masih sangat lamban. Perempuan yang melaporkan kekerasan dalam rumah tangga pun seringkali disuruh pulang". Menurut Ronge, dalam hal-hal seperti inilah lembaga-lembaga pemerintah di Turki perlu perbaikan.